Tamasya Spiritual di Makam Datuk Pakkalimbungang

Siar Islam di Kabupaten Bantaeng tak lepas dari peran ulama besar di masanya. Salah satu ulama besar telah berkalang  tanah di tanah bertuah Bantaeng. Sosok ulama karismatik itu, tersohor seantero Bantaeng dan sekitarnya. Meski sudah berabad-abad lamanya, sosok ulama itu masih familiar di tengah-tengah masyarakat Bantaeng.

Diketahui, kedatangan ulama di Butta Toa Bantaeng, tidak lepas dari upaya islamisasi yang dimotori kerajaan Gowa saat itu. Melalui perintah Raja Gowa, seorang ulama didatangkan dari tanah Minangkabau, guna membumikan Islam di Bantaeng. Ulama itu adalah Syekh Muhammad Amir, orang setempat menyematkan sebutan Daeng Toa. Belakangan, setelah lama bermukim di Bantaeng, orang-orang menyebutnya Datuk Pakkalimbungang.

Sang ulama tidak hanya mengajarkan keislaman, tapi juga menjalankan kehidupan sederhana. Berkat kezuhudannya, beliau dianugerahi oleh Allah Swt. karamah. Berkat karamahnya, warga mengira beliau bukanlah orang biasa. Sejarah menerangkan, keberadaan Datuk Pakkalimbungang di Bantaeng berkisar pada abad 17. Setelah orang-orang mengetahui karamah yang dimiliki sang ulama, banyak orang meyakini beliau adalah wali yang diutus Allah Swt.

Anggapan masyarakat, bahwa beliau seorang wali Allah, mungkin benar adanya, bukankah Allah menurunkan sosok wali, demi mengajarkan nilai-nilai ketuhanan di setiap zaman kehidupan. Konon, menurut cerita warga, sang ulama, memilki kemampuan mengendalikan air. Cerita warga itu dibuktikan, ketika banjir raya melanda Kota Bantaeng, makam beliau tak sedikit pun tersentuh banjir, padahal, lokasi makam tidak jauh dari bantaran sungai.

Daeng Toa dimakamkan dekat bantaran sungai Panaikang. Lokasinya tak jauh dari Kantor Kecamatan Bissappu, persisnya, di Kelurahan Bonto Lebang, jaraknya, kurang lebih 2 kilometer dari Kota Bantaeng. Tak sulit menjangkau lokasi makam. Meski demikian, harus melewati jalan sepetak, yang jarak tempuhnya kurang lebih 1 kilometer. Keterbatasan akses jalan menjadi kendala tersendiri bagi peziarah. Pasalnya, kendaraan umum tidak bisa menjangkau lokasi makam. Para peziarah meski berjalan kaki, atau memanfaatkan jasa pengendara ojek motor untuk sampai lokasi makam.

Sudah menjadi pengetahuan umum, berziarah ke makam keramat telah menjadi tradisi purba di kalangan masyarakat. Tak terkecuali di makam Daeng Toa, masih sering dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Dari pengamatan sehari-hari, selain warga Bantaeng, para peziarah berasal dari berbagai pelosok, yakni Gowa, Jeneponto dan Bulukumba. Mereka datang dengan berbagai maksud dan tujuan.

Syahdan, kedatangan peziarah ke makam Daeng Toa, kebanyakan dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, menunaikan nazar, perihal ini, paling mendominasi tujuan para peziarah. Dalam prosesinya, seseorang yang menunaikan nazar akan melakukan berbagai ritual. Pada kesempatan itu, sang pinati, atau juru kunci makam, menjadi pemandu ritual bagi rombongan peziarah.

Kedatangan peziarah dengan niat menunaikan nazar, biasanya membawa berbagai sesajen, seperti, kambing, kuda, sapi atau sejenisnya. Nantinya, hewan-hewan itu disembelih sebagai rasa syukur atas terwujudnya nazarnya. Namun, sebelum proses penyembelihan dilakukan, sang pinati akan menuntun peziarah mengikuti protokol penziarahan.

Sependek pengamatan saya, apabila pinati dan peziarah telah duduk bersama-sama mengelilingi makam (jera lompoa), sang pinati mulai membakar lilin di atas pusara makam, sambil diiringi doa dan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Ritual selanjutnya, menyiram minyak bau ke dalam pusara makam. Lalu, dilanjutkan melepaskan passikko, semacam ikatan yang balutkan pada tiang makam, sebagai janji seseorang, apabila harapannya terwujud, maka  orang tersebut akan kembali melepas ikatan tersebut.

Tidak sampai di situ, tiba waktunya, hewan ternak yang dihadiakan sebagai persembahan, akhirnya disembelih, lalu dimasak dan dinikmati bersama-bersama (nganre-nganre). Pada sesi terakhir, sebagai puncak rasa syukur, diakhiri dengan membersihkan diri di sungai Panaikang, yang jaraknya sepelemparan batu dari makam.    

Faktor kedua, tujuan peziarah hanya sekadar mendoakan sang ulama, sekaligus memohon doa keselamatan. Mereka yang sekadar berdoa dan memohon keberkahan, tidak membawa sesuatu apa pun. Seperti biasanya, sang pinati akan memandu doa. Jika tak sibuk melayani peziarah, sang pinati membuka diri untuk berdiskusi. Begitu pun, jika peziarah memberikan pembayaran jasa, tentu saja tak ditolaknya.

Ketiga, yakni bertawassul. Jika Anda mencari di Google pengertian tawassul dalam Islam, ialah salah satu cara berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara. Perantara yang dimaksud, bisa berupa amal baik, orang-orang saleh, baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal. Atau dengan nama-nama Allah. Kedatangan peziarah tidak lain hanya bertawassul semata, menurut keyakinan mereka, memohon doa melalui perantara sang ulama, merupakan doa mustajab, harapan akan segara terijabah.

Keempat, tidak lain sekadar mengingat kematian. Kegiatan ini seperti halnya tradisi nyekar. Umumnya, Para peziarah mendatangi makam menjelang perayaan hari-hari besar, yakni lebaran, Iduladha, dan Ramadan. Kegiatan nyekar tidak lain, sebagai bentuk penghormatan kepada sang ulama atas pengkhidmatannya membumikan ajaran Islam, serta mendoakan para leluhur. Biasanya, dalam tradisi nyekar, peziarah melakukan pembersihan lokasi makam, penaburan bunga, dan pembacaan doa atau ayat-ayat Al-Qur.’an.

Kelima, sejumput orang mendatangi makam dengan maksud wisata spiritual. Biasanya, mereka dari kalangan pelajar atau mahasiswa. Berbekal keingintahuan, mereka datang mengeksplor lebih dalam jejak peradaban berabad-abad silam, guna menguatkan pengetahuan, dan kesadaran spiritual. Sebagian dari mereka adalah kaum intelektual, berusaha menautkan nilai spritualitas masa silam, dengan peradaban masa kini. 

Sebuah makam ulama besar di Butta Toa, menandakan peradaban Islam telah tumbuh berkembang  berabad-abad lamanya. Meskipun Daeng Toa telah lama berkalang tanah, sebagai ulama besar yang memiliki karamah khusus, pengaruhnya masih menyata hingga sekarang. Tak hanya peziarah yang merasakan keberkahannya, sejak keberadaan makam tersebut, ekonomi masyarakat sekitar ikut tumbuh, seiring dengan banyaknya peziarah berkunjung.

Peran ulama Datuk Pakkalimbungang dalam menyiarkan agama Islam di Bantaeng, benar-benar nyata adanya. Tak hanya menanamkan pondasi keislaman, lebih dari itu, dengan karamah yang dimilikinya, keberkahannya senantiasa menyinari semesta Bantaeng.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 220-223.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *