Di tengah kebisingan sosial, kecepatan dan persaingan tak luput dari pengamatan sehari-hari. Hal tersebut tak lepas dari gejala sosial. Tenaga manusia banyak digantikan oleh mesin, anehnya, manusia makin mirip mesin.
Terlebih lagi, pandangan hidup manusia tergerus oleh selera publik, dan kesempurnaan hidup disandarkan oleh perbendaharaan materi. Semangat berdasar kepuasan materi, mendorong manusia berlaku kompetitif, konsumtif, dan cenderung abai terhadap kepekaan sosial.
Bukankah cinta bagian paling profetik melekat dalam diri manusia? Namun, mengapa kepekaan kita telah lama terkubur, seolah hidup kita layak, padahal mengandalkan sesuatu yang tak layak?
Rentetan peristiwa mengharu birukan seantero negeri baru-baru ini. Menyadarkan, ternyata kepekaan kita telah lama mati. Tak sadar kita berjoget, menari-nari di atas derita manusia. Sontak, peristiwa tersebut memunculkan gejolak kemanusiaan. Atas peristiwa itu, membangunkan kesadaran baru, ternyata, telah lama kita minindas dan melindas semaunya. Kita telah lari dari kepekaan, dan menjadi pembunuh kepekaan itu sendiri.
Jarak sosial yang menganga saat ini, merupakan akumulasi dari ketidak solidaritasan kolektif sesama insan sosial. Menurut Ali Syariati, hilangnya solidaritas sosial diakibatkan oleh nafsu memiliki. Nafsu memilki yang tak terkendali mengakibatkan keserakahan. Hal ini tercermin dalam diri putra Adam, Qabil. Ia tega membunuh saudaranya, Habil, demi memuaskan nafsu memiliki.
Kesenjangan sosial yang kita rasakan saat ini, tiada lain akibat dari keserakahan. Orang yang berada di lingkaran ini, berusaha memupuk kekayaan dengan jalan menguasai jabatan-jabatan strategis, sebagai pintu masuk mengeruk kekayaan bumi, gunung, laut, hutan, dll.
Bagi kaum Serakahnomics, memiliki kekayaan dan kedudukan sosial, seperti menikmati surga dunia. Dalam sejarah manusia, setiap orang mempunyai perannya masing-masing. Ali Syariati mengambarkan bermacam peran manusia, seperti, Firaun penguasa zalim, Hamam cendekiawan penjilat, Bal’am ulama yang meninabobokan rakyat, dan Qarun si kaya yang serakah dan kikir.
Di sisi lain, manusia juga memainkan peran kenabian, seperti membela kaum tertindas dan cendekiawan pencerah masyarakat. Perihal di atas mewakili sifat Qabil dan Habil.
Manakala keserakahan terlembaga pada sistem negara, maka, hanya segelintir orang saja menikmati kekayaan. Winarno Zain, menulis di Jakarta Post, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dasa warsa terakhir, hanya dinikmati 20 persen penduduk. Sedangkan, pemusatan kekayaan negara dikuasai 10 persen orang terkaya, dan separauh aset negeri ini, dimiliki oleh 1 persen orang terkaya.
Alangkah jomplangnya, negeri gema ripah loh jinawi. Rakyat belum sepenuhnya merasakan kemakmuran, masih terdapat jutaan rakyat miskin, ditengah negara yang kaya, tetapi belum dirasakan sepenuhnya. Harga sebuah negeri, terlalu murah dikorbankan hanya untuk kaum Serakahnomics.
Ideologi serakah amat jelas bertentangan dengan prinsip keadilan. Perilaku tersebut, tak lain berasal dari keinginan yang terkendali dan nyaris tanpa batas.
Bukankah tiap yang berlebihan akan merusak keseimbangan? Ketegangan sifat keserakahan dan kesederhanaan memang ada dalam diri. Bukan tidak mungkin, sifat itu menjadi perilaku kolektif, jika hegemoni kaum serakah di beri kuasa mengurus negara.
Akumulasi nafsu memiliki yang berlebihan, melahirkan sikap haus kekuasaan. Segala cara akan ditempuh, agar kekuasaannya makin luas dan besar. Relasi keserakahan dan kekuaasan untuk memenuhi nafsu memiliki materi dan kedukakan sosial, terhimpun dalam wadah yang sebut oligarki. Kekuasaan dan kepemilikan berlebihan, adalah tujuan hidup mereka.
Keberpihakan negara terhadap kalangan Serakahnomics, apabila terwujudnya kerjasama penguasa dan pengusaha, keduanya berhimpun membentuk kelompok, tujuannya, tak lain menguasai seluruh sumber-sumber kekayaan. Tidak sedikit di negara-negara berkembang, kaum Serakahnomics tumbuh pesat. Sesama mereka saling menyokong, membagi hasil kekayaan yang mereka peroleh atas nama negara.
Negeri ini tak boleh kalah dengan kaum serakah. Tak pula harus menunggu mereka hilang di muka bumi. Tanggung jawab moral ada di tangan kita masing-masing. Tonggak keemasan negeri mesti dibangun sejak dini, jika ingin melihat generasi mendatang tercerahkan.
Membenahi hal besar, mesti berangkat dari hal sederhana. Mereformasi sistem, tak hanya soal merombak struktur, jauh lebih krusial dari itu, yakni memperbaiki kultur. Setiap dari kita mesti memiliki kesiapan moral. Ketahanan moral merupakan modal awal, bagi anak bangsa yang mengisi perannya di ruang-ruang sosial.
Sudah saatnya warisan pragmatisme diputus. Saatnya generasi baru tumbuh dengan kesadaran baru. Nilai-nilai profetik, seperti pengabdian menjadi kultur baru membangun sebuah negeri, tidak lagi berangkat dari pandangan pragmatisme, yang tujuannya memuaskan nafsu memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya.
Perang sebenarnya adalah perang budaya. Budaya mengabdi artinya, jauh dari mencari kekayaan tanpa batas. Bekerja beralas pengabdian, jauh pula dari orientasi memperkaya diri. Pengabdi kepada negara, adalah lawan dari orang-orang yang menghianati negaranya sendiri. Seorang pengabdi negara, tak rela melihat kekayaan negaranya hanya di kuasai sekolompok orang. Jiwa pengabdi memiliki kepekaan sosial yang tinggi, melebihi dirinya.
Memiliki jiwa pengabdi mesti ditanamkan sejak dini. Pendidikan merupakan sarana memupuk jiwa-jiwa pengabdian. Sudah saatnya, para pengurus negara mencanangkan budaya pangabdiaan (patriotisme) kepada generasi pelanjut.
Keberhasilan menanamkan jiwa patriotisme sejak dini, sama halnya, mempersiapkan pemimpin negeri masa depan. Sebaliknya, gagal menanamkan jiwa patriotisme, sama halnya menyerahkan negeri ini di tangan serakahnomics.
Kredit gambar: Kompas.com

Lahir di Kolaka, 16 April 1984. Aktif sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Desa. Sekarang bertugas di Kabupaten Bantaeng. Pernah mengikuti kelas menulis yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.


Leave a Reply