“Tarian dalam dunia adat adalah bahasa tanpa kata, jejak para leluhur yang menari dalam denyut bumi, menyulam pesan di tiap gerak yang tak pernah lekang oleh waktu.”
Bantaeng, atau yang dikenal dengan sebutan Butta Toa, adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yang kaya dengan budaya dan tradisi. Salah satu kebanggaan budaya lokal yang saya temui dan kagumi adalah Tari Pajonga, sebuah seni tari yang tidak hanya memukau mata, tetapi juga sarat akan nilai-nilai filosofi dan sejarah.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dan pandangan pribadi tentang Tari Pajonga, yang pertama kali saya kenal saat menyaksikan Festival Butta Toa di Bantaeng.
Saya adalah seorang pendatang di Bantaeng. Setelah menikah pada tahun 2005, saya memutuskan untuk menetap di Bantaeng bersama suami. Kota ini menjadi saksi perjalanan hidup saya sebagai seorang istri, ibu dari empat anak, dan pendidik.
Seiring waktu, saya merasa semakin akrab dan menyatu dengan budaya lokal yang kaya dan unik. Salah satu momen yang sangat membekas dalam hidup saya adalah ketika menyaksikan Tari Pajonga untuk pertama kalinya di Festival Butta Toa.
Festival Butta Toa adalah ajang tahunan yang merayakan kekayaan budaya dan tradisi Bantaeng. Pada salah satu perhelatan tersebut, Tari Pajonga ditampilkan dengan megah oleh 200 siswa SDN 5 Lembang Cina yang menjadi peserta terbanyak. Pemandangan itu begitu memukau, penuh warna dan semangat. Saya merasa bangga dan kagum melihat betapa harmonisnya gerakan para penari yang diiringi musik tradisional yang khas.
Pengalaman ini membawa saya berkenalan lebih dalam dengan Tari Pajonga, melalui seorang teman mengajar sekaligus pelatih tari, Pak Edi. Beliau adalah sosok yang gigih dalam melatih dan mengarahkan para siswa, sehingga penampilan Tari Pajonga menjadi sukses besar. Dengan semangat dan kerja keras Pak Edi bersama rekan-rekan lainnya, Tari Pajonga mampu menjadi salah satu tarian andalan yang mengangkat nama Bantaeng di berbagai acara budaya.
Tari Pajonga adalah salah satu warisan budaya Bantaeng yang memiliki nilai sejarah dan filosofi tinggi. Kata “pajonga” sendiri merujuk pada makna keberanian dan kehormatan. Tarian ini awalnya diciptakan sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang lokal yang gagah berani melindungi tanah Butta Toa dari berbagai ancaman.
Gerakan tarian yang energik dan penuh semangat melambangkan keberanian, persatuan, dan dedikasi para leluhur terhadap tanah kelahiran mereka. Tari Pajonga juga menjadi simbol rasa syukur kepada Tuhan atas keberkahan yang diberikan kepada masyarakat Bantaeng. Filosofi ini tercermin dalam setiap gerakan penari, yang mengisyaratkan penghormatan terhadap alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta. Tarian ini biasanya dipentaskan dalam berbagai upacara adat, perayaan, dan acara budaya sebagai wujud pelestarian tradisi lokal.
Pada hari Senin, tepatnya tanggal 03 Maret 2025, kebanggaan terhadap Tari Pajonga kembali terasa kuat di hati kami. Murid-murid SDN 5 Lembang Cina mendapatkan kehormatan untuk diundang membawakan Tari Pajonga dalam acara penyambutan Bupati Bantaeng yang baru. Tentu, ini menjadi suatu kebanggaan besar. Acara ini berlangsung di halaman Kantor Bupati Bantaeng dengan semarak dan antusiasme para tamu dan peserta yang hadir. Momen ini tidak hanya membanggakan sekolah kami, tetapi juga menjadi bukti bahwa Tari Pajonga terus hidup dan diapresiasi dalam berbagai acara resmi pemerintahan..
Keterlibatan murid-murid kami dalam peristiwa budaya ini, tidak hanya menunjukkan bakat seni mereka, tetapi juga memperlihatkan semangat pelestarian budaya lokal yang terus kami tanamkan melalui pendidikan karakter di sekolah. Mereka tampil anggun, percaya diri, dan penuh semangat, mengenakan busana adat yang mencerminkan kekayaan budaya Bugis-Makassar.
Tari Pajonga bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi juga simbol penghormatan dan penyambutan yang penuh makna dalam budaya masyarakat Bantaeng. Tarian ini biasanya ditampilkan dalam penyambutan tamu kehormatan, termasuk pejabat tinggi, seperti Bupati. Maka dari itu, keterlibatan anak-anak dalam kegiatan ini menjadi momentum berharga untuk mengenalkan mereka pada nilai-nilai kearifan lokal.
Momen tersebut mengingatkan saya, bahwa pelestarian budaya bukanlah tugas orangtua atau pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama, terutama guru yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dengan terus memberikan ruang dan kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal dan mengekspresikan budaya lokal, saya yakin tradisi kita akan terus berkembang dan dihargai oleh dunia.
Kami sangat bersyukur atas kesempatan ini. Semoga pengalaman ini menjadi kenangan yang tak terlupakan sekaligus menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya sendiri sejak dini. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan mempercayakan anak-anak kami untuk tampil dalam momen bersejarah ini.
Ada beberapa hal yang membuat Tari Pajonga begitu unik dan istimewa. Pertama, kostum para penari yang penuh warna dan berhiaskan ornamen khas Bantaeng. Kostum ini mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Butta Toa.
Kedua, gerakan tarian yang dinamis dan penuh makna. Setiap gerakan dalam Tari Pajonga memiliki pesan tersendiri, mulai dari gerakan tangan yang lembut hingga langkah kaki yang tegas dan ritmis. Gerakan-gerakan ini mengisyaratkan kekuatan, keberanian, dan rasa syukur, sekaligus mencerminkan keharmonisan antara manusia dan alam.
Ketiga, musik pengiring yang menggunakan alat musik tradisional khas Sulawesi Selatan, seperti gendang, suling, dan gong. Alunan musik ini tidak hanya mengiringi tarian, tetapi juga memberikan nuansa magis yang memperkuat pesan budaya yang ingin disampaikan melalui Tari Pajonga.
Pelestarian Tari Pajonga menjadi salah satu tantangan besar di era modern ini. Namun, saya melihat adanya upaya yang serius dari berbagai pihak untuk menjaga kelangsungan seni tari ini. Pemerintah Kabupaten Bantaeng, melalui dinas kebudayaan dan pariwisata, secara rutin mengadakan festival budaya, seperti Festival Butta Toa, untuk menampilkan Tari Pajonga kepada masyarakat luas. Selain itu, sekolah-sekolah di Bantaeng juga berperan penting dalam melestarikan Tari Pajonga.
Sebagai guru di SDN 5 Lembang Cina, saya melihat bagaimana anak-anak diajarkan nilai-nilai budaya melalui seni tari, termasuk Tari Pajonga. Program pelatihan tari yang dilakukan oleh Pak Edi dan rekan-rekan lainnya, adalah salah satu contoh nyata bagaimana generasi muda diajak untuk mencintai dan melestarikan warisan budaya mereka.
Saya juga percaya bahwa pelestarian budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan institusi pendidikan, tetapi juga masyarakat secara umum. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai yang terkandung dalam Tari Pajonga dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Sebagai seorang pendatang yang telah menetap di Bantaeng selama hampir dua dekade, saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari masyarakat Butta Toa. Budaya lokal yang kaya, termasuk Tari Pajonga, telah memperkaya pengalaman dan wawasan saya sebagai seorang pendidik dan individu.
Saya percaya bahwa seni dan budaya memiliki kekuatan untuk menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang. Tari Pajonga adalah salah satu contoh bagaimana seni tari dapat menjadi jembatan antara generasi muda dan tradisi leluhur. Melalui tarian ini, saya belajar banyak tentang pentingnya menjaga identitas budaya, menghormati leluhur, dan melestarikan warisan budaya untuk generasi mendatang.
Tari Pajonga lebih dari sekadar seni tari. Ia adalah warisan budaya yang mengajarkan kita tentang keberanian, kebersamaan, dan rasa syukur. Dalam pandangan Islam, melestarikan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama adalah sebuah bentuk ibadah. Tari Pajonga mengajarkan banyak nilai positif yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti rasa syukur kepada Allah atas keberkahan-Nya, kebersamaan dalam mempererat ukhuah, dan penghormatan kepada para leluhur yang telah menjaga adat istiadat dengan baik.
Sebagai umat Islam, melestarikan tradisi ini juga menjadi wujud tanggung jawab kita dalam menjaga amanah yang diberikan Allah berupa kekayaan budaya. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, “Bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan menghormati.”
Tari Pajonga menjadi salah satu cara masyarakat Bantaeng menunjukkan identitasnya kepada dunia, tanpa melupakan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang pendidik, saya percaya bahwa mengenalkan budaya lokal seperti Tari Pajonga kepada generasi muda, merupakan salah satu cara untuk menanamkan rasa syukur dan cinta terhadap anugerah Allah. Semoga melalui tarian ini, kita dapat terus menyebarkan kebaikan, mempererat persaudaraan, dan mengingatkan diri kita akan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan.

Lahir di Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 05 Juli 1985. Ia meraih gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd). Merupakan pemegang sanad Al-Qur’an riwayat Ḥafṣ’an ‘Āṣim melalui jalur Asy-Syāṭibiyyah dengan gelar Certified Sanad Al-Qur’an (C.SQ). Saat ini, Irmawati mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SDN 5 Lembang Cina, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Selain mengajar, ia juga dipercaya sebagai penjaga perpustakaan sekolah. Di luar dunia pendidikan, Irmawati aktif dalam berbagai kegiatan kewirausahaan dan dakwah. Founder Qur’an, owner Nara Mart, dan menjabat sebagai Executive Director (ED) pada perusahaan HNI (Herbal Network Indonesia).


Leave a Reply