Lahirnya satu lapik gerakan sosial, tak sedikit bertumpu pada seorang tokoh. Sederet contoh sebagai amsal: Marxisme, Leninisme, Marhaenisme, Saminisme, dll. Syaratnya, paling tidak, terdapat minda yang kuat, relevan dengan semangat zaman, diikuti oleh massa, bisa dipraktikkan, dan diakui oleh publik. Dan, penamaan disematkan oleh para pengikut, akademisi, kritikus sosial, ataupun masyarakat luas.
Gedung warisan Kolonial Belanda, Gedung MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada Ahad, 16 November 2025, pagi-siang, menjadi arena percakapan tentang sosok perempuan agung: Fatimah Az-Zahra. Percakapan tersebut serupa haul, peringatan atas sahidnya bunda Fatimah Az-Zahra, sang putri kinasih Rasulullah Muhammad saw. Istri dari Amirul Mukminin, Khalifah Keempat, Imam Ali bin Abi Thalib ra. Bunda dari dua pemuda penghulu surga: Imam Hasan-Husein, dan Zainab al-Kubra, sang Aqilah Bani Hasyim.
Usungan tema bertajuk, “Apa Arti Menjadi Perempuan Salihah di Zaman Kini? Belajar dari Fatimah Az-Zahra”. Uniknya, para pemantik bukanlah tokoh-tokoh nasional perempuan, melainkan para pegiat dan penggerak di ranah dan ruang geliat masing-masing. Di sinilah kekuatan percakapan itu, sebab mereka bergerak di arus yang bersentuhan dengan publik. Plus, ada pula penyandang ibu rumah tangga, tetapi keluar kandang untuk bergerak.
Helatan menampilkan lima perempuan: Sitti Nurliani Khanazahra (Penulis dan Dosen Filsafat UINAM), Nurul Husnah Al-Fayanah, S.Pd. (Ketua Fatayat NU Kota Makassar), dr. Yani Sadiqah, M.Kes., Sp.MK. (Dosen Mikrobiologi FK-UMI), Andi Sri Wulandani (Aktivis Perempuan), dan Mauliah Mulkin (Pegiat Parenting, Penulis, dan Koord. Free Palestine Network Makassar).
Komunitas Mafatihal Jinan menjadi penyelenggara, didukung oleh beberapa ormas dan komunitas. Fatayat NU Makassar, Fathimiyyah Makassar, MAI Makassar, Paradigma Institute, Rumah Baca Semesta Nama, Free Palestine Pokja Makassar, Rumah Jakfi, dan Namaste. Tak ketinggalan sebentuk hiburan bernuansa tradisi, Pakacapi Makassar: Daeng Tola.
Sebagai pegiat literasi dan menjadi bagian dari Paradigma Institute, saya ikut menyata di helatan. Selain mengantar pasangan saya, Mauliah Mulkin, selaku salah seorang pemantik percakapan, juga ikut bantu-bantu tenaga ala kadarnya penyelenggara. Pasalnya, helatan ini, nyaris serupa konfrensi terbatas kaum perempuan. Selain pesertanya memang terbatas, lelaki dewasa yang hadir, tidak lebih dari lima jari tangan saya.
Waima saya berada dalam hegemoni kaum perempuan, saya tetap mengintimi percakapan. Menikmati pendar-pendar minda dari sekotah pemantik percakapan, maupun respon penghadir. Aura helatan menghidu saya, agar jangan terlalu tinggi langga (besar kepala), sebab menjadi minoritas selalu punya kerumitan tersendiri. Helatan ini mengajarkan pada saya, bagaimana rasanya dihegemoni dan sedapat mungkin tak elok bersukaria, tatkala menghegemoni. Di hadapan hegemoni sekelompok perempuan, saya nyaris menjadi mobil Panther: suaranya nyaris tak terdengar.
Namun, justru di sinilah letak strategisnya kehadiran saya. Sebab, bisa lebih meditatif mengintimi jalan pikiran para perempuan yang menyuarakan suara perempuan, berlapik dari seorang perempuan agung, buat semesta gerakan perempuan. Dan, dari lapik perbalahan tentang jagat perempuan berbasis ketokohan bunda Fatimah Az-Zahra itu, seolah kepercik ilham, agar menegaskan pentingnya dihadirkan simpai minda dalam Fatimahisme: Semesta Gerakan Perempuan.
Baiklah, saya ajukan seikat minda dari para pembicara. Sitti Nurliani, selaku dosen mengedepankan Fatimah Az-Zahra sebagai seorang wanita cerdas, tumbuh dalam selimut cahaya kenabian. Nurul Husnah menyorot Fatimah Az-Zahra selaku pendidik dengan dua konsep utama al-hayat dan al-batul. Yani Sadiqah mengungkapkan bagaimana sosok Fatimah Az-Zahra dalam memelihara kesehatan jiwa-raga, dan Sri Wulandani mengedepankan aktivisme Fatimah Az-Zahra dalam lingkup sosial, serta Mauliah Mulkin menghadirkan Fatimah Az-Zahra sebagai ikon perlawanan meskipun dalam kesunyian.
Jujur, simpai minda yang direspon oleh beberapa penghadir, memancing saya agar menegaskan pentingnya mengaktualkan ketokohan sang perempuan agung, menjadi semacam isme, buat menjadi panduan gerakan ideologis perempuan. Memanifestokan sekotah sepak terjang Fatimah Az-Zahra sebagai anak biologi sekaligus ideologi Rasulullah Muhammad saw., baik selaku sosok personal maupun di lingkup keluarga dan masyarakat.
Bukankah saat ini, gerakan-gerakan perempuan senantiasa mencari panduan konsepsi ideologis, sebagai lapik gerakannya? Saya pikir, Fatimahisme bisa diajukan buat lapik bergerak menyuarakan suara kaum perempuan dalam segala aspeknya. Sebab, Fatimah Az-Zahra amat komprehensif jalan hidupnya, dari rumah untuk dunia.
Arkian, seperti apa Fatimahisme itu? Ungkapan sederhana buat memantik percakapan selanjutnya, mungkin saya perlu ajukan. Pertama, inti dan konsistensi serta persistensi kejelasan mindanya. Kedua, universalitas atau relevansinya dengan era kiwari. Ketiga, mengedepankan keunikan dan kemungkinan pentingnya diinterpretasi kebaruannya.
Keempat, bagaimana dengan keteguhan para pengikut. Kelima, formulasi konsep, teks, doktrin, maupun manifesto gerakannya. Keenam, pentingnya menimbang kondisi sosial dan gejolak zaman di segala bidang kehidupan. Ketujuh, menyigi arah gerakan sekaligus kerangka analisisnya.
Kalakian, apakah momentum helatan di MULO, bisa menjadi fondasi untuk mendirikan bangunan semesta gerakan perempuan berlapik Fatimahisme? Hemat saya, dibutuhkan percakapan-percakapan berikutnya. Mengapa? Pasalnya, tradisi peringatan terkadang hanya sebatas ritus haul sejarah dukacita. Padahal, kata Ali Syariati, sang penulis buku, Fatima is Fatima, menegaskan dalam satu artikel revolusioner, sejarah hanya fungsional bila bicara masa depan, “A Glance of Tomorrw’s History”.
Mungkinkah sejarah masa depan perempuan, semesta gerakannya berlapik Fatimahisme? Wallahu ‘alam.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.


Leave a Reply