Kategori lain dari cerita yang dipercayai sebagai asal-usul tradisi Pajukukang adalah legenda tentang tujuh bersaudara. Menurut Goodsward sebagaimana dikutip oleh Gibson, legenda tentang tujuh bersaudara ini merupakan asal-usul pemujaan Karaeng Loe di Gantarangkeke, Bantaeng.
Ringkasan cerita dari mitologi setempat sebagaimana dikisahkan oleh Goodsward. Tujuh anak perempuan yatim piatu hidup dalam pengasuhan kakak sulung mereka. Saudara yang paling bungsu bernama Bungko, bekerja mengumpulkan kayu bakar di hutan setiap pagi.
Suatu hari dia menangkap ikan Julung-julung (Zenachorpertus dispar) ketika ia mandi di sungai. Dia kemudian menangkap ikan tersebut untuk dijadikan peliharaan dalam kolam di dekat tempat tinggalnya di gua Calindo-lindo.
Setiap hari dia memberi makan setengah jatah nasinya, dan ikan itu pun kemudian tumbuh menjadi sangat besar. Setiap hari dia menyanyikan lagu, ketika memberi makan kepada ikan Julung-julung tersebut, “Julung-julung muncullah, makanlah nasi di piring batu yang dicuci dengan susu.”
Bungko hidup sangat miskin, karena cemas saudara-saudaranya pun mengikutinya. Keesokan harinya, saudara-saudara Bungko menyuruhnya ke hutan lain, guna mencari kayu bakar. Saudara-saudara Bungko kemudian datang ke gua, lalu menangkap, memasak, dan memakan ikan julung-julung peliharaan Bungko.
Ketika kembali ke gua, Bungko tidak menemukan ikannya, dia kemudian pulang ke tempat saudara-saudaranya dan sangat sedih, karena sedihnya ia menutupi dirinya dengan kain sarung.
Seekor ayam jantan kemudian berbisik kepadanya, “Tulang Julung-julungmu disembunyikan di bawah tungku.” Bungko kemudian menemukan tulang ikan julung-julungnya, kemudian menguburkannya kembali di gua.
Ketika selesai menguburkan tulang-tulang tersebut, Bungko berkata, “Kau harus tumbuh menjadi pohon dan daunmu mesti jatuh di Jawa, yang akan dipungut oleh Raja Jawa.”
Tulang-tulang itu benar-benar tumbuh menjadi pohon, batangnya berupa gading, bilahnya perak, jarum-jarum besi, kembang emas, dan buah intan.
Tatkala pohon tersebut besar, salah satu daunnya jatuh di Jawa, daun itu pun di bawa ke Raja Jawa. Kala dia melihatnya, dia memutuskan untuk mencari pohonnya. Dia kemudian berlayar ke Bantaeng. Saat di Bantaeng ia pun berburu di hutan. Tanpa sengaja dia menemukan pohon tersebut.
Raja lalu memanggil seluruh penduduk untuk menanyakan siapakah pemilik pohon tersebut. Di ujung pencariannya, Bungko dibawa menghadap kepada raja. Begitu Bungko muncul, maka batang-batang pohon itu menundukkan diri hingga sangat rendah. Sehingga, anak ayam pun dapat menjangkaunya.
Akhirnya, sang raja tahu siapa pemilik pohon tersebut. Bungko menawarkan beberapa daun dan buah. Tersentuh oleh prilaku Bungko, sang raja kemudian melamarnya dan membawa Bungko serta saudara-saudaranya ke Jawa.
Namun, mereka tidak lama di sana dan kembali ke Bantaeng. Begitu tiba di Bantaeng, mereka tinggal terpisah. Saudara pertama tinggal di Gantarangkeke, kedua di rumah keramat yang ditempati patung emas Karaeng Bantaeng, ketiga di Bisampole, keempat di Bontorappo, kelima di Korong Batu, yang keenam di Karampuang, dan Bungko sendiri tinggal di Celindo-lindo.
Saat mereka berpisah, mereka kemudian bersepakat, bahwa kakak sulung akan melaksanakan pesta setiap tahunnya, yang harus dihadiri oleh seluruh rakyat Bantaeng. Dan, keenam adiknya harus mengizinkan rakyatnya, untuk datang ke acara tersebut kapan pun mereka mau.
Cerita di atas merupakan cerita simbolik yang sarat makna. Sang putri Bungko dalam kisah tersebut dikaitkan dengan dunia bawah. Lewat kedekatannya dengan seeokor ikan dalam sebuah kolam di gua.
Dia perlahan-lahan memindahkan setengah kebutuhan dasar tubuhnya, ke ikan tersebut dengan memberi makan separuh nasinya. Ikan tersebut kemudian mengalami tranformasi dengan dimasak di tungku.
Pohon gaib yang merupakan jelmaan dari ikan, merupakan transformasi dari diri gadis, yang mengorbankan kebutuhan dasar tubuhnya, buat menumbuhkan sebuah pohon yang magis.
Dari narasi simbolik tersebut, tersirat makna tentang sebuah pengorbanan seorang putri, untuk sampai pada puncak spiritulitasnya, melalui pengorbanan dengan membagi setengah kebutuhan dasarnya pada simbol ikan Julung-julung.
Karena kezuhudannya, maka amal sang putri bertransformasi menjadi sebuah pohon gaib yang mewah. Pohon tersebut melambangkan kejayaan yang dicapai oleh sang putri.
Cerita tersebut juga mengandung makna, persaudaraan dan penghormatan kepada yang tertua (kakak sulung). Penghormatan diwujudkan dalam sebuah pesta besar, dilaksanakan setiap tahunnya.
Dengan demikian, kepercayaan yang menjadi dasar pembentuk tradisi Pa’jukukang, buat mengenang sebuah pencapaian kejayaan dan persaudaraan, dalam hal ini disimbolkan oleh Bungko dan 6 saudaranya.
Masih mirip dengan versi cerita 7 bersaudara, tapi dengan versi cerita yang berbeda, mengenai asal-usul tradisi Pa’jukukang, sebagaimana dituturkan oleh Hj. Minasang, pinati adat Gantarangkeke.
Dikisahkan, dahulu kala di Gantarangkeke ini tinggal 7 orang yatim piatu yang bersaudara. 6 orang laki-laki dan yang bungsu adalah perempuan. Karena keadaan yang sulit, maka 6 orang saudara laki-laki memutuskan untuk keluar mencari penghidupan.
Merasa sedih dan khawatir, si bungsu bertanya kepada kakak-kakaknya, tentang nasibnya sepeninggal mereka. Oleh kakak tertua dijawab kegusaran adiknya itu dan berkata, bahwa nanti kami akan datang setiap tahunnya, membawa kepadamu barang-barang kebutuhan, pada saat kami datang itu akan dilangsungkan pesta meriah, dan setelah itu kamu tidak akan kekurangan hingga tahun berikutnya.
Akhirnya pada tahun berikutnya, datanglah keenam saudaranya membawa berbagai barang kebutuhan. Oleh mereka diadakanlah pesta besar dan orang-orang dari berbagai penjuru pun banyak yang berdatangan membawa sesuatu. Si bungsu hidup dalam kemakmuran bersama orang-orang yang tinggal bersamanya.
Pesta tersebut terus dilangsungkan setiap tahunnya, meski ketujuh saudara tersebut telah wafat. Oleh generasi berikutnya, pesta tetap dilaksanakan untuk mengenang kisah persaudaraan dari tujuh bersaudara. Suasana perjumpaan 7 saudara, dirasakan oleh pinati ketika ritus puncak digelar di Balla Lompoa pada malam puncak upacara Pa’jukukang. (Bersambung ke bagian 3).
Kredit gambar: suaralidik.com

Doktor di bidang studi agama. Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN. Memiliki spesifikasi pada kajian agama dan masyarakat di Kawasan Timur Indonesia.
Leave a Reply