Gemercik aliran sungai, burung-burung berkicau beterbangan, berkelebatan di balik rimbun pohon dan dahan. Sejuk dan teduhnya pohon-pohon besar, menjadi atap jiwa di tengah semburat cahaya matahari yang cerah. Semua pemandangan dan nuansa ini bisa kita temukan di Dusun Tamarunang, Desa Barua. Namun tulisan ini bukan hendak membahas tentang indahnya alam atau teduhnya dusun ini. Saya hendak menyampaikan sebuah cerita tentang sebuah sumur, yang sudah ada sejak dahulu kala di Dusun Tamarunang.
Sumur ini di zaman dahulu ibarat mata air kehidupan, yang mengalir jauh memberi manfaat dan menjadi simbol kehidupan, kesucian, dan kesuburan. Sumur tersebut diberi nama sumur atau Bungung Tamarunang. Mengunjungi Bungung Tamarunang seperti mengunjungi sumur kehidupan. Karena manusia tak hanya butuh cinta, kasih sayang, pertemanan, dan dukungan emosional dari orang lain sebagai aktualisasi untuk eksistensinya, melainkan secara fisik, tubuh manusia yang begitu rapuh juga memerlukan keberadaan alam sekitar dengan semua air, udara dan keteduhannya untuk mencari makna, tujuan hidup, dan koneksi spiritual dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Mengunjungi Bungung Tamarunang dengan berbagai hajat yang dibawa sudah menjadi budaya dan etika yang dianut masyarakat lokal di Dusun Tamarunang. Masyarakat yang meyakini sisi spiritual sumur ini memiliki kepercayaan bahwa sumur ini memiliki kekuatan untuk menyumbuhkan dan memberi keberuntungan bagi siapa saja yang datang berdoa dan mengunjunginya.
Salah satu bentuk etik yang paling sering dilakukan masyarakat setempat terkait Bungung Tamarunang ini adalah ketika mereka hendak merantau, belum tenang rasanya kaki mereka melangkah keluar dari kampung apabila belum melakukan ritual sederhana seperti mandi suci di sumur ini laiknya menyucikan diri sebelum melakukan ibadah dan perjalanan spiritual.
Selain tempat penyucian diri, praktik budaya yang paling sering dilakukan di Bungung Tamarunang ini adalah menjadikan sumur ini sebagai medium palappasa’ tinja’ khususnya bagi mereka yang baru saja pulang dari rantauan, sembuh dari sakitnya, atau terkabulkan hajatnya. Palappasa’ tinja’ yang dilakukan di sumur ini biasanya dilakukan dalam bentuk ritual khusus seperti mandi, meminum air dari sumur ini dan memberikan sesajian seperti a’lappasa’ jangang’ dan padongko ka’do di atas bibir sumur. Semua rangkaian ritual ini sebagai tanda penghormatan kepada roh atau makhluk gaib yang dipercaya mendiami Bungung Tamarunang.
Konon katanya, dalam kepercayaan masyarakat lokal, sosok yang mendiami dan menjaga kawasan Bungung Tamarunang ini adalah sesosok kakek tua yang memakai serban putih. Banyak cerita yang beredar, bahwa dahulu ada seorang warga yang mengambil gambar sumur tersebut dengan gawainya dan menemukan ada bentuk kepala berserban putih di dalamnya. Sepupu saya pun, yang tinggal di sekitar sumur tersebut, ketika masih kanak-anak, juga didatangi sesosok kakek berserban putih melalui mimpinya, untuk segera mengunjungi Bungung Tamarunang. Menurut pengakuannya, di sanalah ia diberi sebuah batu akik untuk disimpan dan dijaga. Batu tersebut sudah pernah di tawar jutaan hingga puluhan juta rupiah, tetapi enggan ia lepaskan.
Bungung Tamarunang ini memang dipercaya betul sebagai sumur mistik atau sumur gaib dengan berbagai fenomena misteri yang masyarakat lokal selalu bicarakan. Selain sosok kakek bersurban putih yang kita sudah bahas di atas, diyakini pula ada beberapa hewan misterius yang menghuni sumur tersebut dan beberapa aliran air di sekitarnya. Hewan misterius tersebut dijuluki Lengrongna Tamarunang, Doangna Tamarunang, dan Jangangna Tamarunang. Konon katanya, apabila hewan-hewan ini ditangkap untuk dikomsumsi, maka ia bisa menyebabkan kematian. Banyak cerita beredar di masyarakat bahwa pernah ada seorang pengunjung di sumur tersebut yang menemukan udang di sana lalu kemudian mengolah dan memakannya, dan kemudian tidak berselang lama perutnya pun membengkak dan akhirnya menjadi penyebab kematiannya. Banyak yang percaya bahwa udang yang dia makan tersebut adalah Doangna Tamarunang (udangnya Tamarunang).
Berbagai mitos yang beredar terkait sumur ini tentu saja mengundang pro dan kontra. Ada yang percaya, ada pula yang menganggapnya hanya dongeng belaka. Namun, dalam memandang perbedaan pandangan ini, tentu saja kita tidak boleh memvonis dan memaksakan sudut pandang dan kepercayaan kita, karena ia adalah suatu hal yang bersifat personal dan tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Perbedaan ini semestinya tidak menjadi masalah, karena setidaknya dengan adanya cerita tentang Bungung Tamarunang ini, kita diingatkan kembali agar selalu menghargai alam dengan berbagai budaya dan kepercayaan yang ada di dalamnya. Cerita mistik seperti Bungung Tamarunang ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi masa kini agar lebih menghargai kearifan lokal dan warisan alam serta budaya dari nenek moyang mereka.
Terakhir, perlu saya tekankan, bahwa sumur ini tak melulu juga soal mistik dan legenda. Sumur ini secara ekologis juga memainkan perannya sebagai salah satu sumber mata air yang mengaliri Kawasan Persawahan Bogoro yang ada di Desa Barua. Mungkin saja, kisah-kisah mistik yang membalut sumur ini selain menguatkan dimensi budaya di Tamarunang, juga memainkan peran sebagai penjaga alami dari tangan-tangan jahil yang hendak merusaknya.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 62-64.

Lahir di Bantaeng, 10 Juli 1997. Alumni Suluk Ekonomi, Rumah Suluk Arthatantra (RASA) Semarang, Jawa Tengah. Peserta kelas menulis angkatan pertama Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan Rumah Baca Panrita Nurung (RBPN), sekaligus pengurus RBPN.
Leave a Reply