Relawan oh Relawan

“Jangan biarkan orang baik berjuang sendirian.” Kalimat singkat itu, hilir mudik jelang masa pemilu sampai. Siapa yang melantamkannya? Mereka yang menyebut dirinya relawan. Pada mulanya, relawan adalah cermin partisipasi warga negara, sebelum maknanya dibunuh oleh mereka sendiri. 

Relawan dalam konteks politik, idealnya adalah konglomerasi warga negara, dengan kesukarelaan menyumbang waktu, tenaga, dan pikiran, dalam upaya mengenalkan sang calon pada lebih banyak orang. Dasarnya: kepercayaan atas figur tersebut, keyakinan mereka pada visi misi, pengalaman, dan program yang dinilai akan ramai manfaat.

Namun, belakangan ini, saya punya kekesalan akut dengan yang namanya relawan. Saya senang dulu ketika term relawan, berarti bekerja tanpa pamrih. Sayang, seiring berlalunya waktu, banyak di antara mereka melucuti dirinya: mencampakkan nilai-nilai yang semasa ini menyampul kiprah mereka. Kini, relawan kehilangan maknanya: ia menjadi mesin politik.

Terang ini bukan warita baru dalam loka politik, ini muatan lama. Karenanya saya tak tahu persis, kekesalan ini mengapa baru tiba sekarang, apa karena baru melek politik sekarang-sekarang ini, atau memang karena situasi politik nasional sekarang terlampau gaduh.

Selaku penikmat gelar wicara di TV maupun YouTube, saya senang betul ketika mengulas hal-hal yang tengah jadi sorotan, khususnya di tanah air. Di sana, di depan para mahasiswa beralmamater, para narasumber meniupkan opini jempolan mereka, saling sanggah soal data dan fakta pun terjadi.

Tetapi lama-lama, makin ke sini, mengapa terasa makin memuakkan. Dialog menjadi kurang bernas. Tajuknya menarik, tapi arah diskusinya tersendat. Bukan karena kurang bahan, melainkan karena narasumber tak sepadan. Hampir di setiap forum, suara yang terdengar hanya datang dari mereka yang sama: para relawan, yang perlahan menjelma jadi juru tafsir tunggal atas segala hal.

Sempat saya merenungi, mana tahu orang-orang ini ahli di segala bidang, karenanya apa pun perkaranya, wajah yang muncul itu-itu saja, dia-dia saja. Dari polemik ijazah palsu, kasus korupsi, sampai isu terkini soal kereta cepat, yang terus mengoceh tetap saja sama: para relawan politik dengan latar belakang tak jelas apa.

Kemuakan saya makin membanyak, tatkala menatap perangai mereka yang pongah dan sok tahu itu. Bahkan kala bersua sosok ulung: ekonom ternama, pengamat politik terkemuka, atau ahli hukum tata negara, mereka tetap kukuh membusungkan dada.

Meski saya punya keyakinan, bahwa siapa pun berhak bicara apa pun. Tetapi dalam kondisi ini, bala relawan tersebut tampak menyerobot tugas para ahli, dalam menjelaskan fenomena-fenomena mutakhir. Karenanya, gagasan Tom Nichols dalam The Death of Expertise atau Matinya Kepakaran, menjadi sangat relevan di masa ini.

Tom Nichols, mengamati bahwa sentimen anti-ahli ini telah digunakan dalam politik, dan ini berkontribusi pada kemerosotan sistemik di dalamnya. Menurutnya, di era informasi, orang-orang awam cenderung menganggap pendapat mereka sama validnya dengan pendapat para ahli. Hal ini mengikis rasa hormat terhadap analisis logis dan pengetahuan yang mapan.

Dengan jangkauan sebegitu luas, pelantar digital macam siaran televisi, sepatutnya memelawa panelis yang sama berkualitasnya di ruang silang pendapat. Sebab, media besar tak dapat dinafikan, memberi pengaruh lebih luas.

Lain soal jika itu terjadi di warung kopi, di sana anda bebas ngomong apa saja. Banyak pendongeng handal di sana. Dari membincangkan perkembangan harga cengkeh, kasus perselingkuhan tetangga, hingga menteri dengan kinerja terburuk. Semua tema itu dilahap dalam satu babak.

Tanpa maksud mengurangi hak siapa pun untuk bicara, saya hanya berharap media lebih selektif memilih narasumber. Biarpun, keinginan itu kelihatannya bakal pupus begitu saja, sebab mereka membutuhkan sensasi, pemicu ledakan penonton: lewat teriakan bersahutan layaknya kernet angkot, sentimen pribadi yang mengernyitkan dahi, hingga adu fisik bak preman pasar. Mereka menginginkan itu, sebagai jalan memompa rating.

Di lain sisi, kendati sama sulitnya, saya memohon pada para relawan untuk tidak jemawa: bertingkah seolah bisa menguraikan sekotah perkara. Tidakkah lebih bijak, bertutur di hadirat publik, akan soal yang benar-benar dipahami, tidak sekadar menyampaikan kata-kata kosong.

Akhirnya, sebuah pertanyaan menampar ruang sadar saya: benarkah mereka rela menanggung malu di hadapan banyak pasang mata, ketika mesti bicara di luar kapasitas mereka, seraya dihadapkan pada figur berkompeten. Kadang-kadang saya juga berpikir, apa relawan ini juga sekaligus juru bicara? Sehingga apa pun masalah mengemuka, merekalah pihak paling sibuk pasang muka.

Faktanya, di lapangan, batas itu bukan lagi tentang keilmuan, melainkan tentang kepentingan. Tentang siapa yang dapat lebih mepet dengan kekuasaan, tentang siapa rela berkorban untuk penguasa.

Ataukah ada udang di balik batu dalam hal ini. Mungkinkah ada maksud terselubung dari giat para relawan dalam menyingkirkan mereka yang beda? Bisa jadi memang begitu, semangat tampak tulus di permukaan, tetapi mungkin saja hanyalah kamuflase.

Membumbung kebingungan saya, ketika banyak gerakan relawan tak lagi jadi gerakan sosial. Kini, kerelaan yang menyatu atasnya, terasa bagai label semata. Gerakan itu nyata-nyata sarat akan kepentingan, pada masanya nanti, ia bakal bermanis muka di hadapan sang tuan. Bermaksud mengingatkan kembali, upah yang belum terbayarkan dari pergumulannya sejauh masa kampanye.

Tak tanggung-tanggung, upah mereka memang kelewat besar. Tak peduli apa latar belakang anda, pendidikan dan keahlian anda apa, semakin banyak massa bisa dihimpun, makin sering anda menampakkan diri di muka media, niscaya anda bisa jadi dirut BUMN, wamen, bahkan kursi menteri pun dapat anda duduki.

Paradoksnya: untuk mendapatkan jabatan tinggi dan penting, terasa begitu mudah. Sementara rakyatnya, sekadar melamar kerja jadi buruh pabrik, syaratnya terasa lebih sulit daripada masuk surga.

Gelagat yang melibatkan kekuasaan dan relawan ini, semakin membuat apa yang selalu kita bicarakan, yaitu meritokrasi, benar-benar musnah. Padahal, meritokrasi punya nilai urgensi dan menjadi fondasi yang baik sebuah pemerintahan.

Celakanya lagi, hal itu tak saja terjadi di pemerintahan pusat. Selain anggaran, contoh pun ditransfer pusat ke daerah, tentang cara culas mengamankan kendali politik. Sehingga tak perlu menjuling jauh ke ibu kota, sebab sekarang, barangkali kepala daerah di mukim anda, baru saja menabalkan relawannya mengisi jabatan strategis atau menitipkannya ke dinas-dinas terkait.

Negeri ini memang memiliki sejarah panjang dengan budaya patronase, di mana loyalitas pribadi lebih dihargai daripada kompetensi. Dalam konteks ini, hubungan keluarga, pertemanan, atau koneksi politik kerap kali jadi faktor utama dalam meraih suatu hal.

Di sebuah negara, jika hanya menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan jalan, meritokrasi dalam tubuh pemerintahannya tak penting-penting amat. Orang punya kapasitas harus menelan pil pahit, bahwa ia tak lebih dibutuhkan, di banding yang punya kedekatan. Kompetensi digantikan koneksi.

Dan ironisnya, di sebuah negara antah berantah, hal demikian itu disangka wajar, seolah imbalan politik adalah takdir. Kita akhirnya terbiasa melihat loyalitas dibalas dengan posisi strategis. Tanpa lagi menimbang layak atau tidaknya seseorang.

Namun, mungkin yang sesungguhnya hilang bukan semangat pengabdian, melainkan kemampuan menjaga niat tetap bening di tengah keruhnya arus balas jasa.

Sejatinya, relawan bukan tentang siapa paling lantang meneriakkan dukungan, tapi siapa paling tulus bekerja dalam diam. Sebab di antara hingar bingar politik dan tepuk tangan yang menipu, masih ada ruang kecil bernama keikhlasan, tempat di mana makna relawan semestinya kembali pulang.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *