Literasi Kuat, Bantaeng Bangkit (?)

Apalah makna satu peristiwa bila tak direfleksikan. Hanya akan menjadi seonggok ingatan tanpa geliat. Peristiwa yang direfleksikan akan berpucuk pada perenungan kejadian. Lalu, hikmah menyata, sikap berubah, dan kesadaran membumi.

Begitulah kiranya dengan hajatan Festival Literasi Bantaeng, dibentang helatannya oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantaeng, 23-25 Oktober 2025, bertempat di Perpusda Bantaeng, dibuka oleh Wakil Bupati Bantaeng, H. Sahabuddin dan ditutup oleh Bupati Bantaeng, Fathul Fauzy Nurdin. Baik acara pembukaan maupun penutupan, Kadis Perpusda Bantaeng, Syamsir, sunyata mendampingi. Temanya amat membahana, “Literasi Kuat, Bantaeng Bangkit”.

Sederet agenda tersaji: pertunjukan seni budaya, gelar wicara, launching dan bedah buku, pameran karya literasi, bazar murah, kegiatan edukasi, hiburan kreatif, donor darah, pemeriksaan kesehatan, dan kegiatan UMKM lokal, serta unjuk prestasi perpustakaan desan/kelurahan. Penghadirnya, selain elemen OPD, tampak pula para pelajar-mahasiswa, komunitas-pegiat literasi, dan masyarakat umum.

Selaku pegiat literasi dan menjadi bagian dari helatan festival ini, usai fest-nya, saya memilih jeda berlaksa detik. Pasalnya, perlu mengambil jarak, guna melakukan proses objektivikasi terhadap festival tersebut. Khususnya, usungan tema yang frasanya sangat menggoda buat diulik. Sebab, deretan acara dan slogan yang dibahanakan penyelenggara, diamini oleh penghadir, barulah sebentuk lubang kecil, untuk mengintip gerakan literasi di Bantaeng.

Betulkah Bantaeng akan bangkit, manakala literasi kuat? Atau, kala gerakan literasi kuat di Bantaeng, pasti bangkit negerinya? Gongnya telah dipukul oleh H. Sahabuddin, Wabup Bantaeng, tatkala membuka festival. Gunya Paramasukha Putri, sebagai Bunda Literasi telah menegaskan urgensi literasi dalam gelar wicaranya, dan Fathul Fauzy Nurdin, selaku Bupati Bantaeng, sudah menabalkan sambutan keberpihakannya, lewat penegasan pentingnya kesadaran literasi, sebagai pondasi pembangunan daerah berkelanjutan.

Sambutan penutupan Fathul Fauzy Nurdin yang menekankan pembangunan daerah berkelanjutan, mengingatkan saya pada pondasi gerakan literasi, tapi belum selesai bangunan gerakannya secara struktural. Apa itu? Pondasi gerakan literasi sudah ada, berupa Perda No. 5 Tahun 2022, tentang Penyelenggaraan Gerakan Literasi Bantaeng.

Jika konsisten dengan keberlanjutan pembangunan daerah, maka Perda Penyelenggaraan Gerakan Literasi Bantaeng tersebut, mesti diwujudkan Peraturan Bupati (Perbub) Bantaeng, agar penampakan gerakan literasi secara struktural, punya arah ke depan, sebagai peta jalan pembangunan berkelanjutan bagi para pengurus negeri.

Perda Penyelenggaraan Gerakan Literasi Bantaeng, saat ini telah menjadi arsip tinggalan pengurus negeri sebelumnya. Warisan pondasi gerakan literasi ini, nasibnya akan bergantung pada pengurus negeri di kekinian, maupun mendatang. Hanya satu langkah strateginya, membuat Perbub serupa penguat aktualisasi Perda. Sebab, Perda tanpa Perbub sama dengan impoten.

“Bantaeng Bangkit” sebentuk slogan Pemkab Bantaeng, 2025-2020, menjanjikan harapan bagi sekotah anak negeri. Tentu harapan pula pada cerahnya gerakan literasi di Bantaeng secara struktural. Dan, Perda Penyelenggaraan Gerakan Literasi Bantaeng, sangat adaptif untuk dibumikan berlapik slogan Pemkab Bantaeng.

Sekadar gambaran umum saja, Perda tersebut lahir dari usulan para pegiat-komunitas literasi, via forum informal, Masyarakat Literasi Bantaeng, lalu DPRD Bantaeng menjadikan sebagai Perda Inisiatif. Spirit dari Perda tersebut, mengedepankan strtategi pembumian, mulai dari Gerakan Literasi Nasional hingga ke daerah. Pembumiannya di tingkat daerah, berbentuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga (GLK), dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Pemerintah, keluarga, dan masyarakat disimpai dalam spirit holistik.

Lapik sasaran gerakan, bakal menyasar paling tidak 6 literasi dasar: Baca-tulis, Numerasi,Sains-Teknologi, Informasi-Digital, Keuangan, dan Budaya-Kewargaan. Dapat dibayangkan, betapa komprehensipnya pendekatan literasi dasar tersebut, sebab bakal melibatkan seluruh OPD yang ada di Bantaeng. Bukan sekadar menjadi bagian dari OPD Perpusda, meskipun tekongnya ada di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bantaeng.

Arkian, Perbub yang diidamkan dalam ranah imajinasi, sedapat mungkin ada semacam kelembagaan, serupa Dewan/Komite Literasi Daerah, yang akan menjadi operator dalam penyelenggaraan gerakan literasi di Bantaeng. Sebenarnya, minda bakal Perpub sudah pernah disawalakan beberapa kali pada tahun 2024, tapi belum menemukan bentuk konkritnya sebagai satu bentuk usulan final.

Nah, Perda yang sudah sempat bangun pondasinya, terancam mengalami impotensi, manakala tidak dikuatkan oleh Perbub. Jadi, Perbub dibutuhkan sebagai obat kuat, supaya hasrat gerakan literasi makin moncer secara struktural. Di tangan pengurus negeri saat ini, ramuan obat kuat yang membangkitkan hasrat bergerak itu bisa diwujudkan.

Festival Literasi Bantaeng telah dihelat. Banyak pagina lahir kalau dituliskan peristiwanya. Sekotah capaian ternikmati. Popularitas terma literasi makin populis di Bantaeng. Anak-anak negeri makin fasih menyebutnya. Namun, ketidaksempurnaan selaku penyerta festival, pasti menjadi teman pengiring pada setiap hajatan. Maka saya layak menderam separas apologi: bila datang urita tentang kekurangan, maka di situlah letak kesempurnaannya.

Pada akhir yang dini, saya mengedepankan esai ini, berbekal dua momentum peristiwa. Lahirnya Perda Penyelenggaran Gerakan Literasi Bantaeng dan Festival Literasi Bantaeng, sebentuk peristiwa berpotensi hanya sebagai ingatan. Serupa nostalgia, terlalu indah dilupakan dan terlalu sedih dikenangkan. Slogan Bantaeng Bangkit yang di-gasspoll, bisa menjadi mantra penolongnya, ketika bisa disetubuhkan dalam dua frasa perkawinan: Literasi Kuat, Bantaeng Bangkit. Dan, tanda tanya (?) penyerta pun tunggang langgang terbirit-birit.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *