Pemimpin tanpa Jabatan

“Jika semua orang mau menyapu halaman mereka sendiri, seluruh dunia ini akan bersih.” (Bunda Teresa)

Dunia yang makin cepat dan kompetitif mengharuskan semua orang berlomba mengejar impian masing-masing. Realitas kehidupan sosial, mengharuskan kita memilih yang terbaik dari seluruh pilihan yang ada. Dengan demikian, keberhasilan orang diukur, sejauh mana memilih cara yang tepat meraih yang diimpikan.

Tak ayal, kita akan dihadapkan pada sebuah proses untuk menentukan hasil terbaik. Di era digital sekarang, orang cenderung menempuh jalan menuai hasil, tanpa melalui proses. Apalagi di dewasa ini, teknologi mempermudah meraih hasil tanpa proses panjang.       

Tak dimungkiri, di beberapa tempat, kecanggihan teknologi telah menggantikan kedudukan manusia. Bahkan, teknologi sebagai alat kerja manusia, kini, jauh melampaui kemampuan manusia memperoleh hasil maksimal.

Tujuan manusia beda-beda, begitu pun prosesnya. Menitik beratkan pada proses adalah pilihan, begitu juga, ketika seseorang hanya berorientasi pada hasil, pun tak salah. Proses dan hasil, adalah keniscayaan. Pilihan keduanya, sangat tergantung cara pandang kita terhadap realitas yang sedang hadapi.

Dari sederet pilihan yang dihadapkan pada kita, akan diuji sejauh mana kemampuan memanfaatkan variabel pendukung yang berasal dalam dan luar diri kita. Robin Sharma seorang Konsultan Kepemimpinan ternama, menuliskan kisahnya  dalam bukunya, The Leader Who Had No Title (Seni Memimpin Tanpa Jabatan).

Dalam kisah Sharma membawa kita memahami hakikat passion kepemimpinan yang sejatinya kita miliki, tanpa kita berkompetisi keras dan berdarah-darah demi jabatan. Tak pelak, pangkat, jabatan dan kedudukan bagian dari kepemimpinan. Di balik kemengahan jabatan, Sharma menggulas lebih dalam hakikat kepemimpinan.

Menggunakan filosofi LWT (Lead Without a Title), Sharma, membeberkan, semua orang mesti melihat diri kita bagian dari kepemimpinan. Kita tak butuh kewenangan formal untuk memimpin lagi. Cukup kita mulai menjalankan peran yang sekarang dengan sebaik mungkin. Pemimpin tak ada hubunganya dengan apa yang kita dapat, atau di mana kita duduk. Kepemimpinan lebih menyangkut secerdas apa kita bekerja dan sepiawai apa berperilaku.

Kita semua perlu memikul tanggung jawab pribadi, atas peran kita sendiri di posisi sekarang, dan bersinar di mana pun kita berada. Kita semua punya sumber potensi kepemimpinan dalam batin. Jika tiap individu dalam organisasi dari perusahaan, pemerintahan, komunitas dll, menemukan potensi tersebut, maka, bisa jadi seluruh dunia akan berubah.

Menurut Sharma, menerjemahkan filosofi LWT, dalam pekerjaan dan hidup pada umumnya, kita harus bayar kesuksesan sebelum mendapatkan semua imbalan. Artinya, kita akan selalu menuai apa yang kita tabur. Bahkan, perbuatan baik sekecil apa pun akan membuahkan hasil. Pendeknya, kita akan  selalu dapat apa yang selayaknya.

Tentu, upaya kita di bidang masing-masing, berimplikasi pada hasil dan prestasi, baik berupa materi maupun melampaui batas-batas materi. Jika kita pelajari orang-orang hebat terdahulu, tak seorang pun mencapai prestasi demi uang.

Orang-orang hebat seperti Nelson Mandela, Edison atau Einstein, dll, bukan uang yang mengerakkan mereka. Tantanganlah pendorongnya, sehingga, hasilnya melampaui batas materi. Karya atau prestasi mereka sesuatu yang unik, tapi hebat. Itulah dorongan yang menjadikan mereka legendaris.

Tak dimungkiri, uang sesuatu yang penting untuk hidup nyaman. Uang menjadikan kita memiliki eksistensi, seperti, peduli terhadap keluarga dan sesama. Pendapat tersebut tak salah, tapi, sesunggungnya uang hanyalah efek samping yang berdiri di antara sisi terbaik, atas hasil yang kita maksimalkan.

Mengubah mindset terhadap suatu pandangan, akan mengubah cara kita merespon. Konsep Memimpin Tanpa Jabatan, perlu dilatih di setiap arena yang kita terjuni. Melalui latihan terus-menerus, ide baru bisa cepat terintegrasi menjadi keyakinan baru. “Kita perlu lebih sering diingatkan daripada diajari,” kata sang pemikir, G.K. Chesterton.

Menjalankan praktek memimpin tanpa jabatan, setidaknya, dapat dilatih dengan menggunakan konsep IMAGE. Menurut Sharma, ada lima langkah mudah menjadi pemimpin tanpa jabatan. Pertama, inovasi. Ada banyak orang menganggap mendaur ulang formula sukses membuatnya tetap aman. Tentu hal tersebut konyol. Kemajuan terbesar dan penemuan terbaik selalu ada dorongan menjadi berbeda. Inovasi selalu lebih baik daripada mengulang yang pernah berhasil pada masa lalu. 

Seorang pemimpin tanpa jabatan terus melambungkan ide dan merenggangkan kemampuan dengan bertanya kepada diri sendiri, “apa yang bisa kuperbaiki hari ini”. para inovator memegang komitmen untuk menjadikan semua yang mereka sentuh lebih baik daripada sewaktu ditemukan.

Kedua, menguasai, menjadi satu-satunya standar operasional di era sarat perubahan saat ini. Sarannya, “jadikalah orang yang menguasai, sampai orang tak bisa mengabaikanmu”. Titik awal untuk menjadi ahli, adalah meningkatkan ekspektasi atas diri sendiri. Artinya, kita memiliki komitmen untuk menjadi yang pertama, utama, satu-satunya dan terbaik.

Kebanyakan, orang menerapkan standar rendah atas dirinya. Oleh karena itu, ceburi arena yang lebih besar, terbang lah lebih tinggi. Hingga akhirnya, kita adalah terbaik di dunia.

Ketiga, autensitas. Di tengah tekanan sosial, kadang dunia sekitar mendorong kita untuk hidup sesuai nilai mereka, bukan nilai yang kita anut sendiri. Memimpin tanpa jabatan, menuntut kita tutup ruang itu, supaya misi dan panggilan jiwa lebih jelas terdengar.

Jadilah diri sendiri, jujur dan kosisten, sehingga pribadimu tercermin lewat sikapmu. Bersikap autentik dan jujur pada diri sendiri, dengan sendirinya kita menemukan potensi diri, dan bekerja dengan cerdas, maka, itulah diri kita sesungguhnya.

Keempat, guts atau naluri. Sejatinya kita tak butuh jabatan. Pemimpin Tanpa Jabatan harus sangat tangguh dan bernaluri tajam. Seorang pemimpin mutlak memiliki kegigian dan keberanian, bahkan, kebaranian itu melebihi keberanian orang-orang berakal, serta mempunyai ketahanan menanggung resiko melebihi orang-orang biasa.

Kelima, etika. Perkara etika banyak yang melupakan hal ini. Padahal, pekerjaan apapun yang paling berharga, adalah memegang nilai dan menjaga nama baik. Tak ada lebih baik daripada sikap jujur, dapat dipercaya, tepat waktu, dan memperlakukan orang sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Ironisnya, terlalu banyak orang ingin yang instan – potong kompas. Mereka memikirkan dirinya sendiri, mengesampingkan tata krama dan etika yang baik, padahal, dalam banyak hal, hanya reputasilah yang kita punya.

Seseorang yang memiliki reputasi baik, tak perlu melakukan apa pun. Orang-orang akan berbondong-bondong mendatanginya. Orang-orang itu, akan memberitahu seluruh dunia siapa dirimu, karena itu, jagalah nama baik, dan citra pribadimu.

Walhasil, menghayati filosofi LWT (Lead Without a Title), sejatinya, kita tak butuh jabatan untuk menjadi pemimpin. Semua orang mampu memimpin, dan semua itu ada dalam diri kita. Sekarang, pilihan itu kita sendiri tentukan.    


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *