Semua sisa kenangan, tergenang di antara belantara kesenjangan sosial, antara keinginan, harapan serta kenyataan. Tergilas oleh sesuatu di luar waras.
Saya pikir kepulan asap tebal di cerobong itu, adalah bagian dari api abadi kehidupan. Rupanya bukan.
Setiap detik, tungku dipertahankan. Jangan sampai padam, cuan tidak mengalir, dampaknya buruh sasaran.
Mata nanar, membidik satu persatu para buruh yang tersisa tenaga semalam. Dipaksa lembur, tanpa upah tambahan. Hanya dapat ampas, hitungan jam dan leburnya tidak direken, amblas dirampas.
Berusaha menggumam, tetapi semakin terasa dirajam. Suara dan nyanyian jiwa mengalun penuh empati, melengkapi kesaksian. Betapa sumir dan gulitanya keadaban manusia. Demi bertahan hidup, dan demi kuasa, apa saja dilakukan.
Atau inimi dibilang kerja paksa, walau bukan di zaman belanda? Ah, saya terlalu ceroboh berkata seperti ini, mungkin.
Nikel telah terjungkal di antara selengkangan para pemodal. Menggugurkan hak para buruh. Gugat yang patut untuk dibayar, menjadi buyar dibabat dengan segala cara. Begitulah kira-kira.
Lirih terucap di bibir Nehru dengan bergetar. Suaranya kian berat. Bahkan air matanya juga enggan untuk mengiba.
Saya berusaha kembali bercakap, tidak seperti biasa, saling diam.
Dalam hidup cukup mencari cara bertahan di rimba raya kebenaran. Ketika mimpi terusik di pagi buta. Asah kembali jiwa, dan bergegaslah meraihnya, walau seribu anak panah ketimpangan sosial berusaha menggugurkan.
Bahkan, kadang, jika tidak hati-hati, kita menjadi mangsa, dari pikiran-pikiran yang terbakar kita dijebak. Disabit janji palsu oleh mereka yang menyolong kemarin sore, memenuhi kuota suara, bernama slogan wakil rakyat, pemimpin. Sampai kita tercekat, sebuah prank kebijakan yang masih samar, di antara belukar kesenjangan sosial.
Sebagaimana seorang ibu, di tepi subuh bermunajat, bahkan hendak memprotes Tuhan, sembari menanti kabar si buyung tentang nasibnya terkena dampak putus hubungan kerja.
Sedayu rayu manusia yang juga lazim mengadu, dan mengaduk-aduk. Sambil mengarang dan membuat ritual di tengah persoalan, ada yang bertolak pinggang, ada terbirit lari dari tanggung jawab sebagai perwakilan suara rakyat!
Entah cara apalagi, dengan pisau analisis hukum misalnya, juga terpental di balik layar, para cukong bereaksi.
Mungkin saja bersekongkol?
Bagai kondom dilepas di tengah aksi, bekas mereka yang lagi syahwat. Lupa bahwa ada bekas perapian dari tanah yang masih perawan, berdiri penuh harap cerobong asap yang ternyata menggasak hak-hak manusia, seketika dan sekejap semua raib.
Menunggu bagai pungguk merindukan bulan, tetapi yang datang hanya bualan.
Nehru setelah putusan PHK mengintainya, saat turun ikut aksi, bertahan selama proses awal dia bergabung di SKIBA sambil nyambi, mencari pekerjaan lain.
Kali ini menarik kabel ajakan seorang karib dan keluarga, sebagai pekerjaan barunya menutupi paradoksnya, serta kecemasan berlebihan pasca PHK. Mengimbangi pikirannya agar tidak berada pada psikis menjadi kecemasan berlebihan.
Ah, tetapi, apa hendak dikata, Semua berujung kongkalikong. Di balik meja sidang, di antara jubah-jubah hukum. Semua hanya pepesan dan sampah. Warna mukanya merasakan kecewa yang amat dalam.
Nehru bagai menemukan duka sebuah keadilan, tatanan hukum, dan kebijakan yang rapuh, berpihak kepada pemilik saham terbanyak. Mangkir di gelanggang peradilan mewakili Tuhan. Lalu Tuhan sendiri mereka tipu. Hem.
Saya berusaha menyusuri relung hatinya. Tetapi tidak harus gegabah pada lesung persoalannya, yang kini berdampak mendera jiwanya. Hendak berteriak, memuncah bahkan berontak. Saya diam mendengar kidung nestapanya.
Ini bukan kiasan ilustrasi kata saja. Ini rasa, bukan seolah empati, dan ikut latah menulis keresahan mewakili mereka.
Sesuai rekanan dan pesanan, di tengah gelagat budaya baru, walau sesungguhnya tak sebenarnya baru, masih belum beranjak dari budaya yang purba, berlakon dan masih menggunakan logika primitif.
Dari perangai dan watak, setiap periode demokrasi itu berlangsung, semua sama saja. Belum tuntas dengan gejala sindrom, tersandera oleh teken perjanjian bernama utang demokrasi yang semakin baunya menyengat seperti terasi.
Belum ada secara riil, secara substansi, realisasi secara dari berbagai, menufver, bahkan inovatif, ternyata bukan lagi fiksi, tetapi fiktif.
Bagaimana mungkin mengubah sistem, sementara mereka terkerangkeng oleh peristiwa sejarah, budaya, sosial, demokrasi, teken dan topeng saat menjadi fanatisme kepada sesiapa yang baru memimpin, menggandeng kepentingan pribadi serta kelompok.
Sama saja belum mampu mengatasi sebuah kebijakan yang sejak awal melakukan pembiaran.
Jika tak sejalan tidak semua berjalan mulus, jika mau jalan mulus, jadi jongos kepentingan, bagai menikmati paha mulus dengan akal bulus.
Sebuah kidung, berbekal musikal yang dramatis, hendak menciptakan suasana hening. Lalu sesuatu menyekap, terasa betapa sekian lama peluh buruh selama itu terkibuli.
Begitulah adanya, selain lari dari tokdopulina (perjanjian) dikemas sebagai “pa’balle toli“. Bagai membujuk anak perawan, melepas dan melucuti pakaian pengantinnya.
Lalu mereka dikhianati saat percintaan awal begitu menggiurkan, menggairahkan. Tetiba memutuskan untuk hubungan kerja dan perapian cinta sudah usai. Keputusan secara sepihak. Tanpa hak jawab.
Cerobong asap pembakaran satu persatu rubuh, dengan seribu alasan klasik, pada dalih dari segala alibi. Rugi? Saya yang awam saja geleng kepala tak percaya.
Inilah awal pemantik di tengah kebijakan atas nama peradaban baru, perubahan, inves katanya! yang hanya membuat semua apes.
Budaya yang katanya terseleksi secara profesional, etos, integritas dan menemukan solusi lapangan kerja. Toh kenapa jua satu persatu hengkang meninggalkan tanah leluhurnya.
Sementara data parade penganggur, terpaksa memakzulkan dirinya sendiri daripada terkhianati noktah merah kebijakan yang orang tolol juga tahu. Bagaimana menempatkan situasi, kondisi dengan secara adil, bukan berusaha cari aman.
Atau alat pengaman saat perkawinan di tanah bertuah yang hamil tua, bernama nomenkelatur diatur dengan ngawur.
Terdengar dari kejauhan, mereka para perantau pada akhirnya enggan pulang. Mereka masih bertahan mengadu nasib di negeri orang. Tadinya harapan bagai angin surga di kampung halamannya. Mencekatnya, penuh miris. Bunga kehidupan menjadi buah petaka.
Beberapa telah pergi meninggalkan sanak, bahkan kekasih pujaannya, kampung halamannya.
Hendak mencoba bertahan hidup di negeri tanah kelahirannya sendiri. Hanya menjadikannya pengecut.
Bara dan asap, sisa kenangan, jejak nikel menembus paru-paru, sementara mereka berpesta pora. Setimpal budak tanpa ampun disabung mengais cuan. Tersisa hanya kenangan, membalut lukanya sendiri. Bahkan tidak sedikit jiwa melayang tiada dikenang lagi.
Sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Hanya di permukaan tampak semua menjadi dewa. Tetapi ketika tanggung jawab diserahkan, mereka menjadi pecundang.
Serikat buruh bukan sebatas pemikat. Akan tetapi lahir dengan maklumat kemanusiaan atas nama hak. Perannya bukan hadir dari utusan mana, serta ditunggangi siapa, itu gosip murahan.
Ternyata move on begitu sukar, bahkan terbalik sepertinya bukan bagi yang kalah, dengan merawat cinta, tetapi rasa-rasanya bagi pemenang juga masih belum merasa nyaman dan tenang.
Ada pula yang anti aksi dan kritik. Alih-alih ikut debat, tetapi beraninya hanya di balik layar, dari celotehan hendak menampik dan menantang, petantang petenteng dengan data palsu, dari argumentasi yang basi. Serikat buruh tak gentar, setapak jua mereka tidak akan mundur.
Masih berjuang sampai saat ini, sebuah kegetiran di detak nadi-nadi buruh, dengan menduduki sebuah gedung. Hendak dengar pendapat. Tapi mereka para cukong ngacir duluan, saat menemui mereka yang tersisa hanya bekas pesing, di sebuah gedung yang katanya perwakilan mereka sendiri sebagai buruh dan rakyat.
Dinamika yang begitu kuat, dari intimidasi, hingga pada reaksi, mereka masih tegak, konsisten pada subtansi persoalan. Menyibak tabir kepalsuan, tanpa harus bertindak anarkis.
Beberapa kali bujuk rayuan pulau kelapa itu ada, bahkan ada upaya dan usaha untuk memecah belah, membujuknya dengan iming-iming tentunya!
Semua terbantahkan, tetap menjunjung tinggi nilai perjuangan. Mengajak para cukong bertarung di padang keadilan. Secara tangan kosong, tanpa ada tameng dan senjata pemusnah nan ampuh bernama kaki tangan di baliknya.
Sesungguhnya kita terpedaya selama ini, bahkan membutakan kita, terperana olehnya, termangu dungulah kita. Dan kini kitalah budak budaya demokrasi, dan birokrasi, sebagai biro paha mulus, semua lancar secara administrasi, bukan kebijakan secara berani bertaruh dengan segala konsekeunsi. Itu baru seksi bin keren.
Bualan budaya! tersungut bahkan menjadi jongos di negeri yang kaya akan nilai yang amat sakral itu: “sipatangara’, sikapaccei, sipakainga’ sipakatau. Nayatanya begitu terbalik menjadi “sikapallakki, sitallangngang, sipatuntung, dan salatturang.”
Budaya, katanya dari leluhur, kultur yang disuguhi nomenkelatur, hanya hadir sekadar pelengkap penderitaan.
Meggugurkan budaya, ternafikan karena tidak mendatangkan inves, atau keuntungan lebih. Padahal di luar sana, negeri berkemajuan justru karena budayanya (cara berpikir, bertindak) dia prioritaskan. Membuatnya mandiri, mengelola tatanan sosial, ekonomi secara transparan menurut budaya mereka. Bukan bermain mata dengan para kolega.
Para buruh akhirnya tercerahkan betapa penting berserikat, di tengah kelopak kemesraan para elit, dan para kacung baru mencari suaka, tahta dan harta di tanah tumpah darah kelahirannya.
Nehru kembali kutemui di teras depan, matanya sendu, dan pilu, dan tersia-siakan mimpi untuk amma (ibu), suaranya terdengar pelan, sambil duduk berhadapan dengannya dia berucap: Betapa menuntut keadilan tidaklah semudah, mengucap menancapkan tiang bendera yang telah usang dan gersang, warnanya pudar, mencari hukum keadilan, bagai mencari jarum di jerami.
Ini hanya kidung, dari nyanyian indung-indung kepala lindung. Menjadikan mereka murung, termenung jauh menatap pembakaran tempatnya dulu bermandi peluh. Lalu hanya disisakan perjanjian palsu.
Naif. Atau saya terlalu terbawa suasana?
Ini hanya kidung dalam balut narasi panjang. Sambil mencoba menyimak setiap peristiwa manusia di abad kekinian. Ada yang merasa pintar, tapi tidak pintar merasa, ada yang tahu apa yang dia tidak tahu. Sementara peristiwa itu di depan hidungnya yang belang.
Saya kemudian bertamasya, di sana tetiba Steven Pinker menawarkan, bahwa: Kecemasan semakin berkembang bukan lagi kelaparan dan kemiskinan. Akan tetapi tiga hal berikutnya yang dicemaskan adalah peperangan, virus dan kebahagiaan. Seraya pula memburu popularitas.
Membaca peradaban. Dia terkapar sejak awal kongkalikong dari Hongkong itu terjadi. Kita terkhianati oleh orang sama, dengan kulit yang katanya sawo matang, bentuk wajah, mata, dan rambut, budaya yang sama pula. .
Seperti saat ini, tatanan sosial, ekonomi, hukum, budaya bahkan agama, diobral murah, diobrak-abrik, sebagaimana cerobong pabrik tercetus lalu enggan menebus upah yang begitu pelik, berkelik atas nama aturan perusahaan, padahal mereka merampok dengan cara mulus dan bulus.
Saya merayap saja dan tiarap berlindung di antara kecaman manusia sesama manusia. Fobia bin paranoid. Bagai menggenggam granat dan dinamit peladak kecemasan yang berlebihan.
Sobekan-sobekan idealisme dan realistis terkikis di tengah gurun peradaban bekas manusia yang mulai punah. Dari yang berpetuah hingga mereka yang mulai terkondisikan oleh sebuah interaksi sosial sampai pada transaksional.
Matahari mulai condong ke barat. Suara dan mata sendu Nehru melawan gejolak batinnya. Harapannya semoga terbuang dengan gelar sidang selanjutnya, semoga keadilan itu hadir walau secuil, di antara bedil, garuda, dan para bandit jubah keadilan.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).


Leave a Reply