“Kala usia tak lagi muda, semestinya kebutuhan jasmani makin sedikit. Sementara keinginan rohani kian melangit.” (Maksim Daeng litere, 130820).
Memasuki umur empat puluh tahun, sebagian orang menganggap, sebagai pintu gerbang kehidupan maknawi. Pasalnya, di umur empat puluh tahun, manusia mengalami kecenderungan perkembangan mental dan spiritual.
Imam Jafar Shadiq berkata, “Ketika seseorang hamba mencapai usia empat puluh tahun, Allah berfirman: Aku telah memberi hamba-Ku umur panjang, maka ketatkanlah ia dan tulis semua amalan yang ia lakukan, besar maupun kecil.”
Secara alami, fase perkembangan senantiasa bergerak. Jika diibaratkan, hidup bagaikan laju sebuah mobil, bergerak dari titik nol menuju titik kulminasi sembilan puluh. Angka sembilan puluh adalah angka yang disepakati paling tinggi, sedangkan angka nol, paling kecil.
Manakala perjalanan hidup berada pada titik empat puluh, maka seyogianya kita mulai mengendorkan pedal gas mobil kehidupan, sembari merenung lebih dalam tentang esensi kemelataan hidup.
Mengutip buku Maksim Daeng Litere, anggitan Sulhan Yusuf, menuliskan dengan nomor 080320, “Jika jatah usia sudah ditentukan. Maka mari memperlambat laju hidup.”
Salah-satu nikmat hidup, Tuhan meniupkan fitrah ke dalam diri setiap manusia. Fitrah manusia menyukai kebaikan, keindahan, keadilan,dll. Di sisi lain, manusia sering pula menciptakan penjara-penjara dalam dirinya.
Menurut Ali Syari’ati, ada empat jenis penjara dalam hidup manusia, penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat, dan penjara ego. Jika kita bebas dari belenggu penjara itu, maka, seutuhnya kita menjadi manusia sejati.
Sebuah sunnatullah, kehidupan alam senantiasa bergerak. Manusia harus terus bergerak, tak boleh diam, stastis apalagi mengalami kejumudan. Salah satu tahapan yang mendorong manusia bergerak adalah kesadaran. Sadar siapa dirimu, tujuanmu, posisimu,dll.
Kesadaran merupakan hal dasar melakukan perubahan dalam diri. Tidak dapat dinafikan setiap manusia mempunyai makam kesadaranya masing-masing, misalnya, seseorang yang masih suka marah, mengeluh, khawatir, dll, berarti, masih rendah makam kesadarannya.
Menurut seorang panrita di kampung kami, seseorang mesti meninggalkan tiga sifat buruk, untuk memperoleh kesadaran batin, pertama sifat riya, yaitu mengerjakan sesuatu perbuatan atau ibadah demi mendapatkan pujian orang lain, bukan karena Allah semata.
Kedua sifat summ’ah, merupakan perbuatan menonjolkan ibadah agar didengar oleh orang atau menyebutkan amal yang dikerjakan agar orang-orang memujinya.
Ketiga sifat ujub, merasa diri lebih baik, lebih hebat, lebih berjasa pada kehidupan orang lain sehingga muncul keangkuhan dan kesombongan diri. Definitnya, manusia mesti berusaha merendah diri, bukan sebaliknya, merendahkan diri.
Tahapan selanjutnya, manusia dituntut bebas dari segala ketergantungan di dalam maupun luar dirinya. Ketergantungan oleh nafsu, ego diri, benda dan sesama manusia mesti ditanggalkan.
Hakikatnya, segala urusan kehidupan hanya bersandarkan pada Allah semata. Adapun kecenderungan ego dan hawa nafsu setiap manusia berbeda-beda, misalnya kecenderungan manusia pada sifat tamak, takabur, sombong, dll.
Kebebasan dari segala kemelekatan diri merupakan ajaran purba dari agama-agama samawi. Hal itu dibeberkan oleh seorang pemuka agama dalam sebuah ceramah subuh di mukim kami, dengan merujuk kitab-kitab karya Imam Nawawi.
Ringkasnya beliau mengatakan, inti dari ajaran kitab zabur yang dibawa oleh Nabi Daud as. adalah kemandirian atau keterbebasan manusia dari segala materi, ego, hawa nafsu dan pengaruh orang lain.
Hal itu selaras dengan ucapan Ali Bin Abi Thalib, “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membecimu tidak akan percaya itu.”
Alhasil, manusia dengan bekal kesadaran dan kebebasan yang perolehnya, maka, akan disempurnakan dengan ikhtiar. Nilai sebuah ikhtiar bergantung dari sebuah pemikiran dan keyakinan sebagai cermin jiwanya.
Sebagaimana Allah Swt berfirman, “Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat sesuai dengan keadaannya masing-masing.”
Ikhtiar manusia juga menepis munculnya pemikiran tentang nasib. Ulasan tentang nasib ini dibahas secara singkat oleh Murtadha Mutahhari dalam bukunya, Agama dan kehidupan.
Mutahhari memaparkan, pemikiran tentang filsafat nasib tidak mempunyai sebab sama sekali, kecuali kezaliman, ketidakaturan dan ketidakadilan sosial. Pemberian ilham pemikiran yang menyimpang ini tidak lain adalah kekacauan dan ketidakadilan sosial. Betapa bedanya orang meyakini bahwa, “Sesunggunya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mengubah nasib mereka.”
Perjalanan hidup hingga pada titik usia empat puluh tahun, merupakan nikmat tersendiri, biasanya, secara psikologis pada titik ini, jiwa seseorang mengalami recovery.
Diibaratkan, pada perjalanan kilo meter empat puluh, seperti halnya sebuah perjalanan menuju pulang keharibaan-Nya. Bukankah secara fitrawi, manusia telah berjanji pada pada Tuhan dalam proses penciptaannya, “Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap itu (keesaan Tuhan).” (QS. Al-Araf: 172)
Pada hakekatnya, kehidupan ini mesti dikembalikan pada fitrawi manusia, yaitu manakala kita pernah berikrar dan sepakati dengan Allah saat berada di alam Rahim, sebagaimana disebut oleh ayat di atas. Jika itu kita lakukan, maka, perjalanan hidup senantiasa berada di jalan yang benar dan diridai Allah.
Kredit gambar: https://www.pojokbaca.id/

Lahir di Kolaka, 16 April 1984. Aktif sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Desa. Sekarang bertugas di Kabupaten Bantaeng. Pernah mengikuti kelas menulis yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.


Leave a Reply