“Pernahkah anda membayangkan jika hari pernikahan Anda dirayakan oleh banyak orang, bahkan jauh setelah jasad Anda terbenam di kedalaman semesta?”
Bantaeng memang memiliki banyak cerita yang menarik untuk dikupas, tentu hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi kita semua, khususnya masyarakat Kabupaten Bantaeng.
Gelar Butta Toa untuk Bantaeng bukanlah julukan yang melekat begitu saja, hal ini terlihat dari salah satu naskah kuno istana Majapahit Nagarakartagama yang ditulis sekitar abad XIV Masehi atau sekitar tahun 1365 yang merekam keberadaan Bantaeng sejak tahun 1287 sampai tahun 1289 sebagai bagian dari federasi Kerajaan Singosari di bawah Kertanegara (M. Irfan Mahmud, dkk 2007)
Jauh di sudut kota yang berjuluk Butta Toa, tepatnya pada sebuah tebing yang menjorok ke laut, dikenal dengan nama Pa’jukukang. Terdapat sebuah ritual sebagai bagian dari tradisi serta agenda tahunan masyarakat Bantaeng, dikenal dengan sebutan Pesta Adat Pa’jukukang-Gantarangkeke yang diperkirakan berlangsung secara turun temurun sejak sekitar abad ke-14. (Sry Ayu B. Madjid, 2022).
Pesta Adat Pa’jukukang-Gantarangkeke ini berkaitan erat dengan kisah romantis antara Raja La Galigo dengan I Loe Puteri Gantaragkeke yang dianggap sebagai asal mula pelaksanaan Tradisi Pa’jukukkang-Gantarangkeke. Konon tradisi ini dilakukan sejak bertemunya kembali Putri I Loe dengan La Galigo setelah berpisah sejak pernikahan mereka. Putri I Loe menyusul La Galigo ke Tanah Luwu untuk meminta Raja La Galigo kembali ke Gantarangkeke. Namun, La Galigo tidak bisa memenuhi permintaannya karena harus mengurus Kerajaan Luwu. Sebagai gantinya, Raja La Galigo meminta Puteri I Loe, untuk kembali ke Gantarangkeke dan membuat hari peringatan pernikahannya, itulah sekarang yang dikenal sebagai tradisi Pesta Adat Pa’jukukkang-Gantarangkeke.
Dalam versi lain diceritakan bahwa La Galigo, penguasa dari Luwu pernah singgah di Bantaeng dan berkunjung ke Gantarangkeke. Sewaktu di sana La Galigo bertemu dengan putri setempat, lalu menikahi putri tersebut. Selang beberapa waktu La Galigo meninggalkan istrinya yang sedang hamil, untuk kemudian kembali ke tanah Luwu. Diceritakan kemudian, istri La Galigo bersama pengikutnya yang semuanya perempuan meninggalkan Gantarangkeke, menyusul La Galigo.
Rombongan tersebut tiba di Luwu ketika sedang berlangsung sebuah perayaan. Putri dan semua pengikutnya menyamar sebagai laki-laki. Mereka melakukan sabung ayam dengan La Galigo, dan ayam sang putrilah yang menang. Karena menang dalam adu ayam, putri kemudian membuka rahasia dan memperlihatkan identitasnya yang asli. La Galigo kaget, tetapi menerima istri dan rombongannya dengan baik. Oleh istrinya, ia diajak kembali ke Gantarangkeke. Namun, karena La Galigo tidak mau lagi kembali, ia meminta kepada istrinya untuk pulang terlebih dahulu dan ia akan menyusul. Ia berpesan kepada istrinya untuk melakukan upacara tahunan di sana untuk mengenang pertemuan mereka. La Galigo juga berpesan kepada istrinya untuk mendirikan dinasti di Gantarangkeke.
Ketika tiba waktu yang dijanjikan, pergilah putri bersama rombongan untuk menunggu sang suami di Pa’jukukang. Selama tiga hari mereka menunggu, dalam penantian itu mereka melakukan beberapa kegiatan. Setelah tiga hari ditunggu tak kunjung datang, rombongan sang putri pun bergeser ke Labuang Korong untuk melihat lebih jauh dari ketinggian, tetapi tak kunjung ada tanda-tanda bahwa suaminya akan datang.
Keesokan harinya putri dan rombongan kembali ke Gantarangkeke, melakukan pesta sebagaimana pesan suaminya, pesta tersebut terus dilangsungkan setiap tahun.
Menilik pada lokasi pertama tempat sang putri menunggu suaminya, yaitu di Pa’jukukang, maka pesta adat tersebut kemudian diberi nama Pesta Pa’jukukangg. Anak dari sang putri dan La Galigo inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Gantrangkeke dan dikenal dengan nama Karaeng Loe, meski dalam versi lain dikatakan Karaeng Loe yang dimaksud adalah La Galigo sendiri.
Pelaksanaan Pesta Adat Pa’jukukang-Gantarangkeke dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, terdiri dari empat tahap, yaitu Appassulu’ Pangngajai, Akkawaru, Kalauki ri Pa’jukukang dan Angnganre Ta’bala’na.
Appassulu’ Pangngajai atau permohonan izin merupakan ritual pertama dalam pelaksanaan pesta adat, dilakukan enam bulan sebelum acara inti, tepatnya setiap 15 Syafar. Adapun acara puncak dari pelaksanaan pesta adat ini dilaksanakan pada 10-16 Syakban.
Pesta Adat Pa’jukukkang-Gantarangkeke juga tidak terlepas dari akulturasi budaya lokal dengan keyakinan agama Islam. Hal ini terlihat dari penetapan waktu pelaksanaan pesta adat, yang kini mengikuti penanggalan hijriyah, sehingga sebagian besar masyarakat Bantaeng juga percaya bahwa acara Pesta Adat Pa’jukukkang-Gantarangkeke, dilaksanakan sebagai bagian dari perayaan ritual agamis dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadan.
Sebagaimana yang dikemukakan Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis, bahwa, Perubahan-perubahan yang timbul dalam struktur masyarakat akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam adat dan kebiasaan masyarakat.
Pesta Adat Pa’jukukkang-Gantarangkeke telah menjadi suatu ritus masyarakat Bantaeng, baik dalam memperingati hari bahagia pernikahan antara Putri I Loe dengan La Galigo, maupun sebagai ritus dalam menyambut bulan suci Ramadan.
Dari cerita asal usul Pesta Adat Pa’jukukang-Gantarangkeke di atas, kita dapat melihat bagaimana suatu peristiwa berkembang menjadi suatu kebiasaan, hingga menjadi tradisi yang setiap tahun diperingati dengan khidmat oleh sebagian besar masyarakat Bantaeng.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat empat tahap mulai dari Appassulu’ Pangngajai hingga Angnganre Ta’bala’na. Lalu, apakah kita pernah secara sadar bertanya pada diri sendiri apa kegunaan dari ritual-ritual tersebut? Ataukah kita hanya menjadi bagian yang turut meramaikan, sekadar mengikuti tren yang bersifat temporal itu?
Setelah membaca beberapa referensi, saya menemukan bahwa ritual memainkan peran yang sangat penting dalam komunitas manusia karena sejumlah alasan.
Pertama, ritual membantu mengurangi kecemasan individu dan kelompok, terutama saat kita sedang sendiri, bersama keluarga, atau atau bersama komunitas sedang menghadapi masa-masa yang tidak pasti atau krisis. Ritual juga membantu meminimalisir kecemasan dengan memungkinkan kita merasakan kendali atas lingkungan sekitar.
Kedua, ritual mempertemukan orang-orang untuk merayakan atau menandai momen-momen penting dalam hidup. Suatu acara menyediakan waktu dan tempat untuk berkumpul dan mendorong orang-orang untuk memperbarui ikatan mereka dengan teman dan keluarga.
Terakhir, ritual membantu kita mengingat dan berbagi sejumlah besar informasi budaya. Dengan mempelajari format atau pola perilaku melalui ritual, kita dapat menyerap informasi dan mengingatnya kembali dengan lebih mudah di kemudian hari. Pendekatan ini bekerja dengan sangat baik untuk memastikan informasi disampaikan secara lisan dalam jangka waktu yang lama.
Sejauh ini, cerita tertua yang menggunakan metode ilmiah adalah cerita masyarakat Aborigin Gunditjmara tentang letusan gunung berapi, yang terjadi 37.000 tahun yang lalu di tempat yang sekarang disebut Victoria Barat Daya. Mampu menyimpan informasi tentang perubahan kondisi geografis, tanaman, hewan, dan manusia, pada akhirnya meningkatkan kemungkinan bahwa suatu komunitas tidak hanya akan bertahan hidup—tetapi juga berkembang.
Dari uraiaan alasan mengapa suatu tradisi atau ritual dilaksanakan, membawa kita kepada suatu kesimpulan bahwa tradisi merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif, bahwa suatu tradisi bukanah sesuatu yang tidak berguna, apalagi tidak bermakna. Tanpa ritual dan tradisi yang melekat, tidak mungkin manusia bisa maju ke kondisi perkembangan budaya dan teknologi saat ini. Kita tidak akan mampu terus-menerus mengumpulkan dan berbagi informasi, memelihara kebersamaan dalam suatu wilayah geografis, ataupun melewati suatu masalah.
Meskipun dikelilingi oleh teknologi yang semakin kompleks, ritual saat ini tetap lebih penting dari sebelumnya. Dengan peristiwa cuaca ekstrem dan konflik yang terus menggusur orang-orang di seluruh dunia, ritual akan bertindak sebagai perekat sosial penting yang menyatukan masyarakat kita.
Daftar Pustaka:
M. Irfan Mahmud dkk., 2007. Bantaeng Masa Prasejarah ke Masa Islam. Masagena Press. Makassar.
Sry Ayu B. Madjid., 2022. Etnografi Komunikasi Tradisi Pesta Adat Pa’jukukang-Gantarangkeke Di Kabupaten Bantaeng.Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Michelle Langley., 2022. Rituals Have Been Crucial For Humans Throughout History – And We Still Need Them. Diakses 05 maret 2025 dari https://theconversation.com/rituals-have-been-crucial-for-humans-throughout-history-and-we-still-need-them-193951.
Tony Rudyansjah, 2015. Emile Durkheim: Pemikiran Utama dan Percabanganya .Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Wawancara Dr. Sabara Nuruddin dengan Hamzah Permana (pemerhati sejarah dan budaya Bantaeng) pada hari Senin tanggal 9 Juni 2014 pukul 14.30 di Bantaeng.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 21-25.

Ketua Bidang Politik dan Demokrasi Badko HMI Sulsel
Leave a Reply