Di dalam jiwanya, hendak berontak menagih dalam lirih, sebab kebutuhan hidup telah tertagih. Sementara di antara mereka ada keluarga: istri dan seorang ibu, hanya mampu menanak nasi di atas lilin yang putih.
Nasi tiada tanak, nikel semakin membara terbakar menjadi pundi-pundi kekayaan, memburu para buruh tanpa ampun. Mengebiri dan melengkungkan kebijakan, melipat perjanjian lalu meremas dengan dalih atas nama rugi dan bahan yang baku nikel yang kurang.
Sepertinya, kita hidup di antara basa-basi, bukan lagi sekadar menghiasi dan sarana untuk sebuah interaksi, di awal begitu epik, namun seketika sudah menguasai dan cenderung mulai sandiwara.
Salah satu bentuk komunikasi dengan cara berbohong dalam kejujuran murni pada situasi yang palsu. Hampir setiap sesi dan lingkup peran manusia begitu kerap kutemui. Sebuah kelaziman untuk hal lebih pada pendekatan.
Budaya helai demi helai sekadar kedok sama dengan agama, seakan membuai-buaiku, namun menelikung di antara belukar. Para pakar mulai berjubel penuh label. Kitab-kitab palsu terbit dengan definisi yang hanya sesaat ereksi, tanpa reaksi dan aksi.
Basa-basi. Ya! Dengan seperti itu, mempermudah sebuah usaha untuk lebih masuk menyusup dan melingkup.
Teringat sepekan, dua pekan, bahkan bulan lalu, seketika seorang buruh pergi meninggalkan tanah kelahirannya, di atas pijakan kakinya, dia hendak bersumpah, dia menahan amarah. Meredam dan hanya bisa termenung, terdiam penuh lara. Karena keputusan yang basa dan sudah basi.
Perasaan sedih, kecewa, bingung, atau terkejut, dan juga syok secara batin.
Saya hanya termangu, melibas segala idealis yang kini mulai terkilir dan bergeser ke sudut panggung pentas para jawara dan pendekar. Ini bukan soal lagu “Mangu” oleh Fourtewnty, yang menceritakan kisah cinta yang kandas karena perbedaan keyakinan, sehingga menimbulkan perasaan “mangu” ini, semua ter- mangu, terdiam karena sebuah situasi yang sengaja dikondisikan.
Ibarat sebuah pengkhianatan atas nama janji, ikrar. Namun mereka di-ghosting dengan MOU bersama materai. Tapi pada akhirnya semua hanya termangu dungu.
Jadi jongos itu tidak semua harus dongok! Berapa banyak diantara mereka hanya “mangu”, mencoba bertahan hingga detik ini.
Termangu melintasi alam pikirnya tentang dirinya yang sebentar lagi akan menjadi penganggur dan terbuang di tanah kelahirannya, kampung halamannya sendiri.
Mereka memetik kehidupan bagai dedaunan, kuncup dan mekar kembali. Itu khayalannya. Namun, yang terjadi hanya bualan. Adakah yang tak lagi peduli? Pada hari-hari melelahkan, mereka masih berteguh, di tengah prahara dan diharapkan dan tertagih, hanya pepesan kosong.
Khayalan, harapan, dan mimpinya dia taruh di belakang telinga, tidak harus mendengar para provokator dengan indikator menggedor-gedor dinding nilai perjuangan mereka, tidak juga menoleh lagi ke masa lalu, atau trauma dengan iming yang imitasi.
Tetiba berita kini sunyi. Suluh api mulai seperti tertumbuk, tapi dalam lubuk mereka masih bertarung. Sudut bincang terasa teralihkan. Terhadap sesuap sang buruh yang terluntah dan seakan-akan dipaksa menyerah!
Bara dari tungku, asap tebal meluluhkan semuanya. Transaksional di baliknya, hendak kemana gugat tersampaikan. Sementara mereka memiliki pukat cuan, mudah menjerat dengan segala kebijakan yang konyol.
”Akkala pulando” (akal bulus) mulai dimainkan, dari setiap sudut mata jelalatan agar ikut bersekongkol. Membabat sebuah hak sekian manusia, peluh buruh ditipu dengan siasat yang jitu penuh tipu-tipu.
Kedaulatan buruh dirobek dan dikoyak-koyak. Begitu telak mengena jantung kehidupannya. Sambil melipat pakaian seragam kerjanya, menaruhnya dengan pelan seiring air matanya kacau, hendak memuncak. Dia bukan pasrah apatahlagi menyerah. Hanya karena harapannya kemarin terhempas jauh untuk seorang pemimpin terbuang di lembah sunyi. Tanpa ada keberpihakan serta keputusan yang jelas.
Sepagi itu Nehru bergegas, tapi tanpa helm berwarna kuning seperti biasa, dan pakaian biru bergaris putih mengkilap, serta sepatu khas dengan ransel berisi ransum seadanya, dan tidak ketinggalan kopi khas racikannya dari rumah.
Dia beranjak penuh semangat, sampai sore kabarnya belum juga segera balik. Yang tadinya bertukar waktu jam kerjanya (pengurangan jam/lembur); kini raib entah kemana.
Nehru tak lagi merasakan psikisnya terganggu, dengan perintah konyol leader yang seenaknya saja. Tak lagi membakar tungku, atau ancaman keselamatan kerja yang rawan. Tanpa harus pulang pagi, dengan mata sembab dan wajah menyimpan penuh kelelahan, di tengah upahnya pula dikebiri.
Yah. Beralih profesi kini mencoba keberuntungan, dengan membentang kabel di sebuah usaha dirintis oleh seorang sanak keluarga. Ini pilihan agar tidak tersesat dalam pikirannya merenungi nasibnya yang di-PHK tanpa sesuai perjanjian.
Terkadang kita dipaksa termangu dan manggut oleh keadaan. Sekeping harapan dibawa pulang secukupnya. Negara hadir hanya menghakimi rakyatnya sendiri, ulah para aktor pemangku setiap sistem. Tadinya membuat kita terpukau menghapus sekian risau. Toh keputusan menjadi dua mata pisau yang juga tumpul.
Sang kacung mencari jalan kabur. Sembari mengahamburkan lembaran upah, buah rekayasa tameng perlindungan. Menggugurkan gugat, kerabat dan pejabat dan pihak terkait seketika terpikat oleh pukat materi.
Tibalah masa penantian, setelah menduduki gedung DPRD, sekian banyak basa-basi dari mereka. Akhirnya disidangkan sesuai prosedur bernama PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Di sana hak para buruh bertaruh di antara keputusan. Seraya menguatkan mereka sebagai wujud perjuangan serikat yang bertaruh beberapa pekan, agar keadilan ditegakkan di tengah suasana politik, ekonomi, dan sosial yang semakin kompleks nan pelik.
Semoga berbuah manis, tanpa ada terasuki di antara penentu, memutuskan dengan tidak dikendalikan dengan uang, sebagaimana kebiasaan yang sudah menjadi kebiasaan di antara tatanan hukum yang masih suka dikulum.
Sejatinya negara melindungi rakyat, realitasnya yang ada hanya bualan di setiap pergumulan, dengan teori retorik sebagai bahasa baku, tetapi kaku untuk mengambil kebijakan/keputusan. Suara nurani tertirani oleh kekuatan politik, materi, dengan mengatasnamakan solidaritas yang sengaja dibuat menjadi tameng.
Nehru pamit menuju pandu atas tuntunan sebagai buruh yang mengalami PHK. Kemarin sore sampai balasan chat WhatsApp belum dia baca. Bagai menanti kejujuran dan harapan kepastian di persimpangan kedaulatan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sembab mata Ibu melengkapi kecemasan di tengah prahara dan perkara buruh yang seakan sengaja dibuat runtuh. Namun, tidak semudah mereka hendak secara taktis mengikis semangat, jiwa juang dan bertarungnya mereka sedikit saja, mereka tidak goyah. Meski di antara mereka masih banyak intimidasi dari berbagai pihak dan delapan penjuru mata angin mengembus, merayu bahkan menjadi musuh bagi mereka. Ini lelucon apa lagi.
Ada juga di antara mereka para buruh. Dengan selembar catatan, terbumbuhi basa-basi, dengan upah sebulan bagi yang dirumahkan, sambil membujuk kalimat janji-janji palsu akan dipekerjakan lagi kelak, tapi pasal sebelumnya mengikat dan menjebak mereka yang terlanjur menaruh tanda tangan bahwa sengketa dan perihal tuntutan telah selesai.
Wow. Jebakan batman berhasil. Toh pada akhirnya mengalami PHK secara massal. Lantas bagaimana nasib mereka saat ini? Tanpa pesangon? Sebab di atas perjanjian tidak harus menuntut lagi, maka semua harus pasrah buah perjanjian penuh basa-basi itu.
Begitulah adanya dan kiranya, rentetan peristiwa negeri yang ditunggangi oleh kepentingan, baik orang dalam dan pihak asing sebagai pemilik modal serta kongsi-kongsi menaruh saham. Mereka membungkam kaum cendikia, menaruh ideologi negara di bawa kaki-kaki para cukong.
Saya terdiam bagai lara di tengah nestapa keadilan sosial, betapa secara moral, kita menelanjangi diri, tanpa harus berani bersikap, apatahlagi bertindak. Sebab kita telah sama-sama bernaung di antara “basa-basi”.
Sumber gambar: https://chatgpt.com/c/68dc7f91-81ec-8322-925b-da93def91ce2

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply