Bulan Sya’ban dan Malam Nishfus Sya’ban

Tema tulisan di atas, menyebut dua waktu yang mulia dan dimuliakan, yakni; pertama adalah bulan Sya’ban dan kedua adalah waktu malam. Kemuliaan waktu malam ditegaskan oleh al-Quran, yakni; bahwa waktu malam merupakan waktu terbaik untuk ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah dan munajat. Seperti ditunjuk oleh QS. al-Muzammil/ 73: 2, 6 dan 20. Pada ayat 2 dalam surah ke 73, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan tentunya kepada umat Rasulullah saw. untuk menegakkan shalat di waktu malam.

Selanjutnya, ditegaskan pada ayat ke 6, bahwa waktu malam adalah waktu yang paling kuat memberikan sentuhan bagi hati dan paling berkesan, yang diberikan oleh bacaan-bacaan dalam shalat. Seperti bacaan ayat-ayat al-Quran dan kalimat-kalimat zikir thayyibah lainnya. Adapun dalam ayat 20 ditegaskan bahwa Rasulullah saw. beserta sekelompok orang yang bersama dengannya memberikan contoh praktis dalam menegakkan shalat di waktu malam. Allah menyaksikan dan mengetahui apa yang dilakukan oleh Rasul-Nya dan sahabat-sahabat Rasul-Nya.

Dalam ayat lain, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan tentunya kepada umatnya, agar menegakkan shalat tahajjud, yang ditegakkan di waktu malam, merupakan jalan terbaik dan tercepat menuju maqam atau kedudukan kemuliaan dan keterpujian (maqam mahmud) di sisi Allah, seperti ditegaskan dalam QS. al-Isra/ 17: 79. Dalam ayat 1 surah al-Isra juga mengemukakan bahwa Allah telah memilih waktu malam untuk memperjalankan hamba-Nya Muhammad saw. dari masjid Haram ke Masjid al-Aqsha dan naik mikraj ke Sidratul Muntaha bahkan melewatinya.

Tujuannya, untuk menerima perintah shalat. Dari sini, juga dapat dipahami bahwa perintah shalat diterima oleh Rasulullah saw. pada waktu malam di tempat atau di kedudukan spiritual yang paling tinggi kenikmatan, ketentangan, ketentraman dan kebahagaiannya. Tempat dan kedudukan spiritual yang dimaksud adalah Sidratul Muntaha, bahkan melewatinya atau lebih tinggi lagi.

Selain itu, waktu malam yang dipilih oleh Allah untuk menurunkan al-Quran yang suci dan mensucikan, yang mulia dan memuliakan. Waktu malam tersebut disebut malam “Lail al-Qadar”, yakni malam yang lebih mulia dari seribu bulan bahkan lebih dari seribu bulan, seperti ditegaskan dalam surah al-Qadar. Sedangkan pada awal surah ad-Duhank ditegaskan bahwa malam turunnya al-Quran dinamai dengan malam yang penuh dengan keberkahan “lailah mubarakah”. Dan keberkahan merupakan puncak pencapaian tertinggi dalam kehidupan.

Bertolak dari uraian di atas, maka saya ingin tegaskan, fungsi paling utama dari waktu malam adalah waktu ber-taqarrub kepada Allah untuk memperoleh modal kekuatan rohani yang suci dan mensucikan. Juga, waktu malam berfungsi untuk mengistirahatkan tubuh yang kelelahan, setelah bekerja di siang hari. Masih banyak ayat al-Quran yang menunjukkan kemuliaan dan keistimewaan waktu malam, sebagai waktu mengasah dan mengembangkan kuaalitas spiritual-religus, hingga mencapai puncak kesempurnaan, seperti QS. al-Insan/ 76: 26 dan QS. Qaf/ 50: 40.

Adapun kata “sya’ban,” juga menunjuk waktu yang mulia dan dimuliakan. Sya’ban adalah bulan yang disandarkan kepada Rasulullah saw. seperti ditegaskan oleh Rasulullah saw. sendiri, bahwa Sya’ban adalah bulanku.

Adapun bulan Rajab adalah bulannya Allah dan bulan Ramadhan adalah bulannya umat Muhammad Saw. Penyandaran bulan Sya’ban kepada hamba Allah yang paling mulia dan didudukkan oleh Allah sebagai pemimpin atau sayyid para Rasul dan Nabi Allah, telah cukup menjadi bukti kemuliaan bulan Sya’ban, meskipun bulan Sya’ban tidak tenggolong sebagai 4 bulan hurum, seperti yang disebutkan dalam QS. at-Taubah/ 9: 36).  

Kemuliaan bulan Sya’ban juga dapat dipahami dari penegasan Rasulullah yaitu; bahwa bulan Sya’ban adalah bulan yang penuh keberkahan, sebagaimana bulan Rajab juga sebagai bulan keberkahan. Keberkahan kedua bulan mulia ini ditegaskan dalam doa Rasulullah Saw. yaitu: اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان yang berarti: “Ya Allah berkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan.”

Kemuliaan bulan Sya’ban juga dapat dipahami dari perlakuan Rasulullah Saw. terhadap bulan Sya’ban. Di mana beliau, banyak berpuasa pada bulan Sya’ban, melebihi bulan-bulan hurum (yang dimuliakan) lainnya, yaitu bulan Rajab, Zulqa’da, Zulhijjah dan Muharram. Namun banyaknya puasa Rasulullah Saw. di bulan Rajab tidak melebihi bulan Ramadhan. Oleh karena bulan Ramadhan memang bulan yang dipilih oleh Allah sebagai bulan ditegakkan kefardhuan ibadah puasa.

Kemuliaan bulan Sya’ban juga terpahamkan ketika Rasulullah menjadikan bulan Sya’ban dan bulan Rajab sebagai bulan persiapan diri-nya dan umatnya memasuki bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan sebagai bulan paling suci dan menjadi pemimpinnya seluruh bulan (sayyid syuhur) adalah satu-satunya bulan yang disebutkan dalam al-Quran. Menurut penulis, kedudukan bulan Sya’ban dan Rajab yang demikian, pada dasarnya ingin menegaskan bahwa, jika seorang Islam tidak melakukan persiapan diri pada kedua bulan tersebut, yakni tidak meraih keberkahan Allah dengan menegakkan berbagai ibadah dan kebaikan-kebaikan lainnya yang banyak, maka sangat sulit bagi mereka untuk meraih kesucian bulan Ramadhan.

Sebaliknya orang muslim dan mukmin yang senantiasa tekun beribadah dalam jumlah yang banyak untuk meraih keberkahan bulan Rajab dan Sya’ban, kemudian memasuki bulan Ramadhan, maka bagi mereka, bulan Ramadhan dengan segala aktivitas ibadah di dalamnya merupakan kebutuhan dan kenikmatan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bulan Ramadhan tidak menjadi beban spiritual-religius bagi mereka. Dari sini, penulis juga ingin tegaskan bahwa keberkahan bulan Rajab dan bulan Sya’ban merupakan modal kekuatan spiritual untuk memasuki bulan Ramadhan yang suci dan mensucikan. 

Kata nishf yang disandarkan kepada bulan Sya’ban, juga menunjuk makna waktu, yakni waktu pertengahan bulan Sya’ban. Menurut penulis, semua waktu pertengahan pada bulan-bulan Qamariah, mulai pada bulan Muharram sampai bulan Zulhijjah adalah waktu yang mulia dan dimuliakan. Buktinya pada setiap pertengahan bulan-bulan Qamariah tersebut disyariatkan ibadah puasa sunnah, yakni ibadah puasa hari-hari putih.

Disebut hari-hari putih dalam makna hari-hari purnama yang terang benderang. Bukankah warna putih menggambarkan cahaya terang benderang, kesucian dan kebersihan sebagai antonim dari warna hitam yang gelap gulita minus cahaya. Dari sisi ini, juga dapat dipahami dan ditegaskan bahwa tujuan utama dari ibadah puasa pada hari-hari putih atau purnama adalah untuk mencahayai, memutihkan dan mensucikan hati dari berbagai kotoran dan penyakit-penyakit hati. Seperti sifat kikir dan mementingkan diri sendiri, sifat angkuh dan sombong dan lain sebagainya.

Bertolak dari uraian di muka, maka dapat dipahami bahwa; waktu dan waktu khusus memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan dan penegakan berbagai ragam ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Memang dalam syariat Allah terdapat trilogi unsur yang sangat penting dan tidak dapat terlepas dan mesti dipelihara dalam penegakan syariat-syariat Allah, khususnya ibadah-ibadah mahdha, yaitu: unsur fiqur, unsur tempat dan tentunya unsur waktu.

Fiqur utama adalah pada nabi dan Rasul Allah serta para pewaris mereka. Sementara tempat dan waktu khusus adalah tempat dan waktu yang telah dipilih dan ditetapkan Allah Swt. Pada prinsipnya waktu hanya satu. Namun demikian, terdapat waktu-waktu khusus yang ditetapkan Allah sebagai waktu pelaksaan ibadah tertentu. Ibadah-ibadah tersebut tidak dapat dilakukan di luar waktu pilihan tersebut. Demikian pula dengan tempat, pada prinsipnya hanya satu. Namun terdapat tempat-tempat khusus yang dipilih dan ditetapkan Allah untuk tempat pelaksanaan ibadah tertentu dan tidak dapat dilakukan di luar tempat tersebut. Misalnya tempat menegakkan ibadah haji, tidak dapat dilakukan kecuali di tanah Haram yakni di Makkah.  

Keberadaan trilogi unsur tersebut, yakni fiqur khusus, tempat dan waktu khusus dalam setiap bentuk ibadah sungguh telah dipahami dengan baik dan benar berdasarkan akal sehat dan murni. Apalagi, jika pemilihan tempat dan waktu itu, telah ditunjuk dan didasari oleh dalil yang bersifat umum. Maka menurut penulis, dalil umum tersebut, dapat dijadikan sebagai  dasar, dalil dan petunjuk dalam pelaksanaan beberapa ibadah tertentu, kecuali jika ada larangan syariat untuk tidak melaksanakan ibadah pada waktu dan tempat tertentu tersebut.

Misalnya pembacaan surah Yasin pada malam Jumat. Dalil umumnya adalah perintah membaca al-Quran yang bersifat umum. Berdasarkan dalil umum ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah membaca surah Yasin pada malam Jumat adalah mengada-ada dan tidak mendasar. Demikian pula, jika diadakan pembacaan kitab Barazanji yang berisi Shalawat dan pengagungan, wujud kecintaan kepada Rasulullah saw. pada moment tertentu, bukanlah bid’ah yang sesat dan balasannya adalah neraka. Dipahami demikian, karena pembacaan salawat kepada Rasulullah Saw. diperintahkan dan perintahnya bersifat umum dan tidak dibatasi oleh waktu-waktu tertentu dan terbatas.

Masih banyak kasus lainnya yang sering dituding sebagai pembuatan bid’ah dan disesatkan serta dihukumi pelakunya masuk neraka. Namun yang menarik adalah ada beberapa perbuatan sahabat nabi Saw. dan para ulama generasi thabiin yang melakukan tindakan dan perbuatan yang relevan dengan agama Islam, tidak dibid’akan dan disesatkan, padahal tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Misalnya pemberian tanda-tanda baca, seperti tanda titik pada huruf tertentu dan tanda harakat pada ayat-ayat al-Quran. Kedua hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat. Kedua hal ini baru dilakukan pada generasi thabiin atau thabi thabiin.

Bukan saja itu, Umar bin Khaththab sendiri pernah melakukan hal yang terkait dengan ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan secara dhahir bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yaitu pelaksanaan shalat tarawi berjamaah secara permanen. Sunnah Rasulullah terkait penegakan shalat tarawi adalah infiradi, sendiri-sendiri dan tidak berjamaah. Bahkan Khalifah Abu Bakar pun mengaku telah melakukan bid’ah ketika ia menyetujui penulisan dan pengumpulan ayat-ayat al-Quran dalam satu muzhab. Buktinya, ketika Umar bin Khaththab mengusul pertama kali kepada Khalifah Abu Bakar, khalifah menolaknya dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Namun pada akhirnya Khalifah Abu Bakar menerima dan menyetuji usulan Umar bin Khaththab untuk menuliskan dan mengumpulkan al-Quran menjadi sebuah muzhab. Demikian pula kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan, yang menyatukan ayat-ayat al-Quran dalam qiraah Quraisy, yang lebih dikenal dengan rasm utsmani. Namun semua tindakan ini disepakati bersama oleh umat Islam dan tidak ada yang membid’akannya.

Jadi, apabila masih ada yang bertanya; mengapa pada malam nishfus sya’ban dilakukan pelaksaan ibadah-ibadah khusus yang tidak disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Maka tindakan yang paling bijak dalam merespons pertanyaan tersebut adalah dengan mendiamkan dan tidak menjawabnya. Dikatakan demikian, karena jawaban apa pun yang disampaikan kepada mereka yang bertanya, tidak akan memuaskannya, apalagi menghentikannya melakukan gerakan pembid’aan, penyesatan dan gerakan takfir terhadap umat Islam yang berbeda pandangan dengan mereka dan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu dan khusus (namun berdasarkan dalil umum) pada malam nishf Sya’ban tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah amalan apa yang dilakukan pada malam nishfus sya’ban? Berikut uraiannya lebih lanjut.

Terkait dengan jawaban pertanyaan di atas, saya menyarankan membaca salah satu kitab yang berjudul, Lathaif al-Ma’arif fimaa li Mawaasim al-Am min al-Wazha’if, karya Ibn Rajab al-Hambali. Salah satu bab pembahasan dalam kitab ini adalah tentang bulan Sya’ban dan amalan-amalannya, baik di awal bulan Sya’ban, pada nishfu Sya’ban dan di akhir Sya’ban. Pembahasan yang saya akan kemukakan adalah amalan yang relevan dengan malam nishfu Sya’ban, sesuai dengan tema tulisan ini.

Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa ada banyak hadis yang relevan dengan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Namun ulama berbeda pendapat dalam merespons hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama ada yang mengshahihkannya dan sebagian lainnya mendhaifkan. Ibnu Hibban termasuk ulama yang mengshahihkannya dan menyebutkan dalam kitab shahihnya. Antara lain hadis yang dimaksud adalah hadis riwayat Aisyah, beliau berkata:

“Ketika Nabi Saw. tidak ada, aku keluar (mencarinya). Aku mendapati beliau di Baqi. Rasulullah saw. mengangkat kepala ke langit dan bersabda: ‘Apakah engkau takut Allah dan Rasul-Nya mengabaikanmu? Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku mengira engkau sedang mendatangi istri-istrimu yang lain. Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah turun pada malam nishfu Sya’ban ke langit dunia. Kemudian Dia mengampuni manusia lebih banyak dari dari jumlah bulu kambing.” (Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi pada no. hadis 739). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad  dan Ibnu Majah. Namun at-Tirmidzi melemahkan hadis ini.

Hadis lain terkait dengan nishfus Sya’ban dikemukakan oleh Ibnu Majah. Beliau meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah turun pada malam nishfu Sya’ban kemudian mengampuni hamba-hambaNya kecuali dua orang yakni orang berselisih dan membunuh orang lain.”

Terlepas dari perbedaan pandangan ulama hadis tentang keshahihan dan kedhaifan kedua hadis di atas, namun dari sudut kandungan (matan) makna hadisnya dapat dishahihkan. Dikatakan demikian, karena Allah memang turun setiap malam ke langit dunia dan mengampuni hamba-hamba-Nya yang memohon ampunan. Oleh karena itu, menurut penulis, salah satu keutamaan malam nishfus Sya’ban adalah terbukanya pintu ampunan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang menggunakan malam nishfu Sya’ban bertaqarrub kepada Allah dan memohon ampunan Allah.

Dalam konteks makna inilah, maka ulama mengatakan bahwa salah satu amalan utama dalam malam nishfus Sya’ban adalah memperbanyak istigfar dan taubat kepada Allah. Dengan membaca zikir istigfar dan taubat. Misalnya: استغفر الله ةاسأله التوبة dan atau membaca “استغفر الله اللذي لا اله الا هو الرحمن الرحيم الحي القيوم و اتوب اليه.”

Pengagungan malam nishfus Sya’ban juga diperselisihkan oleh ulama generasi thabiin. Para thabiin dari Syam seperti Khalid ibn Ma’dan, Makhul dan Luqman ibn Amir, semuanya mengagungkan malam nishfus Sya’ban. Sedangkan ulama dari Hijaz seperti Atha dan Ibnu Abi Malikah dan sebagian dari pengikut mazhab Malikiah membid’akan pengagungan malam nishfus Sya’ban.

Ulama negeri Syam yang mengagungkan malam nishfus Sya’ban berselisih pendapat tentang cara mengagungkannya. Sebagian mereka mensunahkan mengagungkan malam nishfu Sya’ban dengan cara berjamaah di masjid, seperti Khalid ibn Ma’dan dan Luqman ibn Amir. Keduanya keluar menuju masjid dengan pakaian yang terindah, menggunakan wewangian dan celak untuk menegakkan shalat berjamah di masjid. Ishaq bin Rawawaih juga berpendapat demikian, dia menegaskan bahwa shalat di masjid secara berjamaah pada malam nishfus Sya’ban tidaklah bid’ah. Keterangan ini dinukil oleh Harb al-Karmani dalam kitab al-Masail.

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Auzai. Beliau adalah Imam penduduk Syam yang paling alim dan faqih. Beliau memakruhkan cara pengagungan malam nishfu Sya’ban dengan cara berjamaah di masjid. Akan tetapi membolehkan dengan cara shalat sendirian pada malam nishfus Sya’ban. Di sisi lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepada pembantunya di Basrah. Surat tersebut berisi: “Hendaklah engkau memperhatikan dan menghidupkan shalat sunnah pada empat malam, karena Allah memenuhinya dengan rahmat yaitu: malam-malam awal Rajab, malam nishfus Sya’ban, malam idul fitri dan malam idul Adha.”

Terdapat ahli tafsir, seperti Ikrimah dan penafsir lainnya yang menafsirkan frase “lailah mubarakah” yang berarti malam yang diberkahi pada QS. ad-Dhuhank ayat 4 dengan makna malam nishfus Sya’ban. Namun kebanyakan ahli tafsir memaknai frase “lailan mubarakan” dengan makna malam lailatul Qadar. Terkait dengan kedua tafsir dari frase “Lailah mubarakah” pada ayat ke 4 surah 44, ditemukan riwayat yang dikemukakan oleh Said Ibn Mansyur bahwa; “Abu Manshur telah bercerita kepada kami dari Abu Hazim dan Muhammad ibn Qais dari Atha ibn Yasar, ia berkata: tidak ada suatu malam setelah malam lailatul qadar yang lebih utama dari malam nishfus Sya’ban. Allah turun ke langit dunia, kemudian mengampuni para hamba-Nya kecuali yang orang musyrik, orang yang bersengketa dan memutuskan tali silatur Rahim. Wahai orang yang dibebaskan pada malam itu dari api neraka. Selamat bagimu atas karunia Allah yang agung. Wahai orang yang tertolak, semoga Allah menghilangkan musibahmu. Karena itu merupakan musibah yang besar.”

Secara sosiologis, di antara amalan yang dihidupkan pada malam nisfus sya’ban oleh masyarakat Islam adalah pembacaan surah Yasin sebanyak tiga kali setelah shalat magrib dengan maksud dan niat yang berbeda pada setiap pembacaan surah Yasin. Pembacaan Surat Yasin yang pertama diniatkan agar diberikan Allah umur panjang yang berkah dan dalam ketaatan kepada Allah. Pembacaan Surat Yasin yang kedua, diniatkan agar dijauhkan dari malapetaka. Dan pembacaan Surat Yasin yang ketiga diniatkan agar Allah memberikan keteguhan iman hingga ajal menjemput dengan husnul khatimah.

Adapun doa malam Nisfu Sya’ban yang biasa dibaca setiap selesai baca surah Yasin adalah


اَللّٰهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا ذَا الطَوْلِ وَالإِنْعَامِ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِيْنَ وَجَارَ المُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأْمَنَ الخَائِفِيْنَ   اللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مُقْتَرًّا عَلَيَّ فِي الرِزْقِ، فَامْحُ اللّٰهُمَّ فِي أُمِّ الكِتَابِ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَاقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَاكْتُبْنِيْ عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ المُنْزَلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ “يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ” وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَــالَمِيْنَ   

Artinya: “Ya Allah, Dzat Pemilik anugrah, bukan penerima anugrah. Wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Wahai dzat yang memiliki kekuasaan dan kenikmatan. Tiada Tuhan selain Engkau. Engkaulah penolong para pengungsi, pelindung para pencari perlindungan, pemberi keamanan bagi yang ketakutan. Ya Allah, jika Engkau telah menulis aku di sisi-Mu di dalam Ummul Kitab sebagai orang yang celaka atau terhalang atau tertolak atau sempit rezeki, maka hapuskanlah, wahai Allah, dari Ummul Kitab akan celakaku, keterhalangku, ketertolakku dan kesempitanku dalam rezeki, dan tetapkanlah aku di sisi-Mu, sebagai orang yang beruntung, luas rezeki dan memperoleh taufik dalam melakukan kebajikan. Sungguh Engkau telah berfirman dan firman-Mu pasti benar, di dalam Kitab Suci-Mu yang telah Engkau turunkan dengan lisan nabi-Mu yang terutus: “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi Allah terdapat Ummul Kitab.” Semoga Allah memberikan shalawat kepada Sayyidina Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya. Segala puji bagi Allah SWT.”

Tata cara yang lain yang juga tersosialisasikan dalam masyarakat Islam tertentu ketika mengagungkan malam nishfus sya’ban. Pertama, mereka mendirikan shalat sunnat dua rakaat dengan niat meninggal di atas agama Islam (الموت علي ملة الاسلام). Tata cara shalatnya adalah pada rakaat pertama, setelah membaca surah al-Fatihah, mereka membaca surah al-kafirun. Pada rakaat kedua, setelah membaca al-Fatihah, membaca surah al-Ikhlas. Selesai pelaksanaan shalat tersebut, mereka kemudian membaca surah Yasin dan berdoa.

Kedua, mereka mendirikan shalat sunnat dua rakaat dengan niat dikarunia reski yang luas ( سعة الرزق). Tata cara shalatnya adalah sama dengan tata cara shalat yang pertama. Selesai pelaksanaan shalat tersebut, kemudian membaca surah Yasin dan berdoa.

Ketiga, mendirikan shalat sunnat dua rakaat dengan niat dipanjangkan umur dalam taat ( طول العمر في الطاعة). Tata cara shalatnya adalah sama dengan tata cara shalat yang pertama. Selesai pelaksanaan shalat tersebut, kemudian membaca surah Yasin dan berdoa.

Keempat, mendirikan shalat sunnat dua rakaat dengan niat dianugrahi kekuatan dalam menegakkan ibadah (القوة علي العبادة). Tata cara shalatnya adalah sama dengan tata cara shalat yang pertama. Selesai pelaksanaan shalat tersebut, kemudian membaca surah Yasin dan berdoa. Adapun doa yang dibaca adalah sama dengan doa yang telah dikemukakan di muka dan boleh ditambah doa lainnya.

Saya ingin menutup tulisan ini, dengan pernyataan bahwa dipilihnya pembacaan surah Yasin pada amalan malam nishfus Sya’ban bukan tanpa dalil, namun didasarkan pada berapa hadis yang dinukil oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an yaitu: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Barang siapa membaca surah Yasin pada suatu malam karena mencari keridhaan Allah Ta’ala maka Dia akan mengampuninya.” (HR Ad-Darimi dan ath-Thabrani). Wa Allah A’lam.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *