“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan”. “Kelas buruh Indonesia pemimpin pembebasan”. Dua lembar spanduk menempel di dinding aula, seolah mendukung spanduk ukuran besar, terpampang sebagai latar panggung, bertuliskan “Dengan berserikat dan kepemimpinan yang kuat, kita tegakkan persatuan kaum buruh yang militan, patriotik dan demokratik untuk wujudkan keadilan upah, hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta hari depan yang mensejahterahkan buruh”.
Buruh bersatu tak bisa dikalahkan dan kelas buruh Indonesia pemimpin pembebasan, dua frasa paling sering diteriakkan di sela sambutan dan pidato, atau peralihan dari satu item acara ke acara berikutnya. Tentu, tak ketinggalan pula gemuruh terikan, hidup buruh… hidup buruh… hidup buruh, dan lawan… lawan… lawan…
Sebagai salah seorang penghadir, kehadiran saya bukan sebatas undangan. Paling tidak, sari diri saya ingin menjadi saksi atas kebangkitan sekaum buruh yang melakukan perlawanan atas kesewenangan dan penindasan. Entah kenapa, di usia lebih separuh abad ini, naluri pembebasan masih menubuh pada diri. Apakah ini sebentuk gradasi dari satu anutan teologis: Teologi Pembebasan?
Saya mengintimi setiap sajian acara di hajatan, Deklarasi Pendirian Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Minggu, 12 Oktober 2025, di Aula Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantaeng. Mulai dari acara sambutan, pidato politik, pembacaan deklarasi, pembacaan puisi, penampilan monolog, pemutaran film, diskusi publik, hingga pameran. Seharian penuh, sekira pukul 09.00 sampai jelang Magrib.
Baiklah, saya penggalkan sekaligus adaptasikan pidato politik dari Junaid Judda, Ketua SBIPE KIBA Bantaeng, sebagai latar belakang minda, mengapa SBIPE mesti lahir. Junaid menabalkan ungkapan, situasi krisis internasional dan Indonesia adalah tantangan yang harus di jawab oleh para pimpinan, para aktivis, dan seluruh anggota SBIPE-KIBA dalam merumuskan dan menjalankan rencana taktis dan strategisnya ke depan.
Perjuangan ekonomi, serendah apa pun kaum buruh saat ini, akan menghadapi rintangan politik yang tidak ringan, terutama sejak Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja disahkan. Undang-Undang ini menjadi petanda krisis yang semakin tidak tertangani, dan kaum buruh harus kembali menjadi tumbalnya bersama-sama dengan kaum tani di negeri setengah jajahan dan setengah feodal.
Situasi internasional dan nasional saat ini, memberikan dua tantangan sekaligus bagi SBIPE KIBA sebagai organisasi dan gerakan buruh sejati. Pertama, krisis laten over produksi telah mendorong intensitas produksi, sehingga persaingan antar kapitalis monopoli internasional semakin tajam dan sangat akut.
Mereka berlomba memenangkan pasar yang semakin sempit dengan berbagai cara, mengganti mesin dan peralatan kerja termasuk proyek digitalisasi produksi, ekspansi pasar virtual dan yang lebih parah adalah dengan terus berusaha membekukan kenaikan upah atau menekannya, hingga tingkatan terendah, setara kebutuhan fisik minimum di negeri imperialis.
Kedua, mematikan kapital produktif dan utangnya mengalir deras ke negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, sebagai harapan terbaik untuk bisa berproduksi lebih mudah dan murah. Di tengah over produksi yang semakin parah, produksi harus terus berjalan, tidak bisa dan tidak boleh dihentikan.
Untuk konteks Bantaeng, Junaid mengepalkan tinju sembari melantangkan suara, bahwa situasi industri Bantaeng, tentunya tidak terpisahkan dari situasi yang dialami oleh rakyat di seluruh negeri, baik kelas buruh, kaum tani, nelayan, dan rakyat tertindas dan dihisap lainnya.
Situasi di kawasan industri Bantaeng menjadi situasi yang ekstrim bagi pekerja yang dipekerjakan melebihi dari jam kerja, upah tidak manusiawi, dan K3 masih amburadul. Situasi ini membangkitkan kesadaran buruh, untuk bangkit berjuang kedalam serikat buruh, terutama berserikat di SBIPE-KIBA, sebagai alat perjuangan, buat menuntut hak-hak normatifnya sesuai dengan perundangan ketenagakerjaan dan mewujudkan penghapusan sistem kerja yang sangat tidak manusiawi.
Investasi asing di industri extraktif berbasis mineral nikel, dikemas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dalam implementasinya, mendapatkan begitu banyak kemudahan serta ruang seluasnya, untuk pengelolaan sumberdaya mineral nikel secara eksploitatif. Selanjutnya, pemerintah Indonesia menutup mata terhadap praktik industri pertambangan yang destruktif ini, sekaligus menghilangkan kontrol dan pengawasan negara terhadap kejahatan sistematis yang dilakukan oleh korporasi asing terhadap lingkungan, masyarakat lokal, dan buruh industri tambang.
Kaum buruh di sektor industri pertambangan nikel di Kabupaten Bantaeng, hidup dalam pusaran ekstraktivisme yang semakin menguat. Indonesia, khususnya Sulawesi, disebut-sebut memiliki “berkah” berupa melimpahnya cadangan nikel yang merupakan mineral strategis dunia. Namun, realitas yang dialami di lapangan justru memperlihatkan wajah gelap dari apa yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam.
Alih-alih membawa kesejahteraan, keberadaan industri pertambangan dan smelter nikel justru menjerumuskan buruh dan masyarakat lokal dalam penderitaan: upah murah dan perampasan upah, jam kerja panjang yang lebih mirip kerja paksa, minimnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Di sisi lain, masyarakat sekitar kawasan industri turut menanggung beban sosial-ekologis akibat kerusakan ekologis, pencemaran udara dan air, yang mengancam keberlanjutan ruang hidup masyarakat di tapak smelter, akibat dari aktivitas industri destruktif ini.
Pidato politik Junaid, serupa jembatan buat menegaskan diri dalam dentuman proklamasi ala sekaum buruh, sebentuk deklarasi, dibacakan oleh Ahmad Pasallo.
DEKLARASI PENDIRIAN SERIKAT BURUH INDUSTRI PERTAMBANGAN & ENERGI – KAWASAN INDUSTRI BANTAENG (SBIPE-KIBA)
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, serta keyakinan yang teguh akan kekuatan persatuan kaum buruh.
Kami, segenap buruh yang bekerja di sektor industri pertambangan dan energi, yang hidup dan bekerja di tengah kerasnya cengkeraman sistem ekonomi yang menghamba kepada kepentingan kapital, dengan didorong oleh keinginan luhur dan keteguhan sikap, kami menyatakan berdirinya:
SERIKAT BURUH INDUSTRI PERTAMBANGAN DAN ENERGI – KAWASAN INDUSTRI BANTAENG (SBIPE – KIBA)
SBIPE lahir dari rahim perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi yang dilakukan oleh kekuatan modal besar asing, yang menghisap tenaga dan menindas kehidupan buruh serta merusak tatanan sosial dan ruang hidup rakyat.
Kami menyadari bahwa industri pertambangan dan energi yang berdiri megah di atas tanah air Indonesia bukan berarti simbol kemajuan dan hanya mengilusi rakyat Indonesia dengan janji kesejahteraan, pada faktanya praktek industri berbasis mineral merupakan ladang penderitaan bagi banyak buruh dan masyarakat terdampak. Di balik gemerlap hilirisasi dan proyek industrialisasi, tersembunyi wajah-wajah buruh yang upahnya diabaikan, keselamatannya dikorbankan, hak-haknya dihapuskan, dan hilangnya nilai kemanusiaan yang melekat pada kaum buruh.
Oleh karena itu, SBIPE berdiri sebagai organisasi buruh yang independen, patriotis, militan, dan demokratis.
Independen, karena kami menolak tunduk pada kekuasaan modal, partai politik, atau kepentingan manapun selain kepentingan kaum buruh. Patriotik, karena kami berdiri untuk membela kepentingan bangsa dari dominasi kekuatan imperialis yang menjarah sumber daya alam dan tenaga kerja Indonesia. Militan, karena kami yakin bahwa hak dan kesejahteraan tidak akan diberikan, tetapi harus diperjuangkan dengan keberanian, kedisiplinan, dan pengorbanan. Demokratis, karena kami percaya kekuatan sejati berasal dari kerja kolektif dan partisipasi aktif setiap anggota buruh dalam menentukan arah perjuangan dan keputusan organisasi.
SBIPE menegaskan garis perjuangannya:
- Menentang serta melawan imperialisme dan feodalisme sebagai akar masalah penindasan buruh, rakyat, dan bangsa Indonesia;
- Memperjuangkan keadilan upah, hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta jaminan sosial yang layak;
- Membangun front persatuan rakyat dan memperkuat solidaritas antara buruh, masyarakat terdampak, petani, nelayan, pemuda, perempuan, dan seluruh rakyat tertindas untuk berjuang memenangkan tuntutan rakyat dan menghancurkan struktur ketidakadilan sosial yang membelenggu rakyat Indonesia;
- Mendorong transformasi industri pertambangan dan energi yang berkeadilan sosial, berdaulat secara ekonomi, dan berwawasan ekologis;
- Menguatkan kepemimpinan kelas buruh sebagai pelopor perubahan menuju masyarakat yang bebas dari penindasan manusia atas manusia lainnya.
SBIPE adalah rumah perjuangan kaum buruh yang menolak tunduk pada ketidakadilan!!
SBIPE adalah alat perjuangan untuk menegakkan martabat buruh, rakyat, dan bangsa!!
SBIPE adalah janji persatuan, keberanian, dan pengabdian kepada cita-cita pembebasan!!
Hidup buruh!
Hidup rakyat tertindas!
Jaya dan Bersatulah Buruh Indonesia!
Bantaeng, 12 Oktober 2025
Atas Nama: BURUH INDUSTRI PERTAMBANGAN DAN ENERGI (SBIPE) – KIBA
Jujur, selaku penghadir yang mengintimi helatan deklarasi, rambut halus di kepala saya yang plontos ikut berdiri. Apatah lagi, para penghadir dua kali diajak berdiri, saat lagu Indonesia Raya dan kala mars Internasionale, satu mars berparas buruh digemuruhkan. Kaum buruh se-Bantaeng bersatulah, sebagaimana fatwa: Kaum buruh sedunia, bersatulah!

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.
Leave a Reply