Gegara Kata Budele

Sebelumnya, agar tidak piti-piti dan kapitu-pitu (asal dan ngawur). Supaya lebih terarah, agar tidak mengada-ada. ‎‎Bagaimana seksi dan rupawannya serta asal-usul “budele“? Konteks budayanya?  Yang sering jadi incaran, bahkan sengketa pada sebuah keluarga. Hingga berujung tragis. Sesama  saudara “sikapallakki” (saling sikat), hanya gegara “budele“.  ‎‎

‎‎Kata budele,  memiliki beberapa versi pengertian. Ada yang memperkirakan berasal dari akar kata bude’ atau budde, yang dalam bahasa Makassar kuno berarti sesuatu yang disimpan atau dijaga dengan hati-hati.‎‎Sedang akhiran –le adalah bentuk penegasan atau penentuan kepemilikan (mirip seperti kata “-nya” dalam bahasa Indonesia). 

Jadi secara harfiah, budele bisa berarti “milik yang dijaga” atau “barang yang berharga”.‎‎

Benarkah kata ini juga muncul dalam naskah lontara? (tulisan kuno Bugis-Makassar), yang menandakan kepemilikan harta yang diwariskan turun-temurun? ‎‎Lalu kemudian ditambah riasan perubahan makna seiring waktu‎.

Dalam kehidupan modern, budele masih digunakan dalam arti “harta benda” oleh sebagian orang tua atau dalam konteks hukum adat.‎‎Tapi di daerah lain (terutama di kota), maknanya mulai bergeser — sebagian orang salah menafsirkan atau menggunakannya dalam konteks lain yang lebih kasar.

Dari situ muncul makna ganda seperti yang disebut tadi.‎  ‎Sebuah laman mengantar saya di tepian jendela dan dinding-dinding informasi, agar saya tidak terbawa definisi. ‎‎Tidak harus berhenti pada definisi di atas. 

Bagai pengelana, saya mulai candu mencari, agar saya bisa terpandu dan tidak ambigu memahami, apatahlagi menjadi narasi bernama tulisan yang ditafsir, diinterpretasi oleh banyak pemikiran.  ‎‎Membutuhkan konteks lain yang lebih spesifik. Tanpa informasi lebih lanjut tentang kapan dan di mana istilah ini digunakan, sulit untuk menentukan makna atau asal-usul pastinya.

‎‎Begitulah pengantar panjang di atas, agar tidak gegabah,  tetapi berupaya menyerap untuk kesigapan saya dalam menguatkan sebuah konteks dan istilah.  ‎‎Saya memulai penyusuran kembali, meski beberapa tahun lalu, sejak awal  2017 jika tak salah mengingat! Telah saya lakukan. Hingga pada saat pertemuan serumpun itu dimulai tahun kemarin sampai saat ini.  ‎‎

Rasa rindu menyeruak, tertanak di labirin waktu yang saya jalani.   Menikmati suasana alam, dan aroma kopi Pama’ yang dulu pernah hadir menghiasi peradabannya di abad 18,  meski telah berabad lalu. Serta yang katanya juga punya peninggalan bernama budele. Hem. ‎‎Walau kisahnya tidak sewangi dongeng dan sejarah yang dibuat oleh pemenang. ‎‎

Di tengah kumpulan cerita dari tetua,  dan peristiwa sejarah yang hanya dituturkan, hingga pada reaksi yang amat sensitif, saat menyebut kata yang menghancurkan struktur, tatanan serumpun keluarga. ‎‎Betapa penuh peristiwa kelam, hanya karena budele paasianakkang (persaudaraan kandung), yang dulunya saling melindungi, menyayangi. Mejadi buah petaka hingga bara dendam, sampai pada akhirnya satu jiwa terkapar dan  nyawa melayang. 

‎‎Seketika saya  menempuh jarak zaman yang jauh, merengkuh dan membasuhkanku harapan untuk  sebuah suaka leluhur. Bukan mencari identitas apalagi pusaka, atau “budele“.  Hem. ‎‎Sebagaimana kata budele, membuat otak kita tergiring bahkan healing tentang materi. ‎‎Hingga pada titik tertentu saya harus jeda pada  beberapa hal unsur, dan padanan,  yang butuh untuk lebih ekstra berhati-hati dalam mencocokkan, menyadur, menjadikannya salah satu sumber. Padahal akhirnya samar bin hambar. ‎‎

Asal mula dan mahluk dari mana  kata budele itu!? ‎‎Akhirnya selain penghantar di atas. Hasil healing seorang Puspita di antara ritus laman yang berjubel akhirnya menguak bahwa maknanya bisa dua:‎1. Makna halus (positif) → budele = harta, peninggalan, milik berharga.‎‎ 2. Makna kasar (tabu) → kalau diucapkan dalam konteks emosi atau makian, bisa berubah jadi kata tidak sopan seperti yang tadi dijelaskan.

‎‎Saya belum bisa memahami secara utuh ulasan makna dan istilah kata budele ini. ‎‎Serasa belum merasa nyaman dan aman uraian definisi pembuka narasi ini.  Saya masih butuh menemukan lebih spesifik asal kata dan muasalnya si “budele” ini.  ‎‎Seakan menuju sebuah lereng, di antara rimbun gairah manusia pemburu identitas saat ikrar terkapar di tengah belukar, saya hanya  menggumam saja. ‎‎

Puspita kembali menyapa seperti biasa, kali ini menggugah dan membuatku sumringah di sebuah unggahan,  menemukan tentang budele  itu dari kata mana? ‎‎Sebagaimana  elok nan rupawan,  sampai mampu mengubah sekejap perangai manusia, persaudaraan dalam kandung sekalipun, sampai mengusik, bahkan mencongkel nilai budaya dan watak manusia, kehilangan kendalinya “tanremo nammaling-maling, tanre tommi paccea“. (tak lagi berpaling, tiada lagi rasa iba). ‎‎Dia menguatkan, serta menyuruh saya menoleh pada satu unggahannya.  Wow. Akhirnya kumenemukanmu!

Boedel/Budele, adalah kata dari Bahasa Belanda.‎‎ Dalam bahasa Belanda, boedel berarti harta benda, kekayaan, atau warisan.‎‎Terurai di dinding laman ini. Kata boedel,  merupakan salah satu dari banyak kata serapan yang masuk ke dalam kosakata hukum Indonesia selama masa penjajahan Belanda, di mana sistem hukum waris dan kepailitan (berdasarkan Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata) sangat dipengaruhi oleh hukum Belanda.‎‎

Lantas bagaimana konteks Hukum Resmi di Indonesia?‎‎ Dalam hukum positif Indonesia, istilah Boedel Waris (Boedel Waris) didefinisikan sebagai keseluruhan harta peninggalan pewaris yang menjadi objek warisan, termasuk aset (aktiva) dan utang/kewajiban (pasiva).

‎‎Istilah ini juga digunakan secara luas dalam hukum kepailitan, dikenal sebagai Boedel Pailit (harta kekayaan debitur yang disita karena dinyatakan Dalam hukum positif Indonesia. ‎‎Istilah Boedel Waris (Boedel Waris) didefinisikan sebagai keseluruhan harta peninggalan pewaris yang menjadi objek warisan, termasuk aset (aktiva) dan utang/kewajiban (pasiva).‎‎‎

Lembaga negara yang secara khusus mengurus harta peninggalan yang tidak memiliki ahli waris yang jelas (atau kasus-kasus warisan tertentu) adalah Balai Harta Peninggalan (BHP). ‎‎Bahkan, nama lembaga ini pada zaman kolonial adalah Wees- en Boedelkamers (Kamar Yatim Piatu dan Boedel/Harta Peninggalan), yang menunjukkan peran sentral kata boedel dalam administrasi hukum waris sejak dulu.‎‎Jadi, ketika masyarakat Bantaeng/Makassar menyebut “budele” untuk harta warisan, mereka sedang menggunakan varian pelafalan lokal dari istilah hukum Belanda “boedel” yang telah mendarah daging dalam konteks hukum perdata dan waris di Indonesia. ‎‎Begitulah adanya, gegara kata Budele inilah,  dengan  cepat  mengubah watak manusia, secara sikis,  hanya karena sebuah istilah yang merenggut nilai-nilai tiada bertapal. ‎‎Solah terseret ke satu titik peristiwa, yang umum terjadi.

Perkara Budele mengubah sedetik pikiran, jiwa batiniah, yang tadinya merelakan serta mengalah. Tetiba menjadi kalap. ‎‎Karena terhasut dan terbawa suasana antara budaya dan agama diatur dengan merujuk di satu kata “budele”. Di mana notabenenya juga dari saduran bahasa asing. Lalu diserap dan diterapkan mengubah sisi lain budaya, adat istiadat setiap bangsa, serta daerah setempat. ‎‎Klasik dan sangat menelisik ke relung palung terdalam sesama kandung, satu rahim menjadi kandang pertarungan habis-habisan. ‎‎Seberapa besar pengaruh budele itu diatur dengan cara yang mulai tidak sepadan dengan budaya kekinian. Sementara si karun telah tertimbun beradab lalu, toh juga harta warisan masih menjadi incaran.

‎‎Petuah telah diabai, gelagat manusia semakin tidak terkendali. Hanya karena sepetak warisan, saudara didera dengan cara apa saja, sampai gelar perkara. ‎‎Ini gegara pertalian budele. Mungkinkah kiranya, atau setidaknya ada pemahaman lebih secara sosialisasi sejak awal, bahwa pembagian dan aturan hukumnya ada budaya, istiadat di kemas dalam sebuah peraturan yang tidak tenang pilih, dan kadang menambah sengketa berujung nyawa dan penjara. ‎‎

Berapa peristiwa jejak warisan, yang hanya membunuh karakter sesama, sampai tiada ampun kebencian sampai ke titik nadir. ‎‎Budele menjadi momok, tetapi diburu sebagai harapan dapat jatah, walau dengan risiko kehilangan rasa yang pernah ada terhadap sanak, menjadi ramai, saling mendepak. ‎ ‎

Sumber gambar: https://chatgpt.com/c/69113ca5-7a40-8322-b17c-d1cf8e9eeb29


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *