Usia Remaja: Langkah Awal Mencintai Literasi

“Dari membaca aku menemukan dunia, dari membaca aku berkelana tanpa berpindah.”

Kutipan tersebut sangat populer di media sosial. Membaca itu kegiatan yang melelahkan otak. Mengapa? Karena sebuah kalimat terdiri dari beberapa kata, dan sebuah kata terdiri dari beberapa huruf, dan huruf adalah simbol. Ketika membaca sesuatu, kita perlu menerjemahkan setiap simbol yang ada untuk membentuk kata, yang kemudian menjadi kalimat.

Sounds really exhausting and that’s what happen inside your brain.” Itulah kenapa di jalan raya, akan lebih sering melihat simbol belok kanan, daripada tulisan belok kanan, sebab satu simbol akan jauh lebih cepat dicerna otak daripada sepuluh simbol, dan satu simbol bisa merepresentasikan hal yang kompleks dalam tulisan menjadi sederhana.

Namun, apakah hal tersebut menjadi alasan untuk malas membaca? Tentunya tidak. Walaupun membaca itu sulit, tapi sangat diperlukan dalam kehidupan. Karena bangsa yang cinta membaca, bangsa yang tingkat literasinya tinggi, akan menjadi bangsa penemu dan dipenuhi generasi dengan daya inovasi tinggi.

Kita tidak akan jadi bangsa kelas teri, kita akan dipenuhi kemampuan untuk memahami dan toleransi, tidak gampang diprovokasi dan memaki.

Bangsa yang tingkat literasinya tinggi, selain disegani dunia, juga akan menjadi wadah yang memang dibutuhkan oleh negeri. Tingkat literasi yang tinggi, menunjukkan kemampuan bangsa untuk bisa berkompetisi di kancah internasional.

Literasi bukan hanya kegiatan membaca dan menulis, literasi lebih dari itu. Literasi merupakan kemampuan berbahasa, cara berkomunikasi efektif, kemampuan memahami, menyimak, menggunakan dan menyebarluaskan informasi yang didapat melalui berbagai sumber bacaan, ataupun pemanfaatan teknologi secara cerdas dan bijak. Namun perlu diingat, kegiatan membaca merupakan modal utama dalam literasi.

“Teknologi masyarakat Indonesia menyatakan malas baca, tapi cerewet di media sosial.” Berdasarkan survei yang dilakukan Program For International Student Assessment (PISA), dirilis Organization For Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke 70 dari 80 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

UNESCO menyebutkan minat baca Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang di Indonesia hanya satu orang yang minat membaca. Indonesia merupakan negara yang paling terbelakang dari kemampuan
membedakan fakta dan opini, tidak heran banyak warganya yang termakan oleh hoax.

Adapun hasil riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State university pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menjadi peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Dan fakta menarik dari indeks literasi digital di Indonesia pada tahun 2022, secara umum masyarakat lebih percaya informasi dari media sosial dibandingkan informasi sumbernya.

Hal ini bukan sesuatu yang baik, mengingat kembali mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan luhur bangsa Indonesia, sehingga kita perlu perubahan, perubahan tersebut bisa dilakukan melalui hal hal kecil, dengan memulainya dari diri sendiri.

Sementara itu di Indonesia, skil membaca dan menulisnya sudah sangat dahsyat.  Pada tahun 2005 buta huruf di Indonesia masih 10%, hari ini orang buta huruf di Indonesia tinggal 1,19%, tapi setelah dianalisis, sebagian dari mereka bisa membaca tetapi tidak mengerti apa
yang dibaca.

Hal tersebut menjadi permasalahan di sekolah, banyak siswa-siswi hanya pintar membaca, tapi saat diberikan tugas untuk menceritakan kembali apa yang telah dibaca, hanya beberapa anak yang benar benar-benar paham atas apa yang mereka baca. Padahal, literasi itu ada tiga orientasinya, enlightenment (mencerahkan), enrichment (memperkaya wawasan), dan empowerment (memberdayakan).

“Hanya perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca, dan carilah buku itu,” satu kutipan dari Najwa Shihab, yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. Karena, sebanyak apa pun buku self improvement, yang diberikan kepada orang yang menyukai cerita pendek, mereka tidak akan tertarik membaca buku itu. Namun, sebaliknya ketika
memberikan satu buku cerita pendek, itu sangat menarik bagi orang tersebut. Jadi, yang perlu digarisbawahi, bukan minat baca yang rendah, tetapi kemampuan mengenal diri sendiri.

Minat dan bakat ialah dua kata yang memiliki arti berbeda, tetapi memiliki keterkaitan antara keduanya. Jika seseorang memiliki bakat, ia akan semakin terdorong dan termotivasi oleh minat. Seseorang yang mengembangkan minat, secara tidak langsung dapat menyalurkan bakat yang dimilikinya.

Banyak orang terutama remaja yang tidak mengetahui, bagaimana arah minat dan bakatnya, karena tidak mengenal diri sendiri. Terlebih, usia remaja yang berada di masa peralihan menuju usia dewasa, baik hendak bekerja atau melanjutkan kuliah. Padahal, masa remaja adalah masa pencarian jati diri, di mana remaja dituntut untuk menentukan masa depan yang diraihnya nanti.

Dengan mengetahui minat, bisa menjadi modal awal bagi para remaja, agar bisa memulai membaca. Karena, untuk membaca sebuah buku, maka kita harus menyukainya, dan untuk jatuh cinta pada buku, harus sesuai dengan minat pembaca.

Ketika remaja membaca buku sesuai dengan minatnya, maka itu menimbulkan rasa ketertarikan. Sebab, apa yang dibaca sesuai dengan apa yang diinginkan.




Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *