Kepada Kaum Pongah, Kaum Buruh Bisa Menggelincirkanmu

Tak elok sepelekan tuntutan kecil, sebab bisa menjungkalkan para pembual. Persis seperti batu kerikil, mampu menggelincirkan pejalan pongah. Kepongahan itu sebentuk warisan purba manusia, masih selalu mencari pengusungnya di kekinian. Dan, para penuntut akan menemukan tambang perjuangannya.

Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Bantaeng kembali merilis seruan aksi di depan Kantor DPRD Bantaeng, 8 September 2025. Menariknya, aksi ini didukung oleh elemen mahasiswa dan pemuda: HPMB Raya, HMI, PMII, GMNI, SEMMI, FMN, GP Ansor, dan AGRA. Hasilnya, pembentukan Pansus DPRD Bantaeng, didukung oleh enam fraksi, yaitu: PKB, Demokrat, PAN, PKS, PPP, dan Nasdem. Fraksi Golkar tidak hadir dalam rapat tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari aksi tersebut, Kamis, 11 September 2025, SBIPE kembali ke DPRD Bantaeng untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Sayangnya, RDP tidak quorum. Hanya segelintir anggota DPRD Bantaeng yang menyata. Plus, Direksi PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HANI), tak jua muncul hingga rapat ditutup. Pucuknya, kaum buruh yang berserikat dalam SBIPE, menyegel Kantor DPRD Bantaeng dan mendirikan posko pendudukan, hingga tuntutan dipenuhi.  

Bila direken-reken lalu disimpai setiap momentumnya, maka inilah aksi jilid 4. Berlangsung secara konsisten dan persisten. Ibarat buku, seruan kali ini sudah memasuki jilid 4. Adapun jilid 3 terkait pembentukan PANSUS, sementara jilid 2, di jalan poros Bantaeng-Bulukumba, persis di depan Kantor Bupati Bantaeng selama empat hari, 1-4 September 2025. Sedangkan jilid 1, lebih spektakuler lagi, serentang waktu bulan Juli, selama 16 harmal. Mereka “berkemah”, tidak sedikit buruh membawa serta keluarganya.

Sederet jilid aksi tersebut, bukan hadir tanpa perencanaan. Persisnya, di bulan Ramadan, Balang Institute menyelenggarakan diskusi dan buka puasa bersama, Jumat, 14 Maret 2025, bertema, “Masa Depan Pesta Adat Pa’jukukang di Tengah Bayang-Bayang Kiba”. Rupanya, di sawala tersebut, selain mempercakapkan perspektif budaya dan lingkungan, tak kalah mencuri perhatian terkait dengan ketenaga-kerjaan di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA).

Tampaknya, perkara buruh sudah terendus dalam perbalahan ini. Saya selaku salah seorang pemantik sawala, didapuk mengulik bayang-bayang KIBA yang mengancam kepunahan satu tradisi, ikut mengintimi perkara buruh. Dan, di momentum ini pula, secara resmi LBH Makassar meresmikan Posko Bantuan Hukum untuk buruh KIBA.

Mengintimi perkara buruh, terutama bila sudah terjadi penindasan terhadapnya, saya lalu teringat pada asumsi yang dikedepankan oleh Munir Said Thalib, lebih elegan disapa Cak Munir, pembela seorang buruh yang dibunuh, Marsinah, dan pegiat HAM yang wafat karena diracun. Asumsi Cak Munir dihangatkan kembali oleh seorang politisi PDIP, Adian Napitupulu, bahwa adanya biaya “siluman” yang membebani perusahaan, secara tidak langsung memperlemah posisi buruh dalam tuntutan upah layak.

Mengapa demikian? Adanya sistem biaya “siluman”, sebentuk biaya tersembunyi hingga 30% dari total biaya produksi, menyebabkan perusahaan kesulitan memberikan upah lebih layak kepada buruh, karena biaya-biaya tak resmi itu harus ditutup terlebih dahulu. Artinya, jatah yang semestinya ke buruh, dipangkas untuk memenuhi biaya siluman. Dan, inilah hambatan serius dalam memperjuangkan upah buruh yang lebih adil.

Lalu kemana biaya siluman itu bermuara? Didik J. Rachbini, seorang ekonom mengedepankan mindanya, “Porsi upah buruh sebenarnya bukan yang paling besar dari ongkos produksi. Justru yang lebih besar itu, biaya birokrasi, bayar ini itu yang siluman, dan nyogok sana nyogok sini.” Nah, saya perjelas Didik, benderangnya bisa berbentuk sogokan ke pejabat, pengamanan, dan elemen masyarakat.

Bagaimana jikalau perspektif Cak Munir dan Didik, saya jadikan lapik buat memotret sengketa antara kaum buruh dan PT Huadi? Sepertinya, ada benang merahnya dan juga jarum putihnya. Sebab, hingga kini, PT. Huadi tak kunjung menunaikan tuntutan buruhnya, berupa upah dan PHK.

Sinyal ketidakberesan hubungan antara buruh dan PT Huadi, boleh dibilang nyaris sejak dari awal hadirnya perusahaan. Ada baiknya kisanak dan nyisanak mengeja kembali esai dari Adam Kurniawan, di Paraminda.com, 13 Juli 2025, berjudul “Besok Buruh Demo Lagi”. Adam membeberkan bagaimana PT Huadi bukan saja merumahkan secara sepihak buruhnya, tetapi juga mencuri upah pokok dan upah lembur.

Boleh jadi hasil pencurian ini muaranya ke 30% untuk biaya siluman. Sebab, untuk menutupi biaya siluman, kaum buruh paling mudah disetel karena paling lemah posisinya di perusahaan. Waima seperti bayang-bayang saja, bila biaya siluman ini dipakai untuk sogok sana sini, entah itu pejabat, pengamanan, dan elemen masyarakat, maka tak heran pada akhirnya, tatkala buruh menuntut hak-haknya, mereka akan berhadapan dengan pejabat, aparat keamanan, dan elemen masyarakat.

Pejabat, aparat keamanan, dan elemen masyarakat yang mendapatkan biaya siluman, inilah yang mungkin karena statusnya, sehingga mendapatkan privilege dari perusahaan, menyebabkan mereka menjadi pongah. Saya lebih suka menyebut mereka yang mendapatkan keistimewaan itu sebagai kaum pongah.

Kepongahannya dipertontonkan dengan telanjang, tatkala memandang tuntutan buruh itu sebagai sesuatu yang remeh. Perusahaan pun akan menagih hasil biaya siluman kepada kaum pongah, agar menangani kaum buruh. Akibatnya di lapangan, berhadap-hadapanlah antara kaum buruh dengan kaum pongah. Fakta-fakta demonstrasi empat jilid tersebut, menunjukkan kaum pongah dengan kepongahannya menjadi lawan utama dari kaum buruh.

Sebagai pegiat literasi yang mengintimi perkara perjuangan buruh, saya hanya ingin menabalkan, bahwa prilaku kaum pongah terhadap kaum buruh, sebentuk penindasan nyata. Perusahaan mendelegasikan penindasannya kepada kaum pongah. Cukup dua alasan sederhana saya kemukakan, pertama, perusahaan menagih upah siluman. Kedua, kaum pongah masih ingin melanjutkan kepongahannya yang berbuah adanya biaya siluman.

Apa perjuangan kaum buruh yang berserikat dalam SBIPE akan berhasil? Entahlah. Namun, saya ingin memastikan, manakala ada penindasan, maka kaum tertindas akan selalu mencari jalan pembebasannya. Bukankah Rasulullah Muhammad saw. yang kita peringati kelahirannya di bulan Maulid ini adalah seorang messenger, utusan Allah, sebagai pembebas kaum tertindas (mustha’dafin) dari para penindas (mustakbirin)?

Rasulullah Muhammad menyatakan kepada para sahabatnya, ketika mereka mencari tempat terbaik untuk menemuinya, maka meluncur satu sabdanya, “Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok orang kecil di antara kamu.”

Orang-orang lemah dan orang-orang kecil yang ditindas dalam wajah kekinian, dapat saya pendapatkan wujudnya ada pada kaum buruh, yang sementara memperjuangkan hak-hak upahnya di hadapan perusahaan, sang pencuri upah pokok dan upah lembur, lalu dikawal oleh kaum pongah.

Wahai kaum pongah, mungkin engkau memenangkan segenap pertarungan dengan kaum buruh, tapi percayalah jalan panjang kaum buruh yang ditindas, bukan tak punya akar kesejarahan. Bila kaum buruh se-negeri Bantaeng bersatu, mereka akan tetap menggelincirkanmu, persis seperti kerikil menjungkalkan pejalan pongah. Bukankah pongah dalam melatai hidup dan kehidupan adalah sunyatanya ketergelinciran?  

  


Comments

2 responses to “Kepada Kaum Pongah, Kaum Buruh Bisa Menggelincirkanmu”

  1. Adam Kurniawan Avatar
    Adam Kurniawan

    perjuangan buruh dan segala bunyian-bunyian yang disajikan dengan khidmat di paraminda akan menjadi catatan sejarah, bahwa ada anak-anak negeri yang pernah berjuang sepenuh hati membela haknya

    1. Insyaallah Paraminda akan menjadi oase bagi para pejuang pena.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *