Pindah dari satu majelis dars (belajar/kajian) ke majelis dars yang lain menjadi salah satu rutinitas harian saya sebagai penuntut ilmu agama di negara para nabi, Mesir. Majelis dars lebih akrab saya sebut sebagai talaqqi, yaitu belajar kepada para guru atau syekh dengan bertemu secara tatap muka langsung. Metode belajar ini masih semangat untuk diwariskan di zaman ini, tersebab salah satu manfaat besarnya adalah menjaga orisinalitas ajaran Islam.
Bagaimana tidak? Sang guru menyampaikan ilmu dan pemahamannya terhadap suatu kitab, khususnya kitab turats (klasik) dalam displin ilmu tertentu yang ia dapat dari gurunya. Gurunya dari gurunya, lalu gurunya dari gurunya, begitu seterusnya, hingga sampai kepada asalnya, dalam hal ini adalah sang penulis kitab yang jaraknya sangat jauh dari kita.
Namun, tidak jarang di pertengahan jalan menuntut ilmu, saya bertemu jenuh dan lelah. Beberapa faktornya karena harus melakukan hal yang berulang setiap hari dan kesulitan dalam memahami, ditambah lagi belajarnya menggunakan bahasa Arab. Otak saya jadi bekerja lebih kerasa rasanya setiap belajar.
Kejenuhan dan kelelahan ini bahkan sering kali membuat saya menangis dan stres. Ujung yang ingin saya tuju masih jauh dari tempat saya berada sekarang. Level keilmuan saya masih sangat jauh berada dibawah. Sadar bahwa level keilmuan saya masih berada di tingkat pemula (mubtadi) dalam istilah tangga keilmuan Islam.
Untuk diketahui, keilmuan islam memiliki tiga tingkatan; mubtadi (pemula), yang dipelajari masih seputar penggambaran umum masalah suatu ilmu; mutawassith (medium), yang pada tingkatan ini indikator keberhasilannya adalah pelajar mampu mendatangkan argumen-argumen dalam ilmu tersebut; terakhir adalah muntahi.
Di saat-saat ingin menyerah seperti ini, saya mengamini bahwasanya memang menuntut ilmu itu perlu kesabaran dan waktu yang panjang. Kalau tidak sabar pastinya sudah give up. Salah satu guru saya juga memberi nasihat, “Cobalah membaca minimal satu biografi singkat ulama bagaimana mereka belajar, semoga hal itu bisa senantiasa menjaga semangat kalian dalam menuntut ilmu.”
Ketika saya mengetahui bagaimana kesabaran para ulama dalam belajar dan menghargai waktu, saya tidak bisa membayangkan betapa kuatnya ulama-ulama terdahulu dalam belajar. Di antara mereka ada yang memiliki waktu tidur hanya dua jam perhari, selebihnya mereka gunakan untuk belajar dan ibadah lainnya.
Sungguh berkah usia mereka. Memang sulit untuk meneladani mereka, tetapi minimal kisah-kisah mereka mampu menjaga motivasi saya untuk mencapai tujuan dalam menuntut ilmu.
Juga, di saat seperti ini yang perlu saya ingat adalah niat. Niat mulia nan agung tentu lintasannya tidak akan mulus, jalannya berduri, atau bahkan melewatinya perlu berdarah-darah. “Masak saya asal berhenti di tengah jalan ini tanpa mendapatkan hasil itu?! Masak saya hanya dapat perihnya doang?! Rugi, dong?! Yang bener aje?!”
Dengan mengingat kembali motivasi-motivasi yang ada bukan, berarti saya mendesak diri untuk melakukan segala strategi mencapai tuju dengan barbar, tidak berperikemanusiaan terhadap diri saya sendiri. Saya tidak mau menjadikan ini sebagai beban.
Memang terkadang kita butuh koma yang tidak berarti berhenti tanpa lanjut. Koma kita butuhkan agar roda perjalanan masih bisa terus melaju. Kita memang perlu jeda untuk bisa melangkah lagi. Kejap sejenak. Tarik nafas. Keluarkan. Jangan sungkan jika air mata pun ikut serta. Amunisi bertambah, barulah lanjutkan perjalanan.
Yang tidak kalah penting juga adalah selalu memohon kepada Allah Swt. agar Ia senantiasa mengucuri taufik-Nya, untuk kemudahan dan kekuatan dalam menuntut ilmu sebab hanya pada-Nya-lah puncak kekuasaan. La haula wala quwwata illa billah.

Seorang petandang kehidupan yang saat ini menuntut ilmu di negeri Anbia dan Aulia, Kairo-Mesir.
Leave a Reply to Sitti Subaedah Alam Cancel reply