Esai tentang Esai

“Esai bentuk langsung dari opini.” (Remy Sylado)

“Esai itu bukan karya sastra, bukan pula karya ilmiah.” (Emha Ainun Najib)

”Esai di antara puisi di pojok paling kiri dan karya ilmiah di sudut paling kanan.” (Zen RS)

Pekan terakhir September 2025, ada yang perlu dihangatkan. Seperti makanan dan minuman yang lebih maknyus disantap dan diminum kala hangat, sehingga menghangatkan gairah penuh kehangatan.

Esai ini, bagai makanan dan minuman, sudah lama tersimpan dalam lemari pendingin. Pernah terbit di beberapa media. Namun, karena ada momen kehangatan dalam perjamuan kepenulisan, maka saya perlu hangatkan kembali. Saya dedahkan lagi buat helatan di SMA Neg. 6 (Smanam) Bantaeng, Selasa, 23 September 2025, saat Pelatihan Menulis Esai.

Begitu pun di hajatan Kelas Menulis Esai, Boetta Ilmoe berkolaborasi dengan Balla Literasi Indonesia, pertemuan perdana, Sabtu, 27 September 2025. Tentunya, saya adaptasi sajiannya, guna menyelaraskan kebutuhan. Persis seperti makanan dan minuman yang dihangatkan, seringkali ditambah bumbu penyedap, sehingga pekan terakhir ini menjadi September ceria.

Agar penjelasan saya tentang kepenulisan esai meyakinkan, baiklah saya kutipkan beberapa pendapat, yang cukup berguna untuk memahami apa itu esai. Saya mulai dulu menebar jala pengetahuannya Alif Danya Munsy, nama aslinya, Yapi Tambayong,  yang lebih akrab dengan nama samaran, Remy Sylado,

Remy dalam bukunya, Jadi Penulis? Siapa Takut!, membentangkan pandangan, bahwa sejatinya, esai pada awalnya, bertolak dari tradisi tulis di kebudayaan Barat. Esai dimaksudkan sebagai tinjauan analisis terhadap karya kreatif prosa. Pun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema ini dimaksudkan sebagai: “Karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.”

Namun, menurut Alif, meski awalnya orang Indonesia menerima kata ‘esai’ ini, sebagai bentuk tulisan kritikal terhadap karya-karya sastra, perkembangan berikutnya, ‘esai’ merambah ke berbagai jenis pengetahuan, yang dibahas secara kritikal, dalam sebuah tulisan analitis, spekulatif, dan interpretatif, menyangkut masalahnya yang aktual dan faktual. Sebagai tulisan kritikal, yaitu opini pribadi, yang memosisikan diri pada pertimbangan-pertimbangan objektif, esai memberikan pengetahuan populer yang dibutuhkan pembaca. Dengan begitu, esai adalah bentuk langsung dari sebuah opini.

Biar pahaman kita akan esai makin menukik, saya ajak ke alam pikiran seorang penulis produktif, Muhiidin M. Dahlan. Pada buku, Inilah Esai, Muhiddin melapangkan sajadah pemahaman, bahwa Michel de Montaigne (1533-1592) yang menerbitkan edisi pertama esainya pada paruh abad 15, berjudul: “Of the Vanity of Words”, Montaigne memberikan batasan esai sebagai “percobaan”. Dari sinilah, seorang filsuf, Aldous Huxley, mengajukan pernyataan, hendak mengomentari segala hal dan tentang apa saja. Cuilan, kata Bandung Mawardi.

Lebih kongkrit Muhiddin bilang, meminjam penabalan Montaigne,  esai adalah cerminan, meditasi, percobaan dalam pengungkapan gagasan yang diekspresikan dengan bahasa yang “lentur”. Sesuatu yang sifatnya longgar, tutur esais kondang, Emha Ainun Najib. Jadi, esai itu bukan karya sastra, bukan pula karya ilmiah. Zen RS mengunci dengan ungkapan, “Esai di antara puisi di pojok paling kiri dan karya ilmiah di sudut paling kanan.”

Pastinya, Emha menabalkan di Caknun.com, “Esai itu bukan puisi. Akan tetapi esai tidak diperkenankan hadir tanpa rasa poetika. Esai bukan cerita pendek, bukan novel, bukan repertoar teater, namun esai diharuskan bercerita, diwajibkan mengekspresikan suasana, itu pun cerita dan suasana harus merupakan kandungan yang implisit, yang tersirat, yang samar, sebab kalau tidak: ia dituduh sebagai puisi atau cerita pendek atau novel atau repertoar teater. Demikian pun esei tidak boleh mengelak dari tanggung jawab ilmu dan pemetaan akademik, tetapi kalau esei terlalu terpaku pada hal-hal tersebut: ia akan dituduh sebagai artikel ilmiah dan dibatalkan kehadirannya sebagai esei.”

Ah, rasanya saya kunci saja pembatasan makna esai dengan menukil Ignas Kleden, dalam bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, pada bab 21, “Esai: Godaan Subjektivitas”. Ignas menulis, “Dengan membaca sajak kita dapat terserap ke dalam suasana puitis, dan dengan membaca karya ilmiah kita berkutat dengan analisis tentang suatu obyek penelitian. Dalam dua kegiatan itu sang penyair dan sang ilmuwan menjadi tidak penting, karena yang pokok adalah karyanya. Membaca esai, sebaliknya, cenderung membuat kita teringat pada penulisnya, karena gerak-gerik, mimik, dan gestikulasi, demikian pun kegembiraan dan rasa jengkel akan muncul dalam kalimat-kalimatnya. Membaca tulisan ilmiah dan membaca sajak pada dasarnya berarti menghadapi teks, sedangkan membaca esai adalah menghadapi teks sekaligus juga berhadapan dengan penulisnya. Ilmu mengubah subjektivitas menjadi objektivitas, puisi mengubah objektivitas menjadi subjektivitas, tetapi esai menghormati kedua-duanya, menghadapi objektvitas sambil mengubah subjektivitas.”

Sebab kasad pengampu di kelas menulis ini bertajuk “Teknik Menulis Esai”, maka tak elok bila saya luput menyajikan sisi-sisi pedoman praktisnya. Anggaplah muncul pertanyaan, apa petunjuk umum dalam mewujudkan sebuah esai? Alif menjawabnya dengan santun, pertama, mestilah terampil berbahasa Indonesia. Mengerti aturan-aturan standar EBI. Kedua, materi yang ditulis menarik, dan ketiga, masalah yang dibeber terjawab. Sebuah esai yang tidak memilki tiga kerangka pokok ini, memang tidak ‘menggigit’, atau tidak menarik untuk dibaca.

Selain itu, perlu pula diajukan prayojana, atau yang melatari kemauan kita untuk menulis. Oleh Alif didedahkan, paling tidak delapan tujuan, simpatetik: menghormati orang, karitas: membagi rasa peduli, persuasif: mendayu khalayak, provokatif: mengilik-ngilik khalayak, informatif: menerangkan pengetahuan, interpretatif: menafsir sudut lain, deputatif: penugasan dari redaksi, dan kreatif: dorongan kebebasan menulis.

Arkian, bagaimana bentuk-bentuk esai itu? Maksudnya, gaya menulis esai? Muhiddin menawarkannya dalam buku yang saya sudah sebutkan di atas. Setidaknya, ada 16 pilihan gaya. Sebaiknya, langsung saja membaca bukunya Muhiddin itu, agar esai yang dituliskan tidak mati gaya. Selain itu, Muhiddin juga menerangjelaskan, bagaimana gaya menulis esai yang mencuri perhatian, membuka tulisan, isi batang tubuh , dan tips menutup esai. Hebatnya buku ini, karena disertai contoh-contoh dari para esais. Persis sama menariknya buku Alif yang telah saya sebutkan. Singkatnya, bila ada yang bertanya tentang buku rujukan, maka saya merekomendasikan dua judul buku tersebut. Mengapa? Sebab, kedua pengarang itu, sangat lantip dalam membabarkan, mulai dari filosofi, hingga tataran praktis kepenulisan esai.

Sepertinya, tidak perlu berpanjang-panjang menguraikan teknik menulis esai ini. Saran saya, setelah persamuhan ini, pertama, perbanyaklah membaca karya sastra, karena akan membantu dalam alur-gaya kepenulisan. Kedua, segeralah menulis, sebab itulah tindakan yang paling nyata dari kasad kelas menulis ini, memberikan wawasan kepenulisan esai. Tuliskan opini anda, secara langsung dalam bentuk esai, seperti kata Remy Silado.

Kalakian, jika tak mengganggu, atau penasaran akan pengampuan saya dalam memantik perbincangan di kelas ini, bacalah esai-esai saya yang beredar di media, baik luring maupun daring, atau buku kumpulan esai saya, Pesona Sari Diri dan Gemuruh Literasi. Bacalah, sembari menyiapkan peluru tanya, benarkah yang saya maksud esai itu, tercermin dalam tulisan-tulisan saya sebagai esai? Atau paling tidak, esai yang saya tuliskan ini, tentang esai, sudah layak disebut esai?


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *