Kejahatan purba di muka bumi yang langgeng hingga kini, salah satunya, yakni perzinaan. Segala macam cara memberangus penyakit sosial ini, hasilnya, nyaris tak pernah benar-benar berhasil.
Alih-alih memberangus perzinaan, nyatanya, selalu kembali marak di tempat lain dengan wajah berbeda. Kasus-kasus perzinaan sering terjadi tidak tunggal. Arkian, selalu ada unsur-unsur penyebab dan akibat yang mengikutinya.
Jika mau merunut peristiwa perzinaan dari masa ke masa, tak dimungkiri, perbuatan ini merupakan sifat manusia yang berasal dari nafsu birahi tak terkendali. Padahal, nafsu yang diberikan Tuhan ini, merupakan sarana membangun peradaban, bila sesuai hukum ilahi.
Melencengnya tujuan nilai luhur seksualitas manusia, berdampak pada penyakit-penyakit sosial yang menyertainya, mulai dari individu hingga masyarakat. Nafsu seksual yang tak terkendali, mengakibatkan individu jatuh pada kenistaan, dengan sendirinya hidupnya teralienasi oleh nilai kemanusia.
Hal serupa pun terjadi di tengah masyarakat, nafsu seksual yang tak tersalurkan pada peruntukannya, mengakibatkan konflik rumah tangga, hingga merembes konflik sosial. Seperti kasus perselingkuhan yang marak terjadi di tengah masyarakat.
Kasus perselingkuhan seakan tak pernah habis-habisnya diperbalakan. Bagaimana tidak, kasus ini sering terjadi di lingkungan terdekat kita. Kejadian seperti ini bukan tidak mungkin akan menimpa keluarga kita, teman, sehabat, tetangga, dst. Apabila kita tidak membangun kesadaran sedini mungkin, tentang literasi seksualitas.
Beragam modus sering kita saksikan pada kasus-kasus perselingkuhan. Saking seringnya, peristiwa tersebut kadang membuat khalayak tak percaya dibuatnya, seakan berada di luar nalar kebiasaan manusia.
Misalnya, pada kasus pelakor dan pebinor, yang sering terjadi lingkungan sekitar. Kasus ini sering meresahkan warga, manakah seorang pria dan wanita kepergok melakukan perbuatan asusila, padahal keduanya telah memiliki keluarga masing-masing.
Bahkan pada tingkat ekstrim, mengakibatkan korban jiwa, pria dan wanita tersebut, kedua-duanya di bunuh oleh pasangan resmi mereka. Peristiwa tersebut pernah terjadi di lingkungan kami.
Tentu saja, peristiwa berujung murka itu, membuat heboh di tengah masyarakat. Seolah tak percaya, peristiwa itu tidak hanya terjadi pada adegan sinetron, faktanya benar-benar terjadi di kehidupan nyata.
Masih banyak lagi beragam modus operandi kejahatan seksual. Atas peristiwa-peristiwa asusila yang terjadi di tengah masyarakat itu. Kita diingatkan lagi atas nilai-nilai sosial budaya yang terabai.
Seorang budayawan asal Makassar, Mattulada, pernah mengatakan, sebagian masyarakat Bugis-Makassar, telah mereduksi nilai budaya siri na pace, hanya sebatas peristiwa-peritiswa menyangkut tindak asusila.
Padahal, menurut sang budayawan sekaligus pejuang itu, siri na pacce, merupakan nilai universal manusia dalam melakoni kehidupan individu maupun sosial.
Kesadaran tentang literasi seksualitas sedang mengalami degradasi. Bukan tidak mungkin, hal ini akibat pengaruh media sosial yang tak terkendali.
Beragam media sosial saat ini, menjadi ruang interaksi bertemunya khalayak, sekaligus ruang berbagai informasi, pada saat yang sama, berbagai kepentingan bertemu di dalamnya, termaksud orang-orang yang terlibat tindak asusila.
Dampak kurang bijak menggunakan media sosial itu, mengakibatkan persoalan sosial timbul, seperti rumah tangga hancur, kekerabatan renggang, putus pertemanan, generasi terbengkali, dst.
Sekadar menautkan ingatan, ribuan abad silam, Aristoteles berkata, “Orang-orang yang terlahir dari orang tua yang lebih baik, akan menjadi orang-orang yang lebih baik, karena asal keluarga adalah keunggulan keluarga.”
Sebagai umat beragama, utamanya muslim menganjurkan setiap yang ingin menikah untuk mencari pasangan yang baik dan bertakwa. Karena, hal ini akan memengaruhi kehidupan generasi di masa depan.
Sebagaimana firman Allah mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim:6).
Peristiwa tindak asusila dari masa ke masa terus mengalami pengulangan. Baru- baru saja, peristiwa terjadi lagi, tidak jauh dari mukim kami. Rumah salah seorang warga, tiba-tiba di serang membabi buta oleh warga desa. Pasalnya, warga tersebut kepergok melakukan tindak asusila terhadap anak dibawah umur, sontak peristiwa itu mengegerkan warga desa, beruntung, kondisi desa cepat dikendali oleh aparat keamanan.
Beberapa tahun silam, peristiwa yang sama pernah juga terjadi di kampung tetangga. Bedanya, sang pelaku kejahatan dihajar habis-habisan oleh warga desa hingga modar.
Belajar dari peristiwa di atas, sudah waktunya kita membentengi diri dan keluarga, dari hal-hal yang akan menjerumuskan ke dalam tindak kejahatan asusila.
Keluarga merupakan benteng terakhir, untuk melindungi pengaruh negatif yang datang dari segala arah. Kapan, siapa dan di mana saja, pengaruh-pengaruh negatif itu bisa datang menghampiri kerabat dan teman kita.
Kita tak boleh lengah, apalagi anggap enteng persoalan yang sering terjadi ini. Tak bisa dibayangkan, jika kejahatan tersebut menimpa keluarga dekat kita, tentu, penyesalan dan rasa malu akan kita rasakan.
Langkah-langkah preventif perlu kita pikirkan sedini mungkin, salah-satu jalannya, yakni menguatkan kesadaran tentang literasi seksualitas. Utamanya bagi keluarga dan diri masing-masing.
Kala hidup zaman modern ini, sebagian dari kita tak sadar di mana kita berada. Mengutip perkataan Iman Ali bin Abi Thalib, “Aku khawatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan. Keyakinan hanya tinggal pemikiran, yang tak berbekas dalam perbuatan. Ada pezina yang tampil menjadi figur. Ada yang punya ilmu tapi tak paham. Ada yang paham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi. Ada yang bodoh tapi tak tahu diri. ada yang beragama tapi tak berakhlak. Ada yang berakhlak tapi tak ber-Tuhan. Lalu, di antara semua itu, di mana aku berada?”
Selain membentengi diri dan keluarga, seyogianya orang-orang yang memiliki kewenangan mengurus negara dan masyarakat, punya andil besar mengeluarkan semacam kebijakan, melindungi masyarakat dari pengaruh-pengaruh negatif.
Misalnya saja, mengontrol lalu lintas media-media elektronik, memberikan edukasi kepada masyarakat, atau menerapkan kurikulum tentang seksualitas bagi pelajar dan mahasiswa.
Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti ulama, budayawan, akademisi, artis, dll, mesti bekerjasama menyelamatkan negara dari pengaruh luar yang tidak sesuai adat ketimuran.
Jika pemerintah telah melakukan apa yang dikehendaki masyarakat, dan begitu pun masyarakat patuh terhadap aturan negara, maka negara yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur, bukan sebuah ilusi yang tak dapat wujudkan. Wallahualam bisssawab.
Kredit gambar: Tribunjogja.com

Lahir di Kolaka, 16 April 1984. Aktif sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Desa. Sekarang bertugas di Kabupaten Bantaeng. Pernah mengikuti kelas menulis yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.
Leave a Reply