Versi lain menceritakan, upacara Pajukukang dilaksanakan, untuk menghormati tomaurung atau Karaeng Loe, yang merupakan pendiri kerajaan Gantarangkeke. Beliau adalah Mula Tau (manusia pertama) yang menyatukan wilayah-wilayah sekitar dalam sebuah kekuasaan yang berpusat di Gantarangkeke.
Karaeng Loe muncul pertama kali disebuah batu yang kini dikenal dengan nama batu pannurungan. Batu tersebut terletak di daerah Lembang Gantarangkeke. Setelah memerintah beberapa lama, Karaeng Loe pun menghilang dan jejak hilangnya pada sebuah batu yang disebut pallayangan.
Upacara Pajukukang diinisiasi oleh Raja Gantarangkeke pengganti Karaeng Loe, yaitu Karaeng Butta Silanta. Upacara ini dilakukan untuk mengenang tomanurung Karaeng Loe, yang telah hadir membawa keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Pada saat upacara ini, Karaeng mengundang penguasa-penguasa di daerah sekitar pada acara pesta, lalu kemudian diadakan hiburan berupa assaungan tau atau sabung manusia dan hiburan yang lain berupa tari-tarian adat.
Dari semua rangkai cerita yang berbeda, bahkan tampak paradoks satu dengan lainnya, pada penelitian ini, saya tidak berpretensi untuk menilai kebenaran cerita-cerita tersebut. Sebagai studi fenomenologi, maka saya lebih fokus untuk menelisik pada kedalaman makna, yang merupakan eidos dari cerita dan menjadikan rangkaian cerita mitologis, sebagai landasan simboliknya.
Cerita mitologis yang menjadi legitimasi historis-kultural dari tradisi Pa’jukukang Ganatrangkeke, menjadi sistem tanda atau symbol, yang merepresentasikan pikiran, perasaan, dan maksud-maksud yang diwujudkan dalam tindakan luar, yang bersifat kolektif dan simbolik, berupa rangkai ritus upacara adat Pa’jukukang.
Ketiga kategori cerita tersebut, secara maknawi menyiratkan makna tentang ketuaan dan kejayaan komunitas Gantarangkeke, yang secara historis dihubungkan dengan tokoh utama dalam permulaan sejarah Sulsel, dalam hal ini Sawerigading atau La Galigo.
Cerita tentang pangeran Cina atau raja Jawa, juga bisa dimaknai sebagai simbol kejayaan masa lalu Gantarangkeke, yang memiliki relasi dengan negeri-negeri seberang. Kisah tentang tujuh saudara yang menjadi awal dari tradisi Pa’jukukang, meski berbeda versi, namun dapat ditarik makna tentang nilai persaudaraan, silaturahmi, kebersamaan, dan tolong menolong.
Oleh pinati versi ini dihayati sedemikian rupa, sehingga pada saat ritual puncak acara angnganre to balla’na, sehingga pada saat ritus tersebut ada keharuan yang meliputi perasaannya karena merasakan kehadiran arwah dari tujuh saudara tersebut yang berjumpa setelah sekian lama berpisah.
Rangkai cerita yang berbau mitologis itu, menjadi legitimasi historis sekaligus penjelas tentang kenapa pesta tahunan harus diadakan. Selain itu, tersimpan pula makna pesan kearifan lokal yang bernilai etik demi peneguhan sikap moral masyarakat, seperti budaya kebersamaan, silaturahmi, dan lain-lain.
Lewat pesta tahunan ini, juga menjadi momentum pengingat akan kejayaan dan kebesaran masa lalu Gantarangkeke. Narasi yang dikaitkan dengan tomanurung menyiratkan makna, bahwa tradisi tersebut memiliki nilai metafisis dan magisnya, karena disandarkan pada satu sosok yang dipercaya berasal dari realitas adikodrati.
Perbedaan kategori versi cerita, yang membentuk tradisi masyarakat Gantarangkeke pun kita dapat klasifikasii menjadi dua. Yaitu cerita yang membentuk tradisi kalau ri pajukukang dan cerita yang membentuk tradisi angnganre to balla’na, sebagai dua rangkaian acara puncak tradisi adat masyarakat Gantarangkeke.
Kisah penantian sang Putri Gantarangkeke yang menanti di pinggir pantai suaminya yang pergi, merupakan latar belakang historis dari tradisi kalau pajukukang, yang dirayakan selama 5 hari di Nipa-Nipa dan Korong Batu.
Kedua tempat tersebut didasarkan pada dua tempat sang putri melakukan penantian. Tradisi kalau ri Pa’jukukang menjadi ritual dan pesta, untuk mengenang penantian sang putri. Sedangkan narasi mitologis tentang kisah si Bungko dan tomanurung ri Gantarangkeke, merupakan narasi yang menjadi dasar dilakukannya tradisi angnganre to balla’na dan merupakan pucnak dari keseluruhan rangkaian tradisi Gantarangkeke dalam setahunnya.
Akhirnya, perbedaan versi cerita tentang asal-usul tradisi Pa’jukukang, tidak menjadi persoalan tentang kebenarannya. Melainkan melalui narasi mitologis tersebut, kita bisa menelisik lebih dalam tentang latar belakang kultural, yang lebih bersifat pardigmatik ketimbang historis.
Selanjutnya, setelah melakukan serangkaian reduksi, akan terpahami makna yang melatarbelakangi diadakannya upacara, yang merepresentasikan alam mental kultural masyarakat Gantarangkeke, yang didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal, mengenai penghambaan kepada Tuhan, penghormatan kepada leluhur, dan nilai-nilai kebersamaan, silaturahmi, serta persaudaraan yang hendak mereka jalin melalui rangkaian kegiatan tersebut.

Doktor di bidang studi agama. Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN. Memiliki spesifikasi pada kajian agama dan masyarakat di Kawasan Timur Indonesia.
Leave a Reply