Batu Lompoa: Penjaga Sunyi dari Dusun Jambi

Manusia, alam, dan leluhur adalah satu kesatuan dari suatu pakampong’, sebagai jantung kehidupan yang dapat menghadirkan warna, karakteristik, juga identitas pada elemen kehidupan. Ragam bahasa, sinrilik, cerita- cerita lokal, hingga kepercayaan-kepercayaan yang kemudian ini menjadi benteng yang dijaga sebagai warisan leluhur, sebagai jati diri dan tradisi oleh para pangngada’ ri kampong tersebut.

Berbicara tentang tradisi, nun jauh di Dusun Jambi, Desa Kampala, Kecamatan Eremerasa, berada jauh di pelosok Kabupaten Bantaeng, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, menjadikan sebagian masyarakat masih berpegang teguh pada tradisi tau toayya. Salah satu perayaan budaya yang masih lestari adalah, meyakini bahwa beberapa titik di suatu tempat, masing-masing memiliki kekuatan spiritual, dianggap sebagai tempat sakral oleh masyarakat setempat.

Dusun Jambi sendiri, ada beberapa tempat yang diyakini sedemikian rupa, seperti keberadaan beberapa batu sakral yang diyakini adalah persemayaman roh leluhur. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Batu Lompoa. Disebut lompo atau besar, karena ukuranya yang memang besar, berdiri kokoh di antara jembatan penghubung Dusun Jambi dan Dusun Manggalekke. Keberadaan Batu Lompoa bermula dari bencana banjir bandang yang melanda Jambi di tahun 2004, bertepatan dengan tragedi tsunami di Aceh.

Tepat pada dini hari, ketika suasana masih sunyi, lelap menyelimuti perkampungan.  Suasana mendadak tegang. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok riuh, beterbangan ke sana kemari, seolah panik oleh sesuatu yang tak kasatmata. Tak lama kemudian, dari arah belakang bukit, terdengar bunyi gemuruh yang semakin lama semakin keras. Suara itu berasal dari air bah yang datang, menghantam segala yang dilaluinya. Dalam waktu singkat, aliran tersebut meluap, menggenangi wilayah permukiman dengan cepat, menciptakan kepanikan di tengah kegelapan malam.

Suasana kampung saat itu semakin mencekam, karena belum memiliki penerangan listrik sama sekali. Hanya cahaya seadanya, berasal dari lampu buatan warga yang terbuat dari kaleng bekas susu dan sumbu dari kain perca. Cahaya temaram itu, nyaris tak mampu menembus pekatnya malam dan derasnya hujan yang turun. Dalam kondisi gelap gulita, gemuruh yang menggetarkan dada, kepanikan pun melanda. Warga berlarian menyelamatkan diri, saling memanggil satu sama lain dalam cemas, berusaha menyelamatkan anggota keluarga dan barang-barang berharga seadanya.

Malam itu, sekitar empat rumah terseret oleh derasnya arus air. Tiga dari rumah yang tersapu banjir masih menyisakan puing-puing yang bisa dikenali, lalu diselamatkan oleh pemiliknya. Namun, satu rumah milik Daeng Rustam benar-benar hilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi. Beruntung, sehari sebelum kejadian, Daeng Rustam dan istrinya mengunjungi saudara mereka di kampung seberang dan memutuskan untuk menginap di sana. Kabar selamatnya mereka, membawa kelegaan di tengah suasana duka yang menyelimuti kampung.

Namun, ketegangan belum usai. Ketika pagi menjelang, saat matahari mulai bersinar, tampaklah kerusakan sebenarnya, warga bergotong royong membersihkan lumpur, batu-batu besar, dan batang pohon yang terbawa arus dari arah gunung. Suasana berubah menjadi hening dan mencekam, ketika warga mendapati bekas lokasi rumah Daeng Rustam, tergantikan oleh sebuah batu besar, berdiri kokoh, seakan tertanam sempurna di tempat itu. Batu itu tidak ada sebelumnya, dan kini menjadi tanda yang membisu di tengah puing-puing yang hilang.

Kejadian semakin terasa mistis, ketika sebuah dapo’—alat memasak dari tanah liat— milik Daeng Rustam ditemukan utuh di bawah sebatang pohon pisang, tak jauh dari lokasi rumahnya. Aneh dan tak masuk akal. Dapo’ itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun, bahkan tidak terkena lumpur, seolah sengaja dipindahkan dan diletakkan di sana. Pemandangan itu membuat bulu kuduk warga merinding. Bisik-bisik dan tanda tanya mulai terdengar, mencampuradukkan rasa heran, takut, dan takjub atas kejadian yang begitu ganjil dan di luar nalar.

Beberapa hari kemudian, tim pekerja dari pemerintah datang, membantu masyarakat merehabilitasi jalan yang terputus akibat banjir bandang. Namun, pekerjaan mereka terganggu oleh posisi batu besar—yang oleh warga mulai disebut Batu Lompoa. Batu besar itu berdiri tepat di tengah jalur rencana pembangunan. Beberapa pekerja akhirnya memutuskan untuk mencoba membelah batu tersebut, demi kelancaran pengerjaan jalan.

Saat itu, salah salah satu warga desa, Bu Anti panggilanya, melintas di depan Batu Lompoa. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman, sesampai di rumahnya, kejadian aneh terjadi,  ia mengalami kejang, meliuk-liuk seperti seekor ikan yang kehilangan air, kemudian meracau tidak jelas dengan suara parau seperti kakek tua. Suaminya panik, meminta tolong warga sekitar dan Mak Nera’, warga yang merupakan orang “pintar” di dusun. Mak Nera’ lalu merapalkan mantra saat menyentuh kening Bu Anti, beliau sudah tau jika ini merupakan perwujudan dari Batu Lompoa.

Punna niak ampolong-polongi kalengku, kupolong-polong tongi singkamua polongna kalengku.” Ucap Mbak Anti dengan lantang, sembari menatap tajam warga yang membesuk, mereka panik juga bergidik mendengar suara dan tatapan kosong dirinya. Setelahnya, ia kembali tenang.

Beberapa hari setelah kejadian, rencana rehabilitasi jalan yang terputus akibat banjir kembali digalakkan. Para pekerja dari pemerintah yang sebelumnya terkendala oleh kemunculan Batu Lompoa, kini bertekad melanjutkan pengerjaan dengan satu keputusan: batu besar yang menghalangi itu harus dihancurkan. Namun, rencana tersebut segera mendapat penolakan dari warga setempat. Beberapa tokoh desa datang untuk memperingatkan para pekerja agar mengurungkan niat mereka.

“Batu itu bukan batu biasa,” ucap salah seorang tetua desa dengan nada berat.

Mereka mengingatkan bahwa Batu Lompoa diyakini memiliki keterkaitan dengan kejadian mistis yang baru-baru ini mengguncang dusun, termasuk peristiwa yang dialami oleh Bu Anti. Sayangnya, peringatan itu tak diindahkan. Lima orang pekerja tetap melanjutkan pekerjaan mereka. Tiga di antaranya mengambil palu besar dan mulai memukulkan logam ke permukaan batu. Dentuman keras menggema, namun tidak seperti batu biasa, Batu Lompoa hanya mengelupas sedikit demi sedikit. Setiap pukulan hanya meluruhkan serpihan kecil, seolah batu itu menolak untuk dihancurkan. Hingga hari ketiga, mereka terus mencoba, tetapi tak ada kemajuan berarti—hanya keringat, lelah, dan rasa frustasi yang mereka dapatkan.

Sore hari di hari ketiga, para pekerja pulang ke rumah masing-masing. Mereka tampak letih, tubuh mereka basah oleh keringat, dan sorot mata mereka mulai pudar. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Malam harinya, kabar duka menyelimuti desa. Tiga dari pekerja yang diketahui menyentuh langsung Batu Lompoa mengalami kecelakaan tunggal dalam perjalanan pulang. Dua di antaranya meninggal dunia di tempat. Warga desa masih mengingat jelas nama mereka: Daeng Sahiri dan Daeng Anton, dua sahabat yang berasal dari desa yang sama. Keduanya dikenal baik dan ramah. Satu orang lainnya mengalami luka berat dan harus dirawat intensif di rumah sakit.

Berita itu menyebar cepat. Tak butuh waktu lama, kecelakaan tersebut menjadi buah bibir di seluruh dusun. Masyarakat yang semula hanya menduga-duga, kini semakin yakin: Batu Lompoa bukanlah batu biasa. Banyak yang percaya, batu itu adalah tempat persemayaman salah satu roh leluhur atau makhluk gaib penjaga gunung.

Sejak saat itu, tak ada satu pun yang berani lagi menyentuhnya, apalagi berniat menghancurkannya. Batu Lompoa pun dibiarkan berdiri seperti adanya—diam, besar, dan penuh misteri. Ia bukan lagi dianggap penghalang pembangunan, melainkan simbol peringatan, pengingat akan batas antara dunia nyata dan yang tak terlihat.

Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa dua pekerja dan membuat satu lainnya dirawat di rumah sakit, suasana desa kembali diliputi kecemasan. Warga semakin berhati-hati, dan tidak satu pun yang berani lagi menyentuh Batu Lompoa. Desas-desus tentang keberadaan roh penunggu yang bersemayam di dalamnya semakin kuat terdengar.

Setelah melalui serangkaian pertemuan, mendengar pertimbangan tokoh masyarakat serta warga desa, pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan upaya penghancuran batu tersebut. Sebagai gantinya, jalanan desa yang sempat terputus dirancang ulang. Para pekerja jalan menyusun solusi yang lebih menghargai kearifan lokal, dengan membangun sebuah jembatan di sekitar Batu Lompoa, sehingga batu tersebut tetap dibiarkan di tempat asalnya tanpa terganggu.

Pembangunan jembatan itu disambut dengan rasa lega oleh masyarakat. Proses pengerjaannya berlangsung lancar tanpa insiden berarti, seolah alam pun mendukung keputusan tersebut. Setelah jalanan desa berhasil dirampungkan, aktivitas warga secara perlahan kembali normal. Lalu lalang masyarakat yang semula penuh was-was, kini mulai tampak seperti sedia kala.

Salah seorang warga, Daeng Sadi’, merupakan korban banjir yang rumahnya terseret banjir, sesaat setelah melintas, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Keringat dingin membasahi dahinya. Tubuhnya mulai gemetar hebat, dan tanpa diduga, ia jatuh tersungkur ke tanah. Warga yang melihat kejadian itu segera berkerumun, ketakutan, dan bingung. Ia segera dibawa pulang kerumah salah seorang warga untuk diobati.

Mak Nera’ kembali dipanggil, setelah beberapa saat Daeng Sadi mulai berbicara dengan suara yang serak dan berat, bukan suara dirinya sendiri. Gerak tubuhnya menjadi aneh, seperti kesurupan, meliuk-liuk seolah-olah ada kekuatan lain yang menguasainya.

Punna Lalloko tabe-tabe laloko, i nakke minne kalompoannu. ammoppo’ ancinikiko ngasek,” ucapnya parau. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, ia mulai tenang dan sadar kembali. Ia mengaku bahwa roh penunggu Batu Lompoa menegurnya dengan tegas, karena ia melewati batu tersebut tanpa mengucapkan salam, melanggar tata krama yang sudah disepakati bersama. Roh itu memperingatkan, agar ia tidak mengulangi kesalahan itu, dan menyampaikan pesan penting kepada seluruh warga tentang menghormati tradisi dan kekuatan yang ada di sekitar mereka.

Sebagai bentuk permohonan maaf dan penghormatan, warga Jambi sepakat menggelar selamatan bersama. Di sekitar Batu Lompoa, kini dibersihkan dan dipercantik dengan pagar bambu. Mak Nera’, yang menjadi perantara antara warga dan roh penjaga, memimpin doa dan ritual kecil. Dalam bisikan mantra yang lirih, ia menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian yang telah terjadi, serta mengucapkan terima kasih atas perlindungan yang diberikan selama ini. Persembahan diletakkan dengan penuh hormat di kaki Batu Lompoa, dan setiap warga menundukkan kepala, mengucapkan salam dalam hati.

Sejak saat itu, selamatan di sekitar Batu Lompoa menjadi tradisi yang dijalankan secara berkala, warga Jambi meyakini sepenuh hati, bahwa Batu Lompoa adalah tempat sakral yang harus di parate ada’—dihormati dan dijaga keberadaannya, sebagaimana menghormati leluhur dan penjaga kampung.

Batu itu bukan lagi hanya batu, melainkan penjaga yang senyap, tapi berpengaruh. Ia menjadi pengingat akan batas-batas yang tak boleh dilanggar, dan simbol hubungan manusia dengan alam yang tak bisa hanya dijelaskan dengan logika. Juga sebagai pengingat bahwa tidak semua yang tampak biasa, bisa diperlakukan semaunya. Ada yang harus dihormati, bukan karena takut, melainkan karena menyadari bahwa hidup manusia pun hanya seutas benang dalam jalinan semesta yang jauh lebih luas.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 52-57.


Comments

2 responses to “Batu Lompoa: Penjaga Sunyi dari Dusun Jambi”

  1. Ceritanya menarik dan penuh makna Kita memang harus menghormati para leluhur, sejarah dan prasejarah yang telah ada dsetiap pakampong. Dan masih banyak tempat2 sakral yang ada di bantaeng yang patut di ceritakan asal-usulnya. Tingkatkan terus writernya .

  2. Masha allah,,semangat berkarya,semoga bisa ikut berkarya juga

Leave a Reply to Puspa Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *