Di Kabupaten Bantaeng yang penuh dengan sejarah, terdapat sebuah monumen yang terasingkan oleh masyarakat dan pemerintah. Monumen tersebut diacuhkan dan tertutup dengan bangunan rumah dinas. Ada apa dengan monumen tersebut? Apa yang terjadi di balik tertutupnya monumen ini? Apakah ada rahasia di belakangnya?
Bantaeng adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini memiliki keunikan dan keindahan alam yang memesona, serta kaya akan warisan budaya dan sejarah. Bantaeng diberi gelar dengan sebutan Butta Toa. Gelar tersebut bukan sekedar tempelan saja. Butta Toa yang artinya “Tanah Tua”, memiliki maksud bahwa Bantaeng telah ada sejak lama dan memiliki cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi, kebudayaan, adat istiadat, serta kaya akan sejarah.
Namun, di balik kekayaan tersebut, tidak sedikit dari sejarah dan adat istiadat di Bantaeng yang tidak terjaga dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Banyak situs-situs bersejarah dan tradisi-tradisi lokal yang terlupakan, tidak terawat dengan baik, sehingga membuat generasi muda kehilangan kesempatan untuk belajar dan menghargai warisan leluhur.
Salah satu contoh sejarah lokal yang tidak terekspos lagi adalah Monumen Pendaratan Belanda. Monumen ini terletak di sisi timur Pantai Seruni, Kampung Borong Kalukua, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, tepatnya di belakang SD Negeri 4 Lembang China. Monumen ini berbentuk tugu yang mirip segi empat dan menghadap ke arah timur. Bahan baku pembuatan monumen ini menggunakan semen dengan warna dasar semen itu sendiri. Monumen tersebut memiliki ketinggian kurang lebih 7 meter hampir setara dengan tinggi bangunan rumah disekitarnya.
Monumen Pendaratan Belanda yang berdiri sejak zaman prakemerdekaan Indonesia ini memiliki sejarah yang kaya dan menarik. Dahulu, monumen ini terletak di tengah-tengah tanah lapang yang luas dan terbuka, tanpa bangunan di sekitarnya. Namun, seiring waktu, area sekitar monumen mulai berkembang dengan pembangunan rumah-rumah dinas, sehingga monumen ini terisolasi dan tersembunyi di balik dinding rumah warga, membuatnya sulit dijangkau dan dilihat dari luar. Meskipun pemerintah pernah berupaya membuka akses jalan masuk ke monumen ini, upaya tersebut terhambat oleh kendala izin dari warga yang tidak bersedia melepaskan sebagian tanahnya untuk proyek tersebut.
Menurut Ahmadi Hakim, seorang pelaku adat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah lokal, pesisir Pantai Seruni yang terletak tidak jauh dari monumen ini ternyata memiliki peran penting dalam sejarah pendaratan pasukan Belanda. Dulunya, pantai ini menjadi titik pendaratan armada besar C. J. Speelman, yang dipimpin oleh kapal Tertholen. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Belanda melakukan pendaratan sebanyak dua kali di sekitar area monumen ini, menjadikan lokasi ini sebagai saksi bisu peristiwa penting dalam sejarah.
Di balik Monumen Pendaratan Belanda ini, terdapat sejarah besar yang pernah terjadi di Bantaeng. Konflik antara pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Gowa yang tak pernah reda menjadi pemicu utama. Pada tanggal 5 Oktober 1666, pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker menggelar rapat Hooge Regering van Batavia untuk merencanakan serangan terhadap Kerajaan Gowa. Dalam rapat tersebut, Cornelis Janzoon Speelman dipilih untuk memimpin ekspedisi militer, setelah Johan Van Dain menolak tawaran tersebut. Dengan demikian, Speelman menjadi tokoh sentral dalam peristiwa penting ini.
Dengan sebuah armada besar C. J. Speelman yang terdiri dari kapal Tertholen dan didukung oleh sekutu-sekutu strategis seperti Arung Palakka dan Jonker Van Manipa dari Pulau Manipa (Ambon), pasukan Belanda memulai pelayaran menuju Makassar. Armada ini berlayar meninggalkan pelabuhan Batavia pada 24 November 1666, dan akhirnya tiba di perairan Makassar pada 19 Desember 1666.
Sebelum melakukan pendaratan di Bantaeng, Belanda mendarat di beberapa lokasi. 21 Desember 1666 C. J. Speelman menyerang Benteng Sombo Opu kemudian mundur. 23 Desember 1666 C. J. Speelman mendarat di Laikang (Turatua) kemudian menyerang dan mendapat perlawanan yang hebat. Speelman kemudian meninggalkan Laikang. 25 Desember 1666 (menurut Corpus Diplomatikom) Speelman mendaratkan pasukannya di Bantaeng.
Bantaeng, yang sejak dahulu dikenal sebagai lumbung padi Kerajaan Gowa, menjadi target strategis bagi pasukan Belanda untuk melemahkan kerajaan tersebut dengan memutus pasokan beras. Pendaratan pasukan Belanda di Bantaeng memicu pertempuran sengit antara kedua belah pihak, mengakibatkan banyak korban. Namun, keunggulan pasukan Speelman yang dilengkapi dengan persenjataan modern, membuat Kerajaan Gowa terpaksa mundur ke pedalaman.
Menurut Corpus Diplomatikom, keadaan Speelman terlukis dalam berita, bahwa ia membakar habis Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya, juga “3000 lasten rijzt zign in viameen opgegaan’’ (3000 pikul beras habis dibakar). Puluhan perahu layar yang memuat persediaan makanan untuk kerajaan Gowa dibakar habis, dan ditenggelamkan oleh pasukan Hindia Belanda, serta barang-barang milik penduduk juga dibakar dan dirampas.
Dalam pertempuran tersebut, Arung Palakka terkena tembakan, untungnya hanya mengalami luka ringan pada kakinya. Ketika bala bantuan dari Kerajaan Gowa tiba, pasukan Speelman terpaksa mundur ke kapal mereka dan meninggalkan Bantaeng. Pada 26 Desember 1666, mereka berlayar menuju Buton.
Setelah kepergian Speelmaan menuju Buton, Bantaeng yang dirusak dalam bulan Desember 1666 kemudian diperkuat kembali dengan penempatan beberapa ribu pasukan pertahanan di bawah pimpinan Daeng Tulolo, saudara Sultan Hasanuddin.
Pada 04 Juli 1667, Speelman bersama armadanya kembali ke Bantaeng, kali ini dengan tambahan pasukan Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan dari Ternate, Bacan, dan Tidore. Bantaeng pada saat itu telah diperkuat dengan sekitar 7.000 pasukan pertahanan dari Kerajaan Gowa. Speelman berupaya mencegah perlawanan dari pasukan Kerajaan Gowa, namun upayanya gagal. Akibatnya, pada 7 Juli 1667, pertempuran hebat antara pasukan Belanda dan Kerajaan Gowa kembali pecah. Pasukan Belanda jauh lebih besar dari kekuatan pasukan Kerajaan Gowa, sehingga Kerajaan Gowa terpaksa mundur dan kembali ke induk pasukan mereka di pertahanan pusat Kerajaan Gowa.
Pada 10 Juli 1667, Speelman meninggalkan Bantaeng dan bergerak menuju Gowa. Kekalahan ini kemudian membuka jalan bagi Perjanjian Bongaya pada 18 November, yang mewajibkan Kerajaan Gowa dan sekutunya untuk tunduk pada pemerintahan Belanda.
Itulah di balik Monumen Pendaratan Belanda di Borong Kalukua yang sangat bersejarah. Adapun informasi tambahan dari Abdul Manaf Badillah, seorang cucu dari Karaeng Pakkanna mengatakan, bahwa monumen ini dibangun oleh seseorang yang dinilai sebagai “orang munafik”, karena memiliki kedekatan dengan Belanda. Namun, ketika tanda-tanda kemenangan Bantaeng mulai terlihat, orang tersebut membangun monumen ini, mungkin untuk mencari pengakuan. Hal inilah yang mungkin menyebabkan monumen ini membutuhkan waktu lama untuk disahkan.
Dari masa ke masa, terdapat banyak sudut pandang mengenai monumen tersebut. Beberapa orang percaya bahwa monumen ini dulunya digunakan sebagai tempat sesajen yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga banyak yang mengacuhkannya.
Di sisi lain, ada juga yang menganggap monumen ini sebagai tempat angker. Namun, pandangan ini dibantah oleh Abdul Manaf Badillah, yang tinggal tepat di belakang monumen tersebut. Menurutnya, tidak ada kisah atau legenda tertentu yang membuat monumen ini dianggap keramat atau angker, sehingga mungkin anggapan tersebut lebih bersifat subjektif.
Monumen Pendaratan Belanda di Kabupaten Bantaeng juga telah menjadi salah satu kearifan lokal yang sangat berharga dan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Monumen ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Bantaeng yang dapat dijadikan sebagai simbol pejuangan melawan Belanda di Bantaeng.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mempromosikan monumen ini kepada masyarakat luas, terutama generasi muda. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam monumen ini tidak terlupakan dan tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 69-73.

Lahir di Makassar, 16 Desember 2006. Siswi SMA Negeri 4 Bantaeng (2022-2025). Berkuliah di Institut Agama Islam Negeri Pare-Pare jurusan manajemen. Hobi di desain grafis, fotografi, dan videografi. Telah Aktif di berbagai organisasi, salah satunya yang paling dibanggakan menjadi bagian dari Forum Anak Butta Toa.
Leave a Reply to Dian Cancel reply