Pengetahuan umum sudah menabalkan, sebuah buku merupakan produk rohani. Istilahnya, buku separas anak rohani. Buku serupa refleksi kerja rohani, menunjukkan buku lahir dari getar jiwa yang mencari keabadian. Napas penulis ada dalam buku, menjadi kata dan hidup setiap kali dibaca. Buku tak hanya menyimpan pikiran, tapi luka, doa, dan harapan terpatri di dalamnya. Pada setiap buku yang jujur, jiwa penulis akan berbisik ke masa depan.
Amboi sedapnya, amat berlimpah kata-kata, kutipan-kutipan bijak bisa diajukan, guna mengeksiskan makna-makna filosofis dari sebuah buku, sebagai tempat mengintip dunia futur. Dan, begitulah kiranya sebuah buku berjudul, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita, berisi 60 tulisan, ditulis oleh 58 kontributor, jebolan program Bimtek Kepenulisan Perpusda Bantaeng, setebal 260 halaman-xii.
Dalam selimut pertengkaran antara sore dan senja, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita, disawalakan. Dipandu oleh Ade Sulmi Indrajat, menampilkan dua pemantik minda, Ardi Labarani mewakili sekotah penulis dan Sulhan Yusuf merepresentasikan editor. Bagi para penghadir, baik penulis maupun undangan, tentu ada yang bertanya, ada apa dengan cinta, eh.. ada apa dengan Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita di hari Jumat, 24 Oktober 2025, pada helatan Festival Literasi Bantaeng, 23-25 Oktober 2025, di Perpusda Butta Toa Bantaeng?
Baiklah, saya ceritakan saja sejumput rahasia dari kamar ingatan, bentangan peristiwa sebelum kelahiran, hingga dibedah lewat pisau percakapan, lalu dirayakan kelahirannya di hajatan Festival Literasi Bantaeng. Baik konteks maupun kontennya.
Kala itu, Juli-Agustus 2024. Kantor Bidang Layanan Perpusda Bantaeng masih berpusat di jantung Kota Bantaeng, bekas Gedung Wanita, persisnya di pertigaan Jalan Manggis, Jalan Elang, dan Jalan Kartini. Saya diajak oleh Kiky Suarsih, Kabid Layanan Perpusda Bantaeng, agar ikut mengintimi beberapa paket program dari Perpusnas Jakarta. Ada sederet program yang ditawarkan oleh Perpusnas, tetapi Perpusda Bantaeng Bidang Layanan, memilih Bimtek Kepenulisan, Lomba Penulisan Resensi Buku, Lomba Bertutur, dan Festival Literasi.
Nah, dari tawaran program inilah mula perkaranya. Kiky meminta saya ikut bertanggung jawab atas pilihan program tersebut. Semulanya, saya ogah, karena lumayan berat amanahnya, bisa-bisa kepala plontos saya ditumbuhi rambut kembali. Namun, karena saya sudah di sogok bergelas-gelas kopi hitam jenis robusta nirmanis dari Warkop Corner, tiada berdayalah menolaknya.
Waktu bergerak lambat, tetapi cepat dalam putaran detik. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, tiba-tiba datang dengan tusukan tinjarrung “Efesiensi Anggaran”. Banyak program yang terkapar, hanya tercatat sebagai arsip kenangan luka bagi pemerintah daerah. Hebatnya, program dari Perpusnas, tiada imbas efesiensi. Berjayalah Perpusda Bantaeng. Benderanya berkibar, sementara tidak sedikit OPD lain angkat bendera putih.
Urita baik dari Kiky menegaskan, segera akan dimulai realisasi program. Saya pun yang tiada berdaya karena sogokan bergelas-gelas kopi, ikut mengintimi sederet program tersebut. Dilalah-nya, menyata Gedung Perpusda Bantaeng yang baru, diresmikan oleh Penjabat Bupati Bantaeng, Andi Abubakar, 9 Desember 2024. Usai peresmian, Kantor Layanan pun pindah ke gedung baru nan mewah. Waima, isi dalamnya gedung, masih membutuhkan kelengkapan yang selengkap-lengkapnya.
Tanpa mengabaikan rangkain program lainnya dari Perpusnas, saya diminta untuk mengawal program Bimtek Kepenulisan. Mulai dari teknis pelaksanaan Bimtek, menjadikan buku hasil Bimtek, penerbitannya, hingga perayaannya di Festival Literasi Bantaeng. Dan, selain saya, Ade Sulmi Indrajat plus Ikbal Haming, turut mengawal sebagai satu kesatuan tim. Tugasnya, menyeleksi calon peserta, narasumber bimtek, pembimbingan, sampai tim editor.
Februari 2025 pamflet pendaftaran calon peserta dibuka secara daring. Tercantum persyaratan, calon peserta berasal dari pustakawan/pengelola perpustakaan, pegiat literasi, pelajar/mahasiswa, dan masyarakat umum. Tak kalah pentingnya, calon peserta menyertakan karya tulis sebagai bahan seleksi awal.
Ketentuan lainnya, 60 orang peserta dan wajib mengikuti Bimtek selama 3 kali pertemuan. Pucuknya, ketika pendaftaran ditutup per 24 Oktober 2025, pendaftar mencapai 95 orang. Berarti akan gugur 35 orang. Tim seleksi rapat penentuan peserta, 26 Oktober 2025. Per 3 Maret 2025, batas waktu pendaftaran ulang bagi yang lulus seleksi.
Tibalah momentum pertemuan perdana, Senin 24 Maret 2025, Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal, bertemakan “Merawat Kearifan Lokal Melalui Literasi Budaya”. Bertempat di Lantai III Aula Perpusda Bantaeng. Dibuka langsung oleh Bupati Bantaeng Muh. Fathul Fauzy Nurdin didampingi Kepala Perpusda Bantaeng, Syamsir.
Usai pembukaan, dilanjutkan pembekalan materi Bimtek. Ada tiga sesi materi sajian, Budaya Lokal/Kearifan Lokal sebagai Objek Tulisan (Sulhan Yusuf), Menulis Artikel (Ade Sulmi Indrajat), dan Menulis Esai (Ikbal Haming). Pertemuan perdana ini ditutup dengan buka puasa bersama. Berkah puasa Ramadan menghidu hajatan Bimtek.
Sebulan kemudian, Sabtu, 26 April 2025, pertemuan kedua digelar seharian di Perpusda Bantaeng. Sesinya, penilaian hasil penugasan penulisan dari peserta Bimtek. Sebagai tim pendamping sekaligus pembimbing, kami berbagi tugas, berdasarkan hasil penugasan. Terkait langsung dengan kesesuain tema dan teknis penulisan. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Mana yang sudah nyaris memenuhi tujuan penugasan, mana yang masih perlu pengembangan, dan mana yang harus diulik secara detail.
Hasil perkembangan tulisan peserta Bimtek difiniskan sebulan kemudian, pada pertemuan ketiga, 24 Mei 2025. Tajuknya, sebentuk evaluasi penulisan dan finalisasi hasil penulisan. Ternyata, ada-ada saja kendala yang tak terkendali. Lima orang peserta, dengan beragam perkaranya, tak bisa melanjutkan kepenulisannya hingga finis. Padahal, dituntut 60 tulisan. Konteks inilah, kami selaku pendamping sekaligus editor turun tangan menutupi kekuarangan tersebut. Tim editor menjadi kontributor tulisan.
Arkian, sekotah tulisan peserta menjadi bahan tim editor untuk mengulik dan menyeleraskan, hingga terangkum dalam satu buku. Pertengahan Juni 2025 editing naskah sudah selesai, rancangan sampul juga oke. Sisa penyelerasan akhir sebelum dikirim ke penerbit. Medio Juli, cikal bakal benar-benar sudah rampung, siap naik cetak. Hanya menanti cairnya anggaran penerbitan.
Top markatop, 23 Juli 2025, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita, naik cetak. Bagai anak yang mau lahir sudah pembukaan satu. Waktu berpihak kepada saya selaku penghubung dengan penerbit Liblitera, sebab amat tepat waktu yang dimangsa, 4 Agustus 2025, selesai cetak di Yogyakarta. Pengiriman ke Makassar lebih sepekan, 14 Agustus 2025, tiba di mukim saya.
Alhamdulillah, syukur tiada bertepi saya panjatkan. Tak pakai waktu lama, saya bawa ke Bantaeng, menyerahkan ke Kiky Suarsih selaku penanggung jawab program. Satu hal yang tak akan saya lupakan, selama buku ini berproses, dukungan ful dari sang Kadis Perpusda dan Kearsipan Bantaeng, Syamsir, nyata adanya. Selalu ada percakapan intim di pojok lantai bawah perpustakaan. Saking intimnya segelas kopi dari Warkop Karau, sering kami bagi dua.
Perkara kelahirannya sudah ditunaikan. Akikahnya, maksud saya launching-nya bergantung pada ayah-bundanya: Perpusda Bantaeng. Rupanya, akan dirayakan secara akbar, lewat ajang festival, ya… Festival Literasi Bantaeng, Jumat, 24 Oktober 2025, jadi ajangnya. Pertengkaran sore dan senja jadi selimutnya, segenap penghadir jadi saksinya, dan para pembedah dan peserta memperkarakannya.
Hasil bedah minda dari Ardi Labarani, atas ulikannya terhadap Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita, menunjukkan bahwa setiap tulisan dari ragam penulis, terkait satu sama lain. Setiap tulisan, pasti terhubung dengan tulisan lainnya. Atau satu tulisan dengan tulisan lain dihubungkan dengan tulisan lainnya.
Di pucuk helatan, tatkala sore dan senja sudah berdamai dalam selimut, toa masjid sudah bersalawat, terungku malam segera tiba, muncul tiga penanggap atas sawala Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita. Mereka mengajukan gugatan sekaligus gugahan. Bila buku ini telah menyajikan ragam budaya lokal Bantaeng, apakah bisa dijadikan sebagai lapik, buat mengenali puncak-puncak kebudayaan Bantaeng? Urgen pula diajukan, apa yang mesti dilakukan setelah semua ini?
Ardi Labarani dan saya merespon dengan gugatan dan gugahan kembali. Mungkin terasa normatif jawabannya. Mohon dimaklumi saja, sebab terungku malam segera menyata. Ade Sulmi sudah menegaskan, jatah sawala sudah habis. Namun, pikiran kolektif kita, tiada boleh berhenti saat ini, hanya karena malam menina bobokkan, serta janji mimpi tak berkesudahan.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.


Leave a Reply