Pama’ dan Aroma Kopi Pa’bumbungang

Pama’, sebagaimana namanya, cerita, artefak, sampai makamnya, masih tertabur wangi bunga dan hamparan cerita dari berbagai sumber, juga dari keturunan langsungnya. Saat saya temui Tata’ Saleng, Bapak Naping, dan beberapa tetua dari cucu-cucunya, hanyutlah rasa yang berkecamuk, terdampar di suatu pulau yang rapuh dengan kisahnya yang dipenuhi hal menarik. 

‎Empat tahun lalu, riset dan penelusuran  itu saya mulai, hingga menemukan jejak makam dari tulisan lontara, tertera antara abad 17 sampai 18-an.

‎Kemudian menyusuri tentang filosofi kopinya, mengajak dua orang cicitnya dr. Rian dan Puspita dengan mengubah pola penelusuran berbasis faktual, bukan semata mitologi atau cocoklogi dengan seribu kata bede dan katanya. Tentang bagaimana seorang Pama’ di tengah pusaran waktu dan zaman,  membuat saya ingin reinkarnasi. 

‎Pama’ dengan julukannya tau nakaluki kanyamangngang (kaya raya). Tergelar  kejayaannya, pustaka, dan pusakanya.  Semua data kami tampung agar tidak menjadi sekadar cerita legenda dan khayali. 

‎Seribu andai dan tanya, bagaimana mungkin  seorang Pama’ mampu menghadirkan sebuah pabrik kopi bernama lolisi (mesin penempa dan penghalus kopi) pada  abad 18-an, jika tidak punya identitas dan entitas sebagai penopang (modal) keberlangsungan hidup.

‎Sesuatu yang kami tidak duga, ternyata era dititahkan kepadanya, menjadi bagian adat Sampulonrua (Adat 12 Bantaeng), sebagai  Jannang Mappilawing. Mungkin karena itulah pengandaian dan tanya kami juga terjawab, tentang bagaimana ia bisa menghadirkan sebuah pabrik di masa itu. 

‎Sejenak saya mencoba mengira-ngira  di sebuah periodesasi. “Mengapa sejarahnya sepertinya terisolasi, terjegal, bahkan ekstrimnya saya anggap bagai dibegal, pada labirin sebuah kepentingan?”

‎Kurangnya catatan. Membuat saya hanya mampu menelaah dan merevisi setiap cerita tentangnya.

‎Di mana sebuah periode kebijakan kolonial, lalu berlanjut sengketa antara pasukan gerombolan dengan tentara keamanan rakyat, membuat semua kalang kabut. Di sanalah sejarah dituliskan oleh pemenangnya.  Seperti sejarah kopinya yang masyhur kala itu, tersisa hanya kenangan yang terkoyak. 

‎Seiring waktu, pada wangi dan khasiat kopi Pa’bumbungang. Di antara  ranting, bunga, dan buah, menjadi petuah  yang dulunya dikenal sebagai kopi Bantaeng. Lalu merambat ke beberapa titik, meski sejarah tak mencatatnya. 

‎Sebagaimana di Ethiopia pada abad ke-9, seorang pengembala menemukan biji kopi, setelah melihat kambing-kambingnya menjadi hiperaktif setelah memakan biji-bijian tersebut. Kopi kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Budidayanya dimulai oleh Belanda pada tahun 1696 dan menjadi komoditas penting di Indonesia.

‎Kisah klasiknya menyebutkan, seorang pengembala bernama Kaldi yang melihat kambingnya menjadi bersemangat setelah memakan biji-bijian mirip beri liar. Kaldi kemudian mencicipi biji tersebut dan merasakan efek yang sama.

Tetapi ini bukan di Ethiopia, bukan pula tentang pengembala. Berjarak 18 kilometer, menuju utara Kecamatan Eremerasa, Desa Pa’bumbungang. Mengambil jalur Desa Pa’bentengang, lalu  berhenti di pertigaan depan pintu gerbang memasuki Desa Pa’bumbungang,  jejak bekas pabrik kopi terbesar peninggalan Belanda di tahun 1800-an bagai menyapa, menukilkan peradabannya.

‎Tidak gegabah juga mencatut  cagar dan saksi kebenaran bernama “lolisi”. Salah satu  jejak artefak, sebagai buah kemajuan. Kini, terkadang area atau jalur kecamatan ini seperti terisolasi, tak ditoleh, dianggap sepele dibanding dengan desa lain yang yang mem-branding dirinya sebagai desa ini dan itu. 

‎Saya terdiam menenun imajinasi, bahwa betapa  ini perlu kiranya dikembalikan history, meski tidak harus terlampau jauh menyusuri lembah sejarah yang telah dijarah.  

‎Masih bisa kita lihat pohon kopi menjulang tinggi, tidak seperti tanaman kopi lainnya. Serta filosofi dalam pappasang bertuah seorang Pama’, sanna puritina, “Joka tommo siratanga alle kattili, teako umpei tangkenna, tea tongko patantangi raungna.” Filosofinya kuat, penuh kehati-hatian.

‎Versi lain menyatakan, bahwa dulu mencampur beberapa biji kopi yang berwarna merah (matang) dan hijau  yang mengilap bersamaan dipetik, cukup memberi khasiat tersendiri katanya.  Namun, sesungguhnya kematangan jauh lebih berkhasiat.

‎Mereka  masih  menganut filosofi dalam memahami hukum semesta alam, laiknya manusia. Sebab kopi pun punya hak disemai dengan kasih sayang. Agar ketika buah dipetik dengan hati, maka hasilnya akan kita tuai.  

‎Bukan asal dibuai-buai program pengolahan yang benar,  teori yang hanya numpang nampang di produk, dengan segala macam tawaran  kepentingan untung, tapi  pada akhirnya buntung.

‎Bagaimana saat masa panen tiba?  Kemudian beralih pada prosesi  yang bernama ritual  panen bernama padekko.  Di suatu tempat yang mereka  namakan Passangngarrang. Konon, tempat itu dikunjungi sekali setahun saat masa panen kopi.

‎Masyarakat Pa’bumbungang berdatangan membawa sesajian seperti songkolo, loka bulaeng, onde-onde, cucuru te’ne, dan ayam lalu  disabung  menggunakan daun lontar sebagai tajinya—pisau  yang di pasang di kaki ayam yang disabung. 

‎Prosesi ini juga mulai surut seiring zaman, hingga saya kembali  menyusuri area ritual tersebut. Aura atau suasana masa itu masih terasa. Namun, ini bukan sekadar alasan menjadikannya sebagai pelengkap ritual.  Tidak lantas terjebak hanya pada hal mistis saja. Kemudian menjadi rujukan sebuah budaya yang juga masih penuh rekayasa.

‎Kenapa harus seperti itu? Seketika pertanyaan itu melengkapi sebuah riset. Tentang bagaimana seorang Pama’ dan kopi Pa’bumbungang, jauh dari mitologi, tetapi mumpuni pada nilai-nilai kearifannya, menghidupi rakyatnya (masyarakat/keluarganya), menjaga ekosistem, dan merawatnya dengan khidmat.

‎Dulu para tetua kita meyakini, bahwa semua yang disemai ada hukum alamnya. Sebuah pilihan  untuk melakoni dan merawatnya dengan penuh telaten.

‎Kembali ke filosofi kopinya Pama’. Tentang  cara pemilihan calon bibit yang  bagus,  dari sumber biji kopi yang sudah tua, dengan kulit ari yang masih melekat pada biji kopi.

‎Cara pembibitannya ada dua, menurut beberapa petani kopi di Pa’bumbungang,  dari beberapa sanak, yang masih ada merawat sebuah tradisi penghidupan. Dengan polybag dan bedeng, bibit yang masih kecil dalam polybag sebaiknya dipupuk dengan pupuk alami, tidak boleh pupuk kimia. 

‎Pada proses setelahnya, Pama’, saking menjaga suasana, khasiat, dan nilai-nilai cara bertanam dan memanen, yang harus diperhatikan adalah tumbuhnya tangkai-tangkai  baru pada tangkai induk, yang bisa menghambat kesuburan dan mengurai bakal buah yang matang atau layak. 

Selain proses panen, ada nuansa berpikir kala itu, bahwa tata kelola sebuah wilayah kekuasaan harus pandai menata diri dalam kemajuan, untuk saling menguatkan dan bekerjasama, laiknya setangkai dan sebiji kopi adalah cara memahami bahwa hidup dan kemanusiaan butuh saling menopang.

‎Tidak menafikan atau merusak tatanan nilai budaya yang telah terawat. Tanah gembur dan tanaman subur, semua karena ketelatenan berdamai dengan alam dan merawat dengan bijak, hasilnya, panen berlimpah. Sebab saya meyakini, kenapa Pama’ memilih kopi, karena ia sudah memiliki pengetahuan, sumber informasi dari luar, untuk menjadikan kopi sebagai komoditi yang punya peluang. 

‎Ritual dan legenda hanya menjeda, menjegal pengetahuan itu berkembang.  Sebagai simbol pelengkap (doktrin budaya), agar terjaga dari sifat manusia yang masih stagnan, karena telah terbiasa dan terlanjur pada situasi dan zona nyaman.  

‎Seorang Pama’, bagi saya punya ilmu pengetahuan mumpuni, meski masih samar dari mana dia menemukan ide memilih kopi sebagai komoditi di bebukitan. Berkenaan dengan pengetahuan, mengapa memilih bermukim di antara bukit dan sabana. Di  serambi sekolah mana, hingga  dia bisa mengetahui sebuah kopi dengan kesesuaian  iklim?

‎Aroma kopi Pa’bumbungang, buah yang dipetik penuh kasih, dengan  warnanya yang kemerah-merahan, diseduh jauh sebelum istilah arabika, torabika, dan kopi “retorika”. Namun, mampu merambah dan tergelar memanjakan lidah penikmatnya.

‎Selain cerita dan sumber dari Bapak Mannang dan anaknya yang sempat kami wawancara santai. Saya juga menemukan sumber dari seseorang yang masih kerabat keluarga bernama Sarawiah, yang juga memproleh sumber dari orangtua yang pernah mendengar sisi lain cara Pama’ mengolah dan memetik kopi.

‎Ketika yang masak baru dipanen, saat  sudah dijemur bentuk bijinya utuh. Sedangkan warna  kehijau-hijauan, yang  belum tua, setelah dijemur akan mengempes dan warnanya hitam. 

‎Dulunya, kopi Pa’bumbungang melambung tinggi ke jagat raya, menyuplai banyak gantang (takar dan ukuran kilo) kepada para penikmatnya. Seorang Pama’ mampu menuai dari biji kebijakan bernama kopi.  Begitu khas wangi serta  khasiatnya, hingga sampai ke luar daerah. Sebuah pilihan menuju kesejahteraan serta kemajuan.  

‎Kopi tanpa pahit, bagai kehampaan jati diri.  Kopi yang sudah melewati proses olah tanam, petik dengan ritual yang mumpuni, menjadi sugesti dan sensasi tersendiri saat menyeruputnya tanpa gula pemanis semata, hanya gula merah sitekngalak (potongan kecil). Tanpa barista, tanpa alat khusus semahal mahar. Tidak pula harus dengan riasan seperti di kafe dan warkop. 

‎Sebagai ilustrasi era kini,  para penikmatnya bukan lagi membincangkan bagaimana kopi dan sejarahnya, cerita peranan orang dulu bertaruh khasiat dan wasiat bagaimana kopi menjadi ladang silaturahmi.

‎Sisi lain mendiskusikan segala peristiwa kehidupan, budaya, dan politik. Sambil menikmati Wi-Fi gratis, menyusuri lorong waktu dunia maya dengan lancar tanpa beban kuota ludes. Hem.

‎Seraya mengakses kisah di balik proses kopi sejak dulu, menjadi kekuatan penyatuan, dari persepsi yang berbeda dan arogansi, menjadi saling melengkapi dalam bentuk adaptasi, mengalahkan ego, menyeduhkan nilai-nilai yang sejak dulu menjadi hierarki. 

‎Kemudian tempo hari, kami menuju tempat ritual tersebut. Beberapa bekas rumah Pama’, dan tempat di mana orang-orang masih menyakralkan bernama tunnurunga dengan dua makam agak unik. Beberapa sesajian kami temukan di atas. Begitu kata seorang Satitima dan beberapa sumber lain yang masih memercayai itu sampai sekarang. 

‎Passangngarrang namanya. Di sana membuat saya tercekat menemukan pohon kopi yang tinggi menjulang, besar batangnya sudah merebahkan dirinya di antara zamannya. 

‎Kearifan mana? Tanya saya kepada seorang sepupu yang masih kerabat dekat sanak keluarga.  Apakah ritualnya menjadi fokus utama yang dimaksud kearifan dengan segala mitologi serta cocokloginya?

‎Sementara secara kasat masih tersisa bekas sisa pabriknya.  Terbawa dari cerita ke cerita keluarga. Menjadi mitos yang membuat akal, logika, dan ide saya stagnan. Saya juga harus menjaga etika para penganut kepercayaan.  Berusaha meliarkan imajinasi agar tetap bisa berakumulasi dan terkonfirmasi dari sumber satu ke titik sumber yang lain. Sebab diakui atau tidak, tersadar atau tidak! Memang minim literasi dan artefak yang hangus diberangus, tersisa hanya bekas cerita seribu bede dan katanya. 

‎Hanya bangga sesaat ketika dongeng itu tertuang pengantar pengkhayalan kita.

‎Saya hanya mencoba memetik cara mengutip nilai-nilai yang dilakoni Pama’. Tentang bagaimana dia memelihara, telaten, serta pengetahuan tanpa teori bangku kuliah.

‎Betapa petani dulu lebih mampu memahami suasana alam, bukan karena pertapa dan ritual semata, tetapi ada hierarki kesemestaan yang diyakini, seperti kesuburan tanah, bagaimana pucuk daun, tangkai bunga dan buah itu terjaga hingga masa panen berlangsung, dengan penuh sukacita, rasa syukur atas tabur tuai terpelihara dengan baik  selama ini. 

‎Pertanyaan menggelitikku. Mengapa juga pemerintah setempat, atau dinas terkait tidak mencoba menjadikan ini aset sejarah dan wisata budaya? Padahal letaknya strategis, masih menemukan kabut tebal, dingin yang ekstrim. Curah hujan mumpuni.

‎Sejarah dan kisahnya masih ada sebagai  artefak yang bisa menjadikan sumber penghidupan bagi masyarakat, dengan menguatkan nilai (budaya) seraya menjadi kebijakan bersama dalam menjadikannya destinasi wisata sejarah kopi Bantaeng yang tercatat di abad 18-an.

‎Ada apa? Benarkah akses informasi terisolasi sejak dulu?  Padahal di desa bernama Pa’bumbungang ini, begitu banyak menyimpan cerita sejak zaman kajannganganga ri Bantaeng.

‎Setidaknya pihak terkait  melirik, jangan sekadar lirih, lalu tanpa solusi. Saya yakin pihak pemerintah desa bisa mengelola hal ini, menjadi program desa wisata Pa’bumbungang yang tidak kalah menariknya dengan objek wisata lainnya.  

‎Ritualnya masih ada, meski tak sesakral saat panen masa era Pama’ dulu. Minimal sebagai kearifan yang memiliki nilai ekonomi, bukan sekadar menjadikannya kebanggaan semu. Sekadar tertuliskan, lalu tidak terwariskan sebagai kekayaan budaya lokal yang bukan hanya dongeng semata.

‎Perlu kiranya  acidong landang akrapang-rapang, menentukan dan mengejawantahkan sebuah tradisi sebagai  destinasi, serta menggandeng wisata bukan sekadar wicara. Tidak  hanya bertaruh bagaimana istilah desa wisata itu lahir menjadi inovasi katanya, namun tersisa hanya selera dan sensasi saja.

‎Bukan pula sebatas program, usulan lalu berlalu di setiap periode! Sementara. Berdasarkan riset dan penelusuran, ada  kesejarahan, peninggalan yang kuat menopang literasi budaya yang tidak lagi  membuat kita tertipu daya.

‎Setidaknya disertai kebijakan politik, entah apalah namanya. Demi kemajuan, keselarasan sejarah budaya, dan kehidupan kesejahteraan masyarakat pada nilai  sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 

‎Budaya tak benda dan benda memiliki dampak yang signifikan untuk sebuah harapan di hamparan budaya yang telah mengepung bagai peluru, menembus dinding zaman, sedang laku kita hanya menjadi penikmat dan penonton, bahkan menjadi konsumen budaya luar.

‎Hujan mengguyur tubuh ringkih ini. Kami menjajal beberapa hal dengan membawa pulang bekas dan puing sejarah yang telah punah. Ada ironi nan rasa miris.

‎Meski begitu, tidak membuat saya mundur secara mental. Sebab telah ada serumpun keluarga dari darah seorang Pama’ bin Ma’dunda, semua optimis merintis kembali puing sejarah kopi ri Bantaeng. Di tengah rinai peradaban, dengan beberapa di antara mereka menanam biji kopi, memetik, dan merawat hikmah buyutnya: sang pemantik dan pemetik kopi pertama di Bantaeng.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 232-239.


Comments

2 responses to “Pama’ dan Aroma Kopi Pa’bumbungang”

  1. Jumiati Hasan Avatar
    Jumiati Hasan

    Masya Allah Keren tulisan laryax Ndi Smg Sehat sllu dlm menyelesaikan setiap Bab nya Aamiin

  2. Dion Syaif Saen Avatar
    Dion Syaif Saen

    Amin. Makasih Daeng apresiasi dan doata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *