Kolaborasi untuk Mimpi: Catatan Gelar Wicara Literasi

Delapan puluh tahun lalu, ketika Indonesia baru merdeka, tahun 1945, hampir 90% rakyat kita buta huruf. Hanya segelintir orang yang mampu membaca dan menulis, merekalah yang terpilih, para elite, beberapa di antaranya founding father/mother. Bapak ibu bangsa kita.

Tak cukup seratus tahun, menurut data terbaru, tersisa 0,93 % atau sekitar 3 juta orang yang belum bisa membaca dan menulis. Sebuah lompatan besar yang patut dirayakan, walau sekejap mata.

Masa beralih, tantangan berganti. Kini, kita berhadap-hadapan dengan tantangan baru, munculnya generasi yang bisa membaca huruf, tetapi tidak memahami makna. Banyak yang fasih mengeja teks, tetapi tak mampu menafsir konteks. Kita menyebutnya functional illiterate, buta huruf fungsional.

Jadi, kalau dulu perjuangan bangsa kita membebaskan rakyat dari buta huruf, sekarang kerja kita mengambil bentuk lain, membebaskan generasi dari buta makna.

Empat paragraf tadi, menjadi pengantar yang saya dedahkan selaku moderator dalam Gelar Wicara Literasi bertemakan “Menumbuhkan Budaya Literasi Menuju Indonesia Emas 2045”, digelar di halaman Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantaeng, Jumat 24 Oktober 2025.

Hadir sebagai pembicara: Kadis Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Muhammad Jufri, M.Si, Bunda Literasi Kabupaten Bantaeng, Gunya Paramasukhaputri, S.Ikom, dan Duta Baca Provinsi Sulawesi Selatan, Ramlah, S.Sos.

Langit mendung kala Bunda Literasi membuka forum dengan gagasan sederhana yang sering dilupakan: ajakan membaca. Membaca apa saja, mulai dari buku, sejarah, realitas, juga diri sendiri. Demikianlah bentuk literasi yang paling dasar.

Menurutnya, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang membaca akan lebih mudah mencintai pengetahuan. Keteladanan orang tua menjadi kunci. Ia mendorong agar setiap rumah memiliki perpustakaan kecil. Kecil dalam maknanya yang sungguh, mungkin sesederhana rak buku kecil yang bisa diakses anak-anak. Dari sana, bibit membaca tumbuh. Pelan, tapi pasti.

Bunda Literasi juga menyoroti pentingnya membiasakan anak menulis, misalnya melalui kegiatan menulis diary. Aktivitas itu melatih anak menyusun kalimat, mengungkapkan pikiran, sekaligus mengelola emosi.

Dalam konteks psikologi perkembangan, kebiasaan menulis semacam ini memperkuat koneksi antara bahasa dan empati, dua tiang penting dalam membangun kecerdasan sosial.

Tak cukup di keluarga, di sekolah, Bunda Literasi menilai kebijakan membaca 15 menit sebelum belajar harus terus digaungkan. Anak yang sering berinteraksi dengan kata-kata akan memiliki daya nalar yang lebih tajam. Teori language exposure dalam pendidikan juga mendukung pandangan ini: semakin banyak paparan bahasa, semakin kuat pula kemampuan berpikir kritis dan reflektif seseorang.

Pada titik ini, literasi bukan lagi sekadar membaca teks, tapi sudah bergerak maju, jadi latihan berbahasa dan berpikir.

“Mari biasakan anak membaca cerita sebelum tidur,” tutupnya.

Selanjutnya, Duta Baca sebagai narasumber kedua berbicara dari sisi yang berbeda.

Selaku anak muda, ia jelas khawatir dengan kondisi akhir-akhir ini, banyak kekerasan, ada pelecehan, hingga hoaks di mana-mana. Baginya, semua ini terjadi karena rendahnya literasi masyarakat. Dalam konteks ini, literasi menjadi benteng moral dan kemanusiaan.

Masyarakat yang berhenti membaca, pasti berhenti berpikir. Sebab itu, Duta Baca menekankan pentingnya menghidupkan kembali semangat iqra’, gairah untuk membaca dalam makna yang luas: membaca kehidupan, membaca perbedaan, membaca tanda-tanda zaman. Literasi tidak hanya memupuk kecerdasan, tetapi juga kesadaran sosial.

Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi. Gerakan literasi tidak mungkin tumbuh jika hanya dikerjakan oleh satu-dua lembaga. Ini kerja-kerja gotong royong lintas sektor, mulai dari pemerintah, sekolah, komunitas, dan keluarga.

Satu hal yang menarik dari pandangannya adalah soal relevansi bahan bacaan. Minat baca tidak bisa dipaksa, tapi bisa dibentuk dengan bacaan yang dekat dengan kehidupan. Anak-anak di pesisir, pegunungan, atau kota besar membutuhkan buku yang mencerminkan realitas mereka. Anak gunung, pasti malas membaca buku tentang rumput laut. Pun sebaliknya, tak ada guna buku cara menanam kol bagi anak pesisir.

Mungkin, dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa membaca yang baik mampu menumbuhkan rasa keterhubungan. Saat pembaca merasa dirinya “ada” di dalam teks, di situlah literasi tumbuh pelan. Sedikit demi sedikit.

Pembicara terakhir, Kepala Dinas Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan. Ia memandang literasi dari perspektif kebijakan. Baginya, tema “Indonesia Emas 2045” adalah sebuah cita-cita. Kita memang harus berani bermimpi besar, akunya.

Namun, bermimpi saja tak cukup, kita harus bangun dan bergerak. Nah, literasi menjadi jembatan antara mimpi dan tindakan. Dalam konteks pembangunan jangka panjang, literasi bukan lagi hanya urusan baca tulis, melebihi itu, waktunya melangkah ke level berpikir kritis dan kreatif. Dua dari empat kecakapan abad 21.

Mewujudkannya, beliau mendorong gagasan perihal transformasi perpustakaan, bahwa perpus tidak boleh lagi dipahami sebatas tempat membaca dan meminjam buku, melainkan sebagai ruang produksi pengetahuan.

Di sana, masyarakat bukan hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga mengolah, menafsir, dan menciptakan gagasan baru.

Kita patut bersyukur, sebab perpustakaan di Bantaeng, sudah jauh-jauh hari melakukan itu, beberapa kali sawala buku dihelat hasil kolaborasi pelbagai pihak.

Gagasan Pak Kadis itu, sejalan dengan paradigma literasi transformatif, literasi yang mendorong perubahan sosial. Ketika masyarakat tidak hanya membaca teks, tetapi juga mampu menulis ulang dunia di sekitarnya, di situlah literasi mencapai tujuan tertingginya.

“Tanamlah gagasan, tuailah perbuatan, tanamlah perbuatan, tuailah kebiasaan, tanamlah kebiasaan, tuailah karakter, tanamlah karakter, tuailah takdirmu,” Pak kadis menutup dengan kutipan kata-kata bijak.

Refleksi dari Kursi Moderator

Langit makin mendung, mega hitam berkejaran di angkasan. Dari kursi moderator, dari tiga narasumber, saya melihat nada yang sama. Kolaborasi ada koentji.

Literasi tumbuh bukan karena satu pihak bekerja keras, dan lainnya bertepuk tangan, melainkan karena seluruhnya berjalan beriringan. Bunda Literasi menanam benih di rumah dan sekolah, Duta Baca menyiramnya dengan spirit sosial, dan dinas perpustakaan memberi tanahnya pupuk dengan arah dan kebijakan. Ketiganya berpadu menjadi ekosistem yang saling menghidupkan. Mewujudkan mimpi Indonesia Emas 2045.

Sejujurnya, saya kehabisan ide di paragraf terakhir ini, beruntung di rumah ada rak buku, jadi saya tutup sajalah dengan mengutip kata-kata Najwa Shihab dalam Catatan Najwa 2 bertajuk “Buku Adalah Dunia yang Terbuka”,

Buku bukan hanya jendela dunia,

buku adalah dunia yang selalu terbuka.

Siapa yang tekun membaca,

niscaya wawasannya luas tak terkira.

Berkenalan dengan tokoh-tokoh besar,

memahami peristiwa-peristiwa akbar.

Menyelami informasi dan pengetahuan baru,

supaya isi kepala tidak gampang membeku.

Menjadi awal pencarian tak bertepi,

memicu hasrat berinovasi, agar mampu tegak di kaki sendiri.

Buku mengasah pikiran jadi tajam dan dewasa,

tak melihat dunia sebagai hitam putih belaka.

Agar tak gampang diprovokasi,

memahami arti penting toleransi.

Menautkan yang barat, selatan dan utara,

yang Timur pun dapat memahami Indonesia.

Yang dipisahkan oleh jarak semesta,

dapat ditautkan oleh kata dalam pustaka.

Mari membaca setiap waktu,

dari sehalaman tamat sebuku.

Mari membaca sejak hari ini,

tak menunda sampai esok apalagi nusa nanti.

Karena zaman terus berderap melaju,

mustahil merebut masa depan tanpa ilmu.

Dengan membaca kita berbagi rasa merdeka,

bersama buku Indonesia niscaya menjadi jaya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *