Teori pendidikan terlalu sering hidup di kertas, tapi mati di kelas. Jumat kemarin saya melihat sendiri bagaimana murid-murid kecil menghidupkannya kembali. Sesekali kita memang harus menanggalkan kacamata teori dan menengok langsung bagaimana ia bekerja di lapangan.
Buku dan modul kadang terlalu rapi, terlalu steril. Tetapi hidup murid, hidup sekolah, tak pernah sesederhana itu. Fakta harus dipertemukan dengan mata, dirasakan dengan hati. Maka, kunjungan kali ini bukan sekadar perjalanan kerja, melainkan perjalanan belajar. Karena di sana, teori pendidikan yang kerap kita gumamkan, ternyata hidup, bernapas, dan dijalankan dengan tangan kecil murid-muridnya.
Karena alasan itulah, Jumat kemarin, saya pimpin rombongan komunitas belajar sekolah melakukan perjalanan belajar. Merasakan kehangatan ekosistem, mendengar obrolan para murid. Mengunjungi murid-murid di rumah sekolah Cendekia.
Apakah ini sesuatu yang baru? Tidak. Sejarah kita penuh dengan sekolah-sekolah yang lahir dari denyut kehidupan. Sekolah Syarikat Islam yang dipelopori Tan Malaka, Sekolah Diniyyah Putri yang dirintis Rahmah El Yunusiyyah, Sekolah Kerajinan Amai Setia oleh Rohana Kudus, atau Sakola Kautamaan Isteri oleh Dewi Sartika. Mereka tidak sekadar meluluskan murid, tetapi melahirkan pejuang, orator, musisi, penggerak ekonomi, dan cendekiawan yang menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Menurutku, Rumah Sekolah Cendekia adalah gema kecil dari tradisi besar itu. Mereka telah berhasil mendirikan tempat teori dan praktik berdamai, tempat belajar kembali menemukan tubuhnya. Ia bukan sekadar ruang kelas dengan papan tulis, tetapi ruang hidup di mana anak-anak memungut serpih ilmu lalu menjadikannya bekal untuk menumbuhkan masa depan.
Kami tiba di sebuah ruang bernama rapat besar, sebuah forum yang dipimpin sepenuhnya oleh murid-murid. Tidak ada guru yang berdiri di depan, tidak ada kepala sekolah yang mengatur jalannya acara. Kehadiran mereka adalah tamu undangan yang duduk di berjejer di samping forum. Hanya anak-anak dengan wajah serius, duduk rapi, dan palu sidang yang diketukkan tanda dimulainya agenda.
Ruang itu segera dipenuhi suara-suara kecil yang penuh percaya diri, menyampaikan keluhan, membacakan aturan, dan menjaga tertib jalannya rapat. Rasanya seperti memasuki dunia alternatif di mana murid bukan sekadar pendengar atau penerima keputusan, melainkan pemegang kendali atas permasalahan yang mereka hadapi.
Setiap poin dibahas dengan runtut, setiap suara didengar tanpa disela, dan setiap keputusan diambil bersama. Saya menyaksikan langsung bagaimana ruang belajar berubah menjadi ruang demokrasi, bagaimana sekolah tidak berhenti pada buku pelajaran, tetapi menjelma laboratorium kehidupan.
Ternyata rombongan kami telah dicatat sebagian agenda tambahan. Nama saya disebut oleh pimpinan sidang menyampaikan sepatah kata, sebentuk pernyataan dan juga penghargaan mereka kepada tamu. Saya sempat terdiam. Pertanyaan itu menancap dalam: kapan terakhir kali saya melihat murid memimpin rapat resmi dengan agenda yang jelas, aturan yang ditaati, dan penyelesaian yang mengarah pada perdamaian?
Di ruang itu saya tidak menemukan dendam, tidak ada amarah yang tersisa. Yang saya lihat justru keberanian, rasa tanggung jawab, dan kesadaran bahwa masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Rapat besar itu mengajarkan satu hal yang sering dilupakan sekolah-sekolah pada umumnya: bahwa murid mampu, jika diberi ruang dan kepercayaan. Mereka tidak hanya bisa menghafal teori, tetapi juga menghidupkan nilai yang paling sulit diajarkan. Tentang kepemimpinan, musyawarah, dan penghargaan terhadap sesama. Dan saya pun pulang dengan perasaan yang berbeda: di ruang kecil itu, pendidikan terasa sangat besar.
Rapat usai, keluhan pun selesai dengan damai. Namun, yang membuat saya lebih terkesan adalah bagaimana murid-murid segera melanjutkan peran mereka sebagai tuan rumah.
Dengan penuh percaya diri, mereka memandu kami berkeliling sekolah: menunjukkan perpustakaan yang terkelola rapi, ruang podcast yang hidup dengan karya suara, hingga ruang pengurus murid yang sibuk dengan agenda mereka sendiri.
Setiap ruang tidak hanya dipamerkan, tetapi juga dijelaskan dengan lancar dan penuh penghayatan. Penjaga perpustakaan itu tahu persis letak buku, seolah ia seorang pustakawan berpengalaman. Bahkan isi beberapa buku dijelaskan dengan lugas.
Podcaster muda mereka dengan percaya diri memaparkan alur produksi konten, dari ide hingga tayang. Sementara pengurus murid menunjukkan agenda kerja yang mereka susun sendiri, lengkap dengan strategi dan target. Tidak ada yang tampak dipaksakan, tidak ada yang sekadar untuk menyenangkan tamu. Semua itu lahir dari kesungguhan dan rasa memiliki yang nyata.
Sekolah di mata mereka bukan sekadar tempat menunggu jam pulang, bukan pula gedung yang hanya berisi kelas, papan tulis, dan ujian. Ia telah menjelma menjadi ruang hidup, ruang pengabdian, dan ruang tanggung jawab. Saya melihat bagaimana anak-anak itu memandang sekolah bukan dari kaca mata kewajiban, tetapi dari perasaan keterikatan.
Mereka merawatnya, menghidupinya, dan membuatnya relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Inilah yang kerap hilang dalam wajah pendidikan kita: sekolah yang dirasakan sebagai rumah bersama, tempat setiap orang punya peran yang berarti.
Melihat itu, saya bertanya dalam hati: bukankah seharusnya beginilah sekolah berdiri? Bukan hanya mencetak lulusan dengan ijazah, tetapi membentuk manusia dengan kesadaran penuh bahwa ia bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Diskusi dengan pimpinan yayasan, kepala sekolah, dan guru menjadi bab terakhir dari kunjungan, namun justru di situlah saya menemukan sesuatu yang paling mengejutkan: program cooking. Sekilas terdengar sepele, seperti kegiatan ekstrakurikuler biasa. Tetapi ketika dijelaskan, saya mendapati bahwa memasak di sekolah ini bukan hanya soal wajan, panci, dan resep.
Cooking menjadi jembatan belajar yang utuh. Pada murid kelas rendah dikenalkan pada indera mereka: membedakan bau, merasakan tekstur, mengenali warna. Dari hal yang sederhana itu, mereka belajar peka terhadap dunia. Sedangkan murid kelas tinggi diajak melampaui dapur: memahami logika proses, merancang alur, mengikuti struktur, hingga menghubungkannya dengan cara berpikir kritis. Setiap tahap mengandung latihan kesabaran, kejelian, dan keberanian mengambil keputusan.
Lebih jauh lagi, cooking ternyata juga digunakan sebagai model asesmen. Di meja dapur, kemampuan murid tidak diukur lewat angka-angka mati, melainkan lewat bagaimana mereka bekerja sama, mengatur strategi, berbagi peran, dan mengolah bahan menjadi hidangan yang utuh. Hasil masakan menjadi cermin proses belajar mereka: apakah teliti, apakah berani mencoba, apakah mampu menyelesaikan sesuatu sampai tuntas.
Di titik itu, saya merasa pendidikan kembali menemukan wajahnya yang paling orisinal: dekat dengan kehidupan, nyata dalam pengalaman, dan sederhana sekaligus mendalam. Ia tak perlu selalu dibungkus teori muluk atau laporan administratif. Cukup sebuah dapur kecil, sekelompok murid, dan kepercayaan bahwa setiap anak bisa belajar lewat tangan dan pikirannya sendiri.
Tentu, waktu selalu menjadi batas. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan lebih banyak lagi rasa ingin tahu yang sengaja dibiarkan terbuka. Tapi begitulah belajar. Tidak semua harus selesai di satu hari, tidak semua harus tuntas dalam satu pertemuan. Yang penting, kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri: murid bisa memimpin, bisa bertanggung jawab, bisa belajar sambil menghidupkan teori.
Teman-temanku, saya pulang dari kunjungan itu dengan keyakinan sederhana. Bahwa sekolah yang baik bukan yang memenjarakan murid dalam rapor, tetapi yang memberi mereka ruang untuk tumbuh, salah, bangkit, dan percaya diri.
Rumah Sekolah Cendekia menunjukkan itu pada kami. Dan saya ingin menyimpannya bukan sekadar sebagai catatan kunjungan, tetapi sebagai pengingat bahwa pendidikan sejati selalu hidup, selalu bergerak, selalu berakar pada murid.

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.
Leave a Reply