Menulis di Jalan Sunyi: Menjaga Obor di Tengah Badai

Menulis selalu saya bayangkan seperti berjalan di jalan sunyi dengan membawa obor kecil di tangan. Kadang anginnya terlalu kencang, badai datang tanpa permisi, dan langkah terasa goyah. Namun setiap kali obor itu hampir padam, ada suara halus dari dalam diri yang berbisik: ‘Siapa lagi yang bisa menjaga obor ini kalau bukan kamu?’ Dan di situlah saya kembali melangkah.

Menulis, bagi saya, bukan sekadar aktivitas menciptakan kata. Ia adalah ibadah, bentuk paling jujur dari membaca diri, membaca alam, dan membaca Tuhan. Dalam menulis, saya belajar mengenali luka dan syukur dalam waktu yang sama. Saya belajar bahwa setiap kalimat adalah doa yang bergerak, setiap paragraf adalah bentuk pengabdian kepada ilmu dan kehidupan.

Dunia di luar kadang begitu riuh, terang benderang oleh hal-hal yang gemerlap. Namun justru dalam riuh itulah, penulis diuji: apakah ia masih sanggup menjaga nyala kecil miliknya?

Bagi sebagian orang, menulis tampak seperti kesia-siaan atau pekerjaan sunyi yang tak menghasilkan banyak pujian. Tapi bagi saya, menulis adalah cara untuk tidak ikut padam. Selama masih ada satu kalimat yang bisa ditulis, masih ada harapan bahwa kebaikan dan ilmu akan menemukan jalannya sendiri.

Saya selalu percaya pada janji Allah: ‘Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.’ (QS. Al-Mujadilah: 11) Menulis adalah salah satu cara untuk terus mencari ilmu, dan dengan itu saya berharap bisa termasuk di antara mereka yang diangkat derajatnya, bukan oleh manusia, tapi oleh Allah.

Saya sering membayangkan bagaimana wajah dunia ini, jika tidak ada satu pun manusia yang bersedia menuliskan pikirannya. Padahal, wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca, lalu apa yang bisa dibaca bila tak ada yang menulis?

Sejak awal peradaban, manusia sudah berusaha menjaga ingatan dan pengetahuan dengan cara yang sangat sederhana: menggoreskan tanda di pelapah kurma, mengukirnya pada batu, menuliskannya di tulang atau pada papan kayu.

Bahkan jauh sebelum itu, nenek moyang kita meninggalkan jejak di dinding-dinding goa berupa goresan primitif yang tetap sanggup menyeberangi ribuan tahun untuk berbicara kepada kita hari ini. Dari situlah saya memahami betapa besar peran seorang penulis: menjadi penghubung antara masa yang telah lewat dan manusia yang belum lahir, menjaga kabar agar tidak hilang ditelan waktu.

Menjadi penulis berarti menerima kehidupan yang tidak selalu mudah. Kita harus berani menyalakan obor di tengah badai, tahu bahwa angin bisa datang kapan saja, tapi tetap memilih untuk berjalan. Dan mungkin, di ujung perjalanan itu, ketika dunia telah sepi dan hanya tersisa cahaya kecil di tangan, barulah kita akan mengerti: bahwa menulis bukan sekadar tugas, tapi amanah. Amanah untuk menjaga cahaya agar tak padam, agar manusia tak kehilangan arah menuju Tuhannya.

Namun semakin jauh saya berjalan di jalan sunyi ini, semakin saya menyadari bahwa tidak semua orang diberi kemampuan untuk menulis, bukan karena mereka tidak bisa, tetapi karena belum tentu mereka dipanggil untuk itu. Menulis bukan hanya keterampilan, melainkan panggilan jiwa. Ia menuntut kesediaan untuk menanggung sepi, untuk menatap diri sendiri tanpa topeng, dan untuk tetap teguh menjaga makna di tengah kebisingan dunia yang terus bergerak cepat.

Di saat banyak orang berlomba untuk didengar, penulis justru belajar mendengarkan: mendengar napas kata, suara batin, dan bisikan kecil yang datang dari tempat yang jauh di dalam diri. Menulis membuat saya mengerti bahwa diam pun punya bahasa, dan bahwa Tuhan sering berbicara melalui kesunyian yang panjang.

Kadang, saya merasa menulis adalah cara Allah menenangkan hamba-Nya yang gelisah. Dalam setiap tulisan, saya belajar menerima: menerima masa lalu, menerima kenyataan, bahkan menerima bahwa tidak semua yang kita tulis akan dimengerti orang lain. Tapi bukankah itu juga bagian dari ibadah? Menulis bukan untuk dipahami, tapi untuk mengabdi.

Saya sering berpikir, mungkin tulisan-tulisan saya tidak akan dikenang luas. Mungkin mereka akan terselip di antara ribuan naskah lain yang lebih gemerlap. Namun jika ada satu saja jiwa yang merasa terhibur, tercerahkan, atau lebih dekat pada Tuhan setelah membaca kalimat sederhana dari saya, maka itu sudah cukup. Sebab niat awal saya menulis bukan untuk dikenang, tetapi untuk bermanfaat.

Dan di situlah letak kebahagiaannya. Ketika saya menulis tanpa pamrih, saya justru merasakan kedekatan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri yaitu kedekatan dengan Sang Pencipta ilmu, Sang Penulis takdir.

Mungkin kelak, ketika dunia ini telah berubah dan nama saya pun tak lagi disebut, tulisan-tulisan itu akan tetap hidup di antara manusia. Bukan karena saya penulisnya, tetapi karena di dalamnya ada niat yang tulus, doa yang tak bersuara, dan keyakinan bahwa menulis adalah bagian dari ibadah.

Maka jika ada satu doa yang selalu saya panjatkan setiap kali menutup halaman, doa itu sederhana saja: ‘Ya Allah, jadikanlah setiap kata yang saya tulis sebagai cahaya yang menuntun, bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi diri saya sendiri.’

Ada masa ketika saya bertanya-tanya: mengapa saya harus menulis? Mengapa saya harus menanggung sepi ini, menjaga obor di tengah badai yang tak kunjung reda? Namun semakin saya mencari jawabannya, semakin saya yakin bahwa bukan saya yang memilih menulis, tapi menulislah yang memilih saya.

Allah menanamkan pada hati manusia berbagai jalan untuk beribadah: ada yang melalui kerja, ada yang melalui pengabdian, ada pula yang melalui kata. Dan mungkin, jalan yang diberikan kepada saya adalah menulis, sebuah jalan sunyi tapi penuh makna.

Menulis membuat saya belajar tentang sabar, tentang ikhlas, tentang bagaimana memberi tanpa berharap kembali. Ia mengajarkan bahwa setiap huruf yang kita tulis dengan niat baik bisa menjadi sedekah ilmu, yang pahalanya mengalir bahkan setelah kita tiada.

Saya semakin yakin bahwa menulis bukan sekadar kemampuan; ia adalah bentuk amanah. Tugas kecil untuk menjaga cahaya pengetahuan agar tidak padam, agar manusia tidak kehilangan arah menuju kebaikan. Maka, ketika dunia terasa terlalu gelap, saya tahu tugas saya sederhana saja: tetap menulis, agar masih ada cahaya kecil yang menyala.

Kini, saya tidak lagi melihat jalan sunyi ini sebagai beban. Ia adalah tempat saya berbicara dengan Tuhan, tempat saya memurnikan niat, tempat saya belajar tentang makna kesendirian yang penuh kasih. Saya tidak berjalan sendirian, karena setiap kata yang saya tulis adalah doa yang menemani langkah saya.

Dan jika suatu saat nanti waktu memanggil saya untuk berhenti, saya berharap satu hal: semoga tulisan-tulisan ini tetap hidup, menjadi saksi bahwa saya pernah ada, walaupun bukan sebagai penulis besar, tetapi sebagai seseorang yang mencoba menyalakan cahaya di tengah badai.

Sebab menulis, pada akhirnya, adalah bentuk penyerahan. Penyerahan kepada takdir, kepada makna, kepada Allah yang memberi kata-kata. Dan selama tangan ini masih mampu menggenggam pena, saya akan terus menjaga obor itu — bukan karena saya kuat, tapi karena saya percaya: setiap cahaya yang lahir dari niat baik, tak akan pernah padam.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *