“Doa tidak menggunakan energi buatan, tidak membakar bahan fosil, tidak mencemari, begitu juga dengan lagu, cinta, dan tarian.” (Margaret Mead)
Paolle bukan hanya sebuah nama tarian, tetapi juga dialog yang ucapkan oleh anrong guru pada saat melakukan tarian. Kata paolle ini muncul saat iringan-iringan yang bersifat ritual dilantunkan dengan gerakan yang mengalun lambat. Paolle bukan hanya iringan-iringan semata, tetapi paolle adalah media ungkapan syukur, meminta pertolongan, maupun sebagai tuntunan hidup.
Bulang lea, sebuah kelong yang dinyanyikan oleh anrong guru, mengiringi para penari, mengisahkan seorang pemuda tampan dari Kampung Tangnga-Tangnga yang sedang jatuh cinta. Dalam lagu tersebut, bulang lea diibaratkan sebagai purnama, di mana wajah penari bulat dan bercahaya, sehingga siapa pun yang memandangnya akan terpesona
Kabupaten Bantaeng adalah salah satu daerah yang kaya warisan budaya, memiliki beragam tradisi, yang masih ada dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah Akkawaru, tradisi unik dan sarat dengan nilai budaya.
Akkawaru, menurut Kamus B.F. Matthes, berasal dari kata kawaru yang berarti “membebaskan”. Secara harfiah, akkawaru bermakna membebaskan tanah dari pengaruh jahat. Upacara ini merupakan ritual penyucian yang dilaksanakan untuk memurnikan kerajaan serta melindunginya dari malapetaka dan gangguan roh jahat.
Terdapat 3 kecamatan yang biasa melakukan Akkawaru, yakni Kecamatan Bantaeng, Kecamatan Eremerasa, dan Kecamatan Gantarangkeke. Akkawaru termasuk dalam upacara tahunan di Bantaeng, yang berkaitan dengan laut dan pegunungan.
Upacara Adat Pa’jukukang yang dimulai dari pesisir Pa’jukukang, dengan pesta laut yang disebut attunu juku (bakar ikan), dilanjutkan ke Gantarangkeke. Gantarangkeke dan Bantaeng adalah pusat kerajaan yang ada di Kabupaten Bantaeng pada zaman dahulu.
Pada tradisi Akkawaru, apabila akan melakukan tradisi tersebut, ada beberapa ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari persiapan sampai akhir acara. Adapun beberapa hal yang perlu dipersiapkan di antaranya, dupa, tempat pembakaran dupa, baku’ karaeng yang berisikan beras, kelapa, uang, telur, dan gula merah, rokok, lilin merah, buah pinang, daun sirih, buras, songkolo ketan hitam dan putih, gendang, keris yang diikat dengan kain putih, tali yang terbuat dari daun, dan sesajian berupa kue tradisional: dumpi tempa, cucuru te’ne, cucuru lakba, kanjoli (semacam lilin yang terbuat dari bahan kemiri yang dihaluskan dengan kapas kemudian ditempelkan pada kayu ataupun bambu), dan perlengkapan penari seperti baju bodo, kipas, dan selendang.
Dalam ritual Akkawaru, terdapat satu tarian yang biasa ditampilkan pada Upacara Adat Gantarangkeke, yaitu Tari Paolle. Tarian ini mengikuti prinsip gerak tari pakarena, tetapi berkembang di wilayah pegunungan. Gerak dasarnya bertumpu pada tubuh, dengan posisi kaki yang digeser seolah menghubungkan langit dan bumi. Gerakan kaki selalu mengikuti irama perasaan yang selaras dengan gravitasi bumi.
Tari Paolle merupakan salah satu varian dari tari pakarena yang memiliki karakteristik serupa, yaitu bersifat ritual dengan gerakan yang mengalun lambat. Dalam tradisi Akkawaru yang dilaksanakan oleh masyarakat Gantarangkeke, Tari Paolle menjadi bagian penting dalam upacara penyucian desa. Tujuan dari upacara ini adalah membersihkan wilayah dari berbagai bentuk marabahaya, hal-hal buruk yang dianggap dapat mengganggu keselamatan masyarakat harus dibersihkan dan dibuang jauh, serta sebagai bentuk tolak bala terhadap makhluk halus yang mengancam ketenteraman warga. Nilai-nilai tersebut digambarkan melalui gerakan simbolik dalam tarian ini.
Akkawaru biasanya dilaksanakan sebelum pelaksanaan Upacara Adat Pa’jukakang, yang berlangsung setiap tahun pada bulan Syakban, menjelang bulan suci Ramadan. Upacara ini juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas hasil mata pencaharian mereka, baik sebagai petani maupun nelayan, yang menopang kesejahteraan hidup.
Gerakan Tari Paolle diiringi oleh pukulan ganrang (gendang) yang dimainkan secara perlahan oleh anrong guru dari awal hingga akhir pertunjukan. Tarian ini terdiri atas beberapa ragam, yaitu lambusu’na, sita’lei, salonreng, dan bulang lea, yang masing-masing ditampilkan di tempat berbeda. Tarian diawali dengan lambusu’na, dengan posisi penari menghadap lateral ke arah timur. Tanda dimulainya gerakan diberikan melalui pukulan ganrang oleh anrong guru.
Gerakan tari dimulai dengan langkah sederhana: kaki kanan digeser ke belakang, diikuti kaki kiri, dengan beban tubuh bertumpu pada kaki kiri. Posisi penari lalu berubah menghadap ke barat, tempat anrong guru berada. Selanjutnya, anrong guru menyampaikan lele, yaitu syair tanpa lirik, sementara para penari menutup mulut dengan kipas. Setelah pukulan ganrang diberikan kembali, penari mulai mengayunkan kipas dari kanan ke kiri, atas ke bawah, mengarah ke empat mata angin.
Tari Paolle ditarikan oleh gadis berusia 10–15 tahun, yang secara simbolik dianggap belum aqil baligh atau belum mengalami menstruasi. Hal ini melambangkan kesucian serta kemurnian dari nafsu duniawi. Dengan demikian, pesan-pesan kebaikan yang dibawakan melalui tarian dianggap masih murni dan sampai kepada hakikatnya.
Di sisi lain, tata rias penari menggunakan bedak bayi tabur yang berfungsi memutihkan dan menghaluskan kulit. Hiasan kepala digunakan secara sederhana, bagi penari berambut panjang, rambut dicepol, sedangkan penari berambut pendek diberikan poni atau diarahkan ke samping. Riasan ini mencerminkan kesederhanaan dan menjauhi kemewahan.
Sedangkan busana yang digunakan berupa baju kurung hasil jahitan masyarakat setempat, dipadukan dengan lipa’ (sarung). Lipa’ dikenakan hingga menutupi jari-jari kaki, sejalan dengan etika berpakaian perempuan Makassar yang mengharamkan tampaknya mata kaki. Atasan berwarna merah dipilih karena mengandung makna perjuangan masyarakat melawan penjajah serta simbol keberanian dan karakter agresif masyarakat Makassar yang kuat dan tak mudah tunduk.
Di tengah arus modernisasi yang melanda, keberadaan Tari Paolle dalam tradisi Akkawaru menghadapi berbagai tantangan agar tetap lestari. Namun, berkat peran masyarakat adat dan tokoh budaya yang secara konsisten menjaga pelestariannya, baik melalui pelaksanaan upacara ritual secara berkala maupun pendidikan budaya kepada generasi muda, tradisi ini tetap hidup.
Dengan menjaga tradisi ini, masyarakat Bantaeng tidak hanya merawat warisan leluhur, tetapi juga memperkuat identitas budaya daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal. Nilai-nilai adat istiadat yang dikandungnya tetap relevan di tengah perkembangan teknologi dan kehidupan modern. Pelestarian dan pengenalan budaya kepada generasi muda menjadi upaya penting agar tradisi ini tidak terlupakan, melainkan terus menjadi bagian dari jati diri masyarakat Kabupaten Bantaeng yang kaya akan warisan adat dan istiadat leluhur.

Lahir di Bantaeng 28 Februari 2001. Bekerja di Aparatur Pemerintahan Desa Mappilawing. Aktif dalam suatu organisasi kepemudaan. Pernah menjadi asisten dosen di Universitas Teknologi Yogyakarta (2022). Gemar bermain games dan menonton anime. Menjadi salah seorang peserta Kelas Menulis Esai di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan Balla Literasi Indonesia Bantaeng.


Leave a Reply