Langsung saja. Sebab tulisan ini agak panjang.
Sudah lama tak ada kabar tentang demo buruh, tidak di jalanan kota, tidak di media cetak, tidak pula di dunia maya. Hening. Isu buruh seolah tenggelam. Dan kita hanya bisa menerka-nerka bagaimana nasib mereka hari ini. Apakah tuntutan mereka sudah terpenuhi? Atau justru sebaliknya.
Seorang kawan bertanya perihal demo buruh yang mengalami calmdown di sebuah grup WhatsApp, “Tenang di permukaan, tapi tetap menduduki DPRD,” balas seorang lainnya.
Sampai hari ini, buruh memang masih “menduduki” gedung DPRD Bantaeng. Menduduki dalam artinya yang paling halus, tak ada perusakan, tak ada penjarahan, apatahlagi pengambilalihan kantor pemerintahan.
Dari demonstrasi ke demonstrasi, dari perundingan ke perundingan, hingga mendorong pembentukan Pansus, sudah menunjukkan bahwa demo buruh lebih dari sekadar luapan emosi semata, melainkan perlahan mengarah ke mobilisasi sistemik.
Tempo hari, saya membaca buku Konsep dan Teori Gerakan Sosial karangan seorang akademisi, Oman Sukmana. Buku ini adalah penggalan disertasi beliau sewaktu menempuh pendidikan di UGM. Itulah yang membikin bukunya rigid, kaya, sekaligus agak berat.
Dalam bukunya, mengutip teori Locher (2002), Oman mengurai lima faktor berhasil atau gagalnya sebuah gerakan sosial: Leadership: Effective leadership, Image: Positive image, Tactics: Socially Accepted Tactics, Goals: Socially Acceptable Goals, dan Support: Cultivated Financial and Political Support.
Saya hendak menyandingkan teori ini dengan data sekunder dari tulisan teman-teman tentang buruh di Paraminda.com. Kita akan coba meraba bagaimana peluang demo buruh di Bantaeng ini.
Leadership: Effective Leadership
Bagi Locher, syarat keberhasilan suatu gerakan sosial meniscayakan adanya pemimpin yang efektif, yakni individu yang memahami sistem hukum dan politik. Sosok yang bisa menginspirasi, menggerakkan, hingga mengartikulasikan aspirasi mereka kepada pihak-pihak luar (outsiders), tentang rasionalitas dan tujuan sebuah kelompok.
Dalam tulisan panjang Junaedi Hambali “Kemerdekaan Masih Jauh: Cerita Buruh 16 Hari di Depan Pabrik Huadi”, kita bisa melihat bahwa kepemimpinan buruh di Bantaeng, melalui SBIPE (Serikat Buruh Industri, Pertambangan, dan Energi) Bantaeng berhasil mengorganisir demo di depan pabrik selama 16 hari. Tanpa rasa takut. Tanpa rasa gentar sedikit pun. Walau harus berhadapan dengan ormas, meski beratus aparat berseragam lengkap dikirim ke lokasi demonstrasi.
Saya tak hendak bicara tentang pemimpin sebagai person, tapi sebagai sebuah sistem. Diakui atau tidak, SBIPE telah berhasil memobilisasi buruh, menjaga disiplin aksi, dan memilih langkah-langkah konkret, seperti pendirian tenda, membuka komunikasi ke pejabat, hingga melakukan perundingan. Dari negosiasi dengan rekan sesama buruh, berunding dengan perusahaan di pos keamanan, hingga ke meja dingin birokrasi tertinggi di daerah.
Di akhir tulisannya, Junaedi bilang, “Buruh belajar bahwa untuk mendapatkan keadilan yang sederhana saja, upah yang layak, dialog yang jujur, perlindungan dari PHK sewenang-wenang, mereka harus duduk di terik matahari, tidur di atas aspal, dan bertahan hingga enam belas hari. Padahal, jika sejak awal perusahaan dan pemerintah hadir dengan niat baik, persoalan itu bisa selesai dalam hitungan jam.”
Sedang Sulhan Yusuf dalam “Kepada Kaum Pongah, Kaum Buruh Bisa Menggelincirkanmu” menuliskan, SBIPE secara konsisten menggerakkan aksi sampai ke jilid-4, dari pendudukan depan gerbang PT. Huadi selama 16 hari, lalu demo di jalan poros, hingga pembentukan Pansus. Aksi ini jauh dari kata panas-panas tai ayam, spontan sekali, lalu usai begitu saja, melainkan punya stamina panjang dan terorganisir dengan baik.
Di titik ini, kita sama-sama mafhum, bahwa buruh di Bantaeng sudah memiliki effective leadership.
Image: Positive Image
Keberhasilan gerakan sosial menurut Locher, apabila mendapatkan respek. Mereka berupaya meyakinkan semua pihak, bahwa mereka adalah orang-orang baik, orang-orang jujur yang hanya menginginkan kebenaran tegak, seperti tegaknya tiang bendera depan kantor bupati.
“Kondisi seperti ini akan memudahkan untuk mendapatkan dukungan keyakinan publik (pengamat) bahwa gerakan tersebut bersifat rasional dan mulia,” jelas Oman.
Citra positif ini bisa kita lacak dalam tulisan Rahman Ramlan berjudul “Bantaeng: Menemukan Arah Baru Demonstrasi Damai” yang menunjukkan di hari keempat demonstrasi, kala sebagian masyarakat menyatakan keberatan atas aksi penutupan jalan. Ada potensi gesekan, rakyat dengan rakyat.
Irham Al-Hurr dalam “Bupati yang Disandera, Buruh yang Dikhianati” mendaku, buruh memilih tak terpancing. Mereka tahu siapa lawan sesungguhnya. Konflik horizontal hanya akan jadi bahan tertawaan direksi di balik meja rapat.
Sebenarnya buruh bisa bersikap tak kalah keras, sebab aksinya jelas benar. Namun, buruh memilih jalan bijak, mengalah bukan berarti kalah. Sejak hari itu, jalan hanya ditutup separuh, transportasi bergerak, warga tetap beraktivitas, dan gema suara buruh tetap bergema, meski belum tiba di telinga kekuasaan.
“Keputusan ini sederhana, tetapi sarat makna. Ia menunjukkan bahwa perjuangan bisa tetap tegas tanpa harus membakar jembatan sosial. Bahwa demonstrasi bisa menjadi ruang damai yang penuh kekeluargaan, bukan sekadar ajang benturan,” jelas Rahman.
Dalam “Ketika Keadilan Seolah Mati di Hadapan Buruh”, Wahdat Mustika Wangi, salah seorang buruh, menekankan bahwa buruh tidak menuntut kelebihan, hanya hak normatif yang seharusnya sudah dipenuhi, tetapi diabaikan oleh manajemen perusahaan dan pejabat. Hal tersebut membantu membangun citra, bahwa permintaan buruh adalah tuntutan keadilan, bukan permintaan “lebay”.
Sedang Adam Kurniawan dalam “Mengapa Demo Buruh Perlu Didukung“, mengingatkan, “Ada alasan politik yang jauh lebih penting, kenapa aksi buruh harus didukung secara luas. Apa yang dialami buruh PT. Huadi adalah cermin dari kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Negara membiarkan buruh diisap, dieksploitasi, dan hak-haknya dirampas. Negara seakan-akan absen. Dan itu tak bisa dibiarkan.”
Melalui aksi-aksi damai dan kepiawaian membangun narasi, citra buruh dibentuk, bahwa demo ini anu baek ji kesian. Hingga membantu menarik simpati masyarakat luas.
Tactics: Socially Accepted Tactics
Bagi Locher, gerakan sosial akan berhasil jika taktiknya dapat diterima secara sosial. Bahwa taktik yang dipilih diyakini akan mampu dan efektif mencapai tujuan gerakan. Kondisi ini, akan memberikan dampak terhadap pembentukan rasa hormat dari publik.
Sejauh ini, aksi-aksi buruh Bantaeng menunjukkan kombinasi taktik yang menarik. Ada blokade pintu masuk pabrik, berunding dengan perusahaan, lalu demonstrasi di jalanan kota, juga ada negosiasi dengan pemerintah dan DPRD.
Seluruhnya memberi pesan, bahwa buruh di Bantaeng tidak sekadar melakukan perlawanan sporadis membabi buta, laiknya aksi demo beberapa waktu lalu yang merusak dan merenggut nyawa. Buruh di Bantaeng terus mencari bentuk taktik yang efektif untuk menekan kekuasaan, tanpa kehilangan simpati publik. Salah satu taktik yang menarik adalah mendorong pembentukan Pansus.
Junaedi Hambali dalam “Mengapa DPRD Harus Membentuk Pansus untuk Buruh KIBA” mengurai urgensi, bahwa jika Pansus tidak dibentuk, maka pola pelanggaran akan terus berulang. Perusahaan semakin berani mengabaikan kesepakatan hukum, pemerintah daerah hanya menjadi penonton, dan buruh terjebak dalam lingkaran ketidakadilan.
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah. Fungsi ini mencakup kebijakan ketenagakerjaan, terutama ketika hak-hak buruh terlanggar. Pansus memberi ruang khusus agar fungsi pengawasan berjalan lebih fokus, sistematis, dan berorientasi pada hasil,” ungkap Junaedi.
Goals: Socially Acceptable Goals
Locher memandang, bahwa suatu gerakan sosial akan berhasil jika pihak luar (outsiders) merasa yakin bahwa tujuan gerakan sosial adalah untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya ambisi kelompok tertentu saja.
Tetiba saya teringat anime One Piece karya Eiichiro Oda, di sana kita mengenal Pasukan Revolusi yang dipimpin oleh Monkey D. Dragon, tujuan mereka jelas, ingin menggulingkan Pemerintah Dunia yang korup dan menindas. Mereka memberontak, melawan Tenryuubito dan Gorosey.
Ideologi Pasukan Revolusi jelas berbeda dengan para buruh di Bantaeng. Junaid Judda, ketua SBIPE Bantaeng juga tak mewarisi spirit Monkey D. Dragon. Jelaslah mereka tak hendak melawan pemerintah yang sah, apatahlagi mengubah tatanan ekonomi-politik secara radikal. Meski ada pihak yang menuduh mereka sebagai pasukan sakit hati. Mungkin benar, sakit hati mereka karena haknya diabaikan perusahaan. Bukan karena urusan politik lalu.
Padahal di tiap orasi, buruh tak pernah meneriakkan revolusi macam Soekarno, mereka hanya menuntut hal sederhana, yang sebangun dengan undang-undang, macam pesangon, upah lembur, hingga transparansi dalam praktik perusahaan.
Sedang isu lain yang menjadi tujuan jangka panjang, yang juga mengiringi perjuangan buruh meliputi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanggung jawab pemerintah, hingga penegakan muruah hukum.
Narasi ini, jika terus digaungkan, maka akan mendorong bystanders (pengamat), bahkan opponents (lawan) untuk berbalik arah mendukung gerakan. Sebab, semua-muanya adalah nilai yang umumnya diterima secara sosial, budaya, bahkan agama.
Support: Cultivated Financial and Political
Kebanyakan kelompok gerakan sosial memperoleh dukungan politik dan dana dari jaringan kelompok, organisasi, dan institusi lainnya. Gerakan sosial yang berhasil, menurut Locher, merekayasa kondisi sedemikian rupa, guna menghindari keterasingan dari pendukung politik dan finansial.
Sementara gerakan sosial yang gagal, seringkali menyerang secara membabi buta semua pihak, termasuk pendukung potensial, baik politik maupun finansial.
Secara politis, kita bisa melacak dukungan pada buruh dalam pembentukan Pansus DPRD, tak tanggung-tanggung, mereka mendapat dukungan enam fraksi (PKB, Demokrat, PAN, PKS, PPP, dan Nasdem).
Dukungan lainnya datang dari organisasi pemuda, mahasiswa, dan OKP. Keikutsertaan masyarakat sipil jelas menunjukkan solidaritas yang tidak kaleng-kaleng. Dari tempat jauh, LBH Makassar datang membawa bantuan hukum.
Di kali lain, di instansi formal, pada tulian Juanedi Hambali sebelumnya, kita membaca bagaimana Bupati Bantaeng dan Kapolres hadir dalam Perjanjian Bersama, menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa mengklaim angkat tangan dan tidak tahu menahu urusan buruh.
Sedang dukungan finansial, justru hadir dari keluarga, orang yang paling sering ditinggal dalam masa perjuangan. Guna mendukung gerakan, mereka membawa logistik dalam aksi 16 hari, menunjukkan bahwa finansial bukan hanya seberapa banyak uang, tapi seberapa dalam rasa kebersamaan di tengah ketakacuhan negara.
Apakah Gerakan Buruh Akan Berhasil?
Dengan menimbang lima faktor Locher itu, kita bisa bilang bahwa gerakan buruh di Bantaeng tidak hadir dari ruang hampa. Tidak tiba-tiba. Ia lahir dari luka panjang para buruh, mulai dari PHK sepihak perusahaan, perjanjian yang dilanggar, juga dari kealpaan sebagian kita memihak pada yang lemah, yang ditindas.
Maka mari beranda-andai, lalu bertanya, apakah gerakan buruh di Bantaeng akan berhasil? Anggap saja begini, jika keberhasilan diukur dari seberapa jauh mereka mampu mengubah relasi kuasa, jalannya masih panjang, dan berliku, dan berlumpur, dan mungkin hampir mustahil. Seperti berlikunya birokrasi di negeri ini.
Namun, jika kita melihat dari perspektif lain, bahwa keberhasilan sebagai keberanian untuk bertahan, mengartikulasikan suara, membangun solidaritas, dan mengguncang narasi dominan, bahwa “investasi selalu lebih penting dari manusia”, maka gerakan buruh di Bantaeng sudah berada di jalur yang benar. Sangat benar. Dan di sini, di tanah ini, kebenaran harus ditegakkan meskipun langit harus runtuh.
Sumber gambar: dialektikamassa.com

Guru PJOK dan pegiat literasi di Bantaeng. Penulis buku kumpulan esai, Jika Kucing Bisa Bicara (2021) dan anggota redaksi di Paraminda.com.


Leave a Reply