Mengeja Teologi Buruh

Memandang gerakan buruh, kadang hanya dilihat pada permukaannya. Seperti gulungan ombak, penuh gelora menghempaskan sampah di bibir pantai. Padahal, tak kalah pentingnya, memahami di dasar laut gerakan. Ada arus kuat, menghasilkan gelombang barisan ombak. Dan, separas di kedalaman laut, terdapat kehidupan, kedamaian, dan harmoni.

Sekaum buruh PT. Huadi diorganisir gerakannya oleh Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), buat menuntut hak-hak buruh dengan demontrasi berjilid-jilid. Salah satu jilidnya, ketika berdemonstrasi di depan Kantor Bupati Bantaeng. Mereka menutup jalan poros Bantaeng-Bulukumba, sehingga berakibat kemacetan, dari pagi jelang siang hingga sore.

Muncul satu elemen masyarakat, mendaku pengendali ketertiban sosial, bertujuan melakukan pendekatan persuasif dan pembinaan sosial, guna mencegah eskalasi aksi yang merugikan masyarakat serta menjaga ketertiban umum. Pendekatannya bersifat humanis dan religius. Dan, tujuan utamanya membubarkan aksi demonstrasi secara damai, melalui pendekatan sosial dan spiritual yang menyentuh hati para peserta aksi.

Sebagai seorang yang mengintimi gerakan SBIPE, saya sungguh-sungguh bertanya, gerangan apa yang dimaksud dengan pendekatan dan pembinaan bersifat humanis, religius, dan spiritual? Apakah gerakan buruh ini tidak berbau humanis-religius-spiritual? Atau humanitas-religiusitas-spiritualitas jenis apa yang mau dibumikan kepada mereka?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya ajukan, sebab saya mencurigai adanya satu jenis pemahaman keagamaan, sebatas memandang gerakan buruh ini sebagai pengganggu kemaslahatan bersama semata, sehingga harus disadarkan. Singkatnya, teologi (religiusitas-spiritualitas) apa yang hendak dipakai oleh kaum penasehat ini? Sementara, penampakannya di lapangan lebih memihak kepada kaum pongah, untuk tidak mengatakan kaum penasehat ini menjadi bagian dari kaum pongah. Atau kepongahan mengantarnya pada penasehat?

Berlapik dari fenomena kepongahan berlatar keagamaan dalam bernasehat, mengingatkan saya pada wacana tahun 1980-an hingga 1990-an, sebagai salah satu varian pendorong lahirnya Gerakan Reformasi 1998. Kala itu, sebagai salah seorang aktivis gerakan mahasiswa pro reformasi, bahkan pro revolusi, cukup akrab dengan wacana Teologi Pembebasan. Bahkan, dalam kadar tertentu, saya menganutnya, sehingga cara beragama saya bersifat tranformatif.

Baiklah, saya hangatkan kembali Teologi Pembebasan ini, buat mengeja gerakan SBIPE, agar tidak disalahpahami, sebagai gerakan tak berbasis religius-spiritual. Syukur-syukur bisa dipendapatkan, sebentuk pijakan hadirnya satu teologi untuk pembebasan kaum buruh, serupa Teologi Buruh.

Teologi Pembebasan muncul di Amerika Latin, seputar tahun 1960-1970-an. Tokoh-tokoh terdepannya, Gustavo Guiterez (Peru), Leonardo Boff (Brasil), dan Jon Sobrino (El Salvador). Inti utama pemahamannya, pertama, iman Kristen bukan hanya soal pribadi, tetapi harus berpihak pada kaum miskin dan tertindas.

Kedua, menggunakan analisis sosial Marxis, guna memahami struktur penindasan (kelas, kapitalisme, dan imperaliasme) dan ketiga, Yesus dipahami sebagai figur pemebebasan bagi kaum miskin, bukan sekadar juru selamat.

Waima teologi ini berasal dari agama Kristen, tetapi memvirusi juga agama-agama lain. Akibatnya, setiap agama, mengembangkan penafsiran cara beragama yang membebaskan. Michael Amaladoss dalam bukunya, Life in Freedom: Liberation Teologies from Asia diterjemahkan Teologi Pembebasan Asia, sangat lantip memetakan bagaimana Teologi Pembebasan ini telah menjadi bagian dari penafsiran berbagai agama, khususnya di daratan benua Asia. Maka lahirlah, Teologi Minjung di Korea, Teologi Perjuangan di Filipina, dan Teologi Dalit di India. Begitu juga, agama-agama seperti Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan Islam, serta agama-agama kosmis, mengembangkan penafsiran ajaran yang membebaskan.

Sebagai seorang muslim, selain mengeja berbagai perspektif agama-agama terkait pembebasan, saya cukup menabalkan minda dari seorang pejuang HAM kelahiran India, Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, Islam and Liberation Theology Essay on Liberative Elements in Islam (Islam dan Teologi Pembebasan), pertama, kehidupan teologis  mesti dimulai dari melihatnya sebagai perkara dunia dan akhirat.

Kedua, teologi ini tidak menginginkan apa adanya (status quo) yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin.  Maksudnya, teologi bersifat anti kemapanan (establishment), baik kemapanan religius maupun politik.  Ketiga, teologi berperan membela kelompok tertindas dan tercerabut hak miliknya, membela dan memperjuangkan via pembekalan senjata ideologis.

Keempat, teologi tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir, tetapi mengedepankan kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Takdir dan kebebasan bukan dua konsep yang berlawanan, melainkan satu konsep praksis tawar menawar saling melengkapi.

Arkian, bagaimana dengan gerakan buruh? Sesarinya, gerakan buruh serupa aksi sosial politik untuk memperjuangkan hak-hak buruh: upah layak, jam kerja manusiawi, jaminan sosial, dan hak berserikat. Kelahiran gerakan buruh berakar pada pengalaman eksploitasi sejak Revolusi Industri hingga sekarang. Dan, perkara eksploitasi ini dianalisis berlapik kelas, guna menjelaskan penindasan buruh vs kapitalis.

Nah, pada konteks itulah, saya memahami adanya titik temu antara Teologi Pembebasan dan Gerakan Buruh. Simpainya terdefenisikan dalam wujud, Teologi Pembebasan memberi moral religius-spiritual bagi perjuangan kaum buruh, sementara Gerakan Buruh memberi analisis sosial-ekonomi bagi Teologi Pembebasan. Keduanya saling melengkapi dalam melawan ketidakadilan.

Jadi, kawan-kawan buruh yang berserikat dalam SBIPE dalam memperjuangkan hak-haknya, dengan cara menutup jalan, tak elok dipandang  hanya sebagai penyulut ketidaknyamanan sosial dan tidak berwajah religius-spiritual.

Kaum yang bersekutu dalam kepongahan, membawa agama dalam memandang demonstrasi serupa realitas ketidaknyamanan sosial-politik, maka perlu dinasehati secara religius-spiritual, patut diduga separas cara beragama pro status quo (apa adanya), melanggengkan establishment (kemapanan).

Selaku penganut Teologi Pembebasan ala Islam, teologinya bersifat transformatif, paras Islam tranformatif, saya memandang gerakan buruh yang berserikat di SBIPE Bantaeng, mengintiminya di kedalaman penghayatan religius-spiritual, sebagai kaum yang sungguh-sungguh berjihad demi menunaikan hak-hak religius-spiritualnya.

Waima, penampakannya tidak seperti barisan orang salat berjemaah atau zikir akbar. Yah, mereka seperti gelora ombak di permukaan, tetapi harmoni di kedalaman laut religiusitas, bermandikan spiritualitas, dalam selimut teologi yang membebaskan: Teologi Buruh.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *