Kelana Jiwa

‎Berkelanalah, berkencanlah dengan jiwa dan pikiran, bukan semata raga dan fisik, sebab kesemuanya akan tergugat oleh pikiran dan jiwamu sendiri.

‎Percakapan itu sering kami bincangkan. Betapa kekuatan jiwa, pikiran mampu membuat sebuah kenyataan.

‎Tetiba saya terhempas dan jatuh goblok di Minggu lalu, seketika tahu dan telah saya pikirkan sebelum berangkat, bahkan di tengah perjalanan menuju Kampung Campaga.

‎Apakah saya teledor dan mau dibilang? Tidak juga! Saat kaki tertindih, akibat rem tiba-tiba, laju kendaraan tidak jua berlebihan, saat mencoba mendahului sebuah mobil, yang tadinya dua pengendara telah saya lewati. Maka insiden itu tidak harus mampu saya hindari.

‎Ini telah saya hadirkan dalam benak pikiran, jika jalur menuju ermes maka laju kendaraan akan melebihi biasanya, kencang karena berburu waktu. Maka kemungkinan potensi jatuh lebih parah.

‎Pikiran saya memilih dua arah, maka pas di belokan Dapoko saya belok kanan. Jiwa sudah saya hantar dalam perjalanan, bahwa ini jika terjadi insiden, kemungkinan hanya “nabeccolo” walau agak perih setelah semalaman merasakan akibat jatuh tertindih motor.

‎Begitulah kira-kira sebagai pengantar, bukan mengarang dan menghayal. Dan saya yakin beberapa pendaras jika tuntas membacanya, pernah mengalami hal sama. Bagaimana jiwa, pikiran itu bekerja.

‎Sebuah laman menempatkan pikiran dan jiwa. Di mana pikiran dapat menjadi alat bagi jiwa untuk berinteraksi dengan dunia. Beberapa pandangan menganggap pikiran sebagai proyeksi dari jiwa, atau jiwa adalah kesadaran yang lebih luas dari sekadar pikiran.‎Menampik sekian lintasan pembajak pikiran.

‎Melawan diri sendiri, bukan perkara mudah. Kitab-kitab mana yang harus terdaras dan mendata pikiran saya, sementara manajemen jiwa masih terbengkalai di tengah pikiran yang hendak membajak.

‎Cukup telak, sekiranya ini adalah pertarungan, menghantam ulu hati, sampai ke nadi-nadi terasa nyeri hendak berdenyut lebih kencang dan pelan. Bagaimana ketika pikiran dan jiwa tidak sejalan.

‎Situasi cukup terbaca oleh pikiran, di tengah jiwa yang asyik berkelana. Sementara pelana untuk kelana telah terencana, tertunda menghadapi realitas hidup yang ditumbuk dipaksa untuk tunduk.

‎Tetiba karib Mubaraq membantai arah berpikir dari sekian teori yang terbangun dalam menerima konsekeunsi. Ini bukan takdir. Ini cara semesta menggemblengmu sebagai manusia yang selama ini bagai pengelana dan gembala yang penuh kepalsuan.

‎Kau berhasil menipu orang-orang, termasuk saya! Sambaran Mubaraq mengunciku seketika, sambil tersenyum, berusaha menghibur. Tawa kami lepas di siang itu.

‎Yah! Termasuk menipu dirimu sendiri! Todongan Mubaraq menancapkan sebuah identitas dari sebuah kasualitas. Sembari membuang ampas rokok pada asbak kaca tergetak penuh ampas, di atas meja kayu jati yang mulai berdebu.

‎Sekelumit ritual kehidupan. Kadang menggugat, menghujat, dan menjadi tabiat manusia. Pada ritus dan situs peradaban manusia. Sepertinya telah mengalami sindrom. Saling membajak pikiran, bertemu sirkel yang mengubah partikel yang dulu tertanam dengan tanak pada benak, pada jiwa-jiwa lapang. Kini dikendalikan oleh sebuah konten kemanusiaan sarat prestise dan klise.

‎”Linoji Anne kamase, tannannungang lalangna“. Ini hanya dunia kisanak, usah berlebihan. Sebab tiadakah keabadian di dalamnya. Wow. Menunddukkanku sejenak. Merapalnya, menurunkan tensi dan gambaran dunia yang menurut saya adalah tujuan akhir sebenarnya.

‎Jiwa kembali mengelana. Menyusuri lorong waktu di tengah gempita jiwa lainnyang bergembira. Bersorak sorai. Lalu tetiba ketiban nestapa yang kemudian dia berulah menjadi seolah petapa.

‎Pikiran mampu menghabisimu, bahkan membunuhmu. Sebagaimana jiwa sebagai sumber, jiwa adalah fondasi kesadaran dan kehidupan, sementara pikiran adalah ekspresi dan alatnya.

‎Pikiran sebagai bagian jiwa, dalam pandangan psikologi, pikiran, emosi, dan kehendak adalah bagian dari jiwa manusia yang menjalankan fungsi mental dan emosional.

‎Semuanya saling memengaruhi. Pikiran dapat memengaruhi perasaan dan perilaku, sehingga menguasai pikiran bisa membantu, dan membuat kendali terselubung pada emosi dan tindakan.

‎Larik-larik ini kemudian menghubungkanku dengan seorang sahabat yang kini di rantau, dalam proses mengolah pikiran, diagnosa dokter yang mengalami sindrom kecemasan berlebihan dari beberapa faktor penyebab.

‎Lalu selain karib Mubaraq, sahabat Nur Udin tetiba hadir pula membagikan prosesi, berusaha keluar dari zona diagnosa sakitnya, terapi, dan istirahat kata dokter jangan berpikir lebih. Nur Udin menjawab canda, bagaimana bisa saya tidak harus berpikir, sementara saya jadikan dalam berpikir itu saya ada dan masih bertahan hidup. Sembari bercanda dalam cakap saya via WhatsApp.

‎Nur Udin mengurai kesenjangan, fase jedanya dengan bersenandung (karaoke), mencoba kembali pada keluarga untuk menjadi tuan dalam kerajaan jiwa dan batinnya. Yang sekian lama bergelut dengan masyarakat, tugas dan amanah rakyat sebagai Kepala Desa Babussalam.

‎Jiwa mengelana, dalam pikiran kita stagnan hanya soal antara positif dan negatif. Ditimbang-timbang. Toh juga dilema dan semakin membajak pikiran kita sendiri.

‎Urung kucegat pikirku menembus sesuatu, yang kadang di luar nalar kata sebagian orang. Namun, kemudian menjadi deskripsi yang tidak harus terilustrasi. Tapi riil terjadi apa yang kadang kau pikirkan akan terhubung, menjadi sesuatu yang tidak harus butuh klarifikasi.

‎Nur Udin melepas atributnya sebagai kepala desa, menugaskan alih fungsi pada seseorang di pemerintahan desanya. Kemudian menjadi manusia bebas berkencan dengan jiwanya, hendak healing dan menuju sebuah camp di tepi laut, menikmati sepoi angin, mendengarkan debur ombak di tengah kesibukannya sekian puluh tahun. Kini jiwa dan pikirannya baru terasa dengan diagnosanya sendiri mampu melerai bahwa ini hanya butuh terapi jiwa, gumamnya.

‎Mari kita bertamsya dan mengelana dengan jiwa sahabatku. Datanglah dalam balutan jiwa yang lepas, bukan sekadar bebas dalam lingkungan dan tuntutan pekerjaan. Namun, sejatinya manusia butuh healing, mengekspresikan lewat bersua dengan karib, berkisah, bukan berkeluh.

‎Agar bisa menjadi gurah, dan inspirasi bagi kami. Sebagai lelaki petarung dari tanah bertuah Bantaeng, berjuang menjadi penanda, bahwa jiwamu melampaui segalanya untuk membasuh dan mengobati segala pikiran yang diterjemahkan sebagai sumber penyakit.

‎”Jika jiwa dan pikiran sehat, maka sehatlah ragamu,” kata pepatah dan beberapa pendapat. Saya hanya mengutipnya. Nur Udin tersenyum berusaha bangkit menentukan ke mana healing dan piknik jiwa dan pikirannya untuk sebuah terapi jiwa, bukan semata raga.

‎Agar saya tidak tersesat dan merasa seperti ahli dalam jiwa dan pikiran. Saya kemudian healing di sebuah pemahaman bernama neurosains, di sana disebut bahwasanya keduanya ada hubungan timbal balik.

‎Ada hubungan dua arah yang kuat antara pikiran dan tubuh. Pikiran dapat mempengaruhi keadaan fisik (misalnya, stres dapat mempengaruhi sistem imun), dan keadaan fisik (misalnya, kesehatan otak) dapat mempengaruhi pikiran.

‎Neurosains menunjukkan bahwa pikiran dapat diubah melalui proses seperti terapi kognitif, yang menggunakan kesadaran dan pemikiran positif untuk mengubah pola pikir.

‎Sementera konsep jiwa terangkai begitu terurai diterangkan pada neurosainsya. “Jiwa” sebagai kesatuan dari aspek spiritual dan kesadaran yang tidak dapat dipisahkan dari tubuh fisik, terutama otak. Juga berfungsi spiritual dan emosional. Aktivitas otak yang terpadu antara berbagai sistem, dianggap sebagai dasar dari semua aspek perilaku, termasuk dimensi emosional dan spiritual.

‎ “Jiwa,” secara langsung berhubungan dengan aktivitas otak dan keseimbangan neuronnya, seperti yang terlihat pada depresi atau kecemasan.

‎Setidaknya membuat kita bisa terhibur dengan uraian di atas secara akademis, bukan sekadar nutrisi yang belum tentu pas dengan gizi otak dan jiwa. Nur Udin menguatkan terapi dirinya sendiri, tidak harus membuatnya terhempas jauh dalam pikiran yang menggugurkan beberapa syaraf.

‎Dia membiarkan jiwanya berkelana kemana hendak dia tempuh, menemukan keindahan, kebahagiaan, ketenangan dan keheningan khidmat. Tanpa obat kimia yang hanya sesaat menahan rasa nyeri, cemas, dan cenderung membawa kita kepada mimpi buruk lalu tubuh terpuruk.

‎Tamasya kemudian kami rancang bersama Nur Udin. Seperti biasa jika kembali ke kampung halaman, maka beliau ke teras rumah, sampai sore, menambat rindu dan menuang ide, pikiran serta pertautan imajinasi tentang bagaimana hidup bertahan dalam sebuah kegagapan manusia dalam mengolah pikiran, jiwa yang kini semakin pelik untuk menjadi diagnosa tubuh yang semakin rawan dan rentan bersarangnya penyakit.

‎Ajaklah jiwamu bertarung, mengelana, membasuhkan cahaya pikiran, dalam apa saja, hadirkan positif nilai, dari jebakan pikiran yang cenderung membajak kita, dan letaknya tidak jauh ada di sekelilingmu potensi membajak dan mengatur jiwa dan pikiranmu.

Sumber gambar: Liputan6.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *