Dulu, dulu sekali, di tempat nun jauh, di tanah para nabi, ada sebuah kisah yang terus hidup dalam ingatan banyak orang.
Ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, api besar menyala-nyala, melahap kayu bakar yang menumpuk tinggi, seolah bumi akan hangus karenanya. Semua makhluk ketakutan. Tak ada yang berani mendekat.
Namun, di antara kerumunan itu, seekor semut kecil tampak tergopoh membawa setetes air di mulutnya. Melihat itu gagak tertawa, “Apa gunanya tetes airmu, semut? Api itu terlalu besar, tidak mungkin padam.” Semut menjawab dengan tenang, “Aku tahu air ini tidak cukup memadamkan api, tapi aku ingin menunjukkan keberpihakanku. Aku di pihak Ibrahim, bukan di pihak Namrud.”
Narasi semut itu sederhana, tapi menyimpan makna yang dalam. Di dunia yang penuh ketidakadilan, keberpihakan adalah sikap moral yang menentukan siapa kita sebenarnya. Kita bisa memilih netral, membiarkan api membesar, atau kita bisa, meski dengan langkah kecil, menunjukkan keberpihakan pada mereka yang lemah dan tertindas.
Di Bantaeng hari ini, kisah itu seolah hidup kembali. Menjadi puisi. Menjelma senjata. Kemarin-kemarin di jalanan kota, para buruh berkumpul, berorasi, dan mengibarkan spanduk. Hari ini tidak lagi, kantor dewan yang elitis itu mereka segel, bukan dengan kayu dan paku, tapi dengan spanduk dan kata-kata. Kecewa dan marah sudah tiba ubun-ubun. Rapat Dengar Pendapat (RDP) molor, anggota DPRD tidak quorum, dan aktor kunci yang diundang tak hadir. Mungkin sibuk. Mungkin takut. Entahlah. Akhirnya, gedung dewan berubah jadi posko buruh.
Kawan-kawan. Sudah lama sekali buruh menuntut hak pesangon yang tak kunjung dibayarkan setelah pemutusan hubungan kerja. Di balik tuntutan itu, ada keluarga yang bertahan di tengah ketidakpastian. Ada anak-anak yang harus diberi makan. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan luas, sering kali demo buruh dipandang sebagai pengganggu ketertiban, sekadar suara bising di ruang publik, hanya membikin macet.
Sikap ini mencerminkan satu fenomena sosial bernama bystander effect atau efek penonton pasif, sebuah teori yang dipopulerkan oleh Bibb Latane dan John Darley, psikolog sosial asal Amerika.
Gagasan ini menyatakan bahwa semakin banyak orang yang menyaksikan suatu ketidakadilan, semakin kecil kemungkinan mereka untuk turun tangan. Orang menunggu yang lain bergerak lebih dulu. Hasilnya, semua menjadi penonton yang pasif. Fenomena ini berbahaya karena diam di hadapan ketidakadilan bukanlah netralitas, melainkan bentuk keberpihakan pada penindas.
Dalam kasus buruh, sikap pasif masyarakat bisa memperlebar jurang ketidakadilan. Buruh yang sudah kehilangan pekerjaan kini juga kehilangan hak mereka. Mereka bekerja bertahun-tahun, membanting tulang demi perusahaan, tetapi saat waktunya tiba untuk mendapatkan hak dasar, yang mereka terima justru penundaan dan pengabaian. Di sinilah keberpihakan masyarakat diuji, apakah kita akan tetap diam, ataukah berani menunjukkan simpati dan solidaritas, sekecil apa pun itu?
Kawan-kawan, keberpihakan tidak selalu berarti turun ke jalan. Tidak mesti. Keberpihakan bisa berarti memberi ruang pada mereka untuk berorasi, atau menolak narasi yang menyudutkan mereka sebagai pengganggu ketertiban umum, bisa juga menuliskan dukungan sederhana di media sosial. Sama seperti semut yang membawa setetes air, keberpihakan kita mungkin tampak kecil, tapi ia memberi pesan yang kuat, ada yang sedang berjuang, dan kita tidak akan membiarkan mereka sendiri. Tidak sedetik pun.
Keberpihakan juga merupakan panggilan moral untuk menjaga martabat manusia. Buruh bukan sekadar tenaga kerja yang bisa diabaikan setelah dianggap tidak berguna. Mereka adalah manusia yang punya hak hidup layak, hak atas penghidupan yang adil, hak untuk diperlakukan dengan hormat. Ketika hak pesangon tak diberikan, bukan hanya uangnya yang terampas, melainkan rasa keadilan yang ikut terkoyak.
Sejarah mengajarkan, banyak perubahan besar lahir karena ada orang-orang yang berani berpihak pada yang lemah. Martin Luther King Jr. Dalam perjuangan hak sipil di Amerika, berani berkata bahwa, “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.” Ketidakadilan di satu tempat adalah ancaman bagi keadilan di semua tempat.
Ucapan ini lahir dari keberpihakannya pada kaum kulit hitam yang tertindas, dan dari keberpihakan itulah lahir perubahan besar bagi bangsa Amerika. Di kali lain, Luther King juga bilang, “In the end, we will not remember the word of our enemy, but the silence of our friends.” Bukan kata-kata musuh yang akan kita ingat, tapi diamnya teman kita.
Di Pakistan, ada Malala Yousafzai, ditembak karena menuntut hak pendidikan bagi anak perempuan. Ia bisa saja diam, menjadi penonton, dan melanjutkan hidup dengan selamat. Namun ia memilih berpihak, dan keberpihakannya menginspirasi dunia hingga membuahkan Nobel Perdamaian.
Di tanah air, kita mengenal kisah petani Kendeng yang menyemen kaki mereka sebagai bentuk protes terhadap perampasan lahan. Keberanian mereka berpihak pada tanah yang menghidupi, meski tampak kecil dan terisolasi, telah menyentuh hati banyak orang dan memaksa negara untuk mendengar.
Kisah-kisah ini meneguhkan pesan sederhana, bahwa tidak ada perubahan besar tanpa keberpihakan kecil yang konsisten. Semut yang membawa setetes air mungkin tampak sia-sia, tetapi ia mewakili keberanian untuk tidak netral di hadapan api. Ribuan tetes keberpihakan akhirnya bisa melahirkan gelombang yang meruntuhkan dinding ketidakadilan.
Hari ini, di Bantaeng, kita melihat wajah-wajah buruh yang berteriak menuntut hak. Pertanyaannya: apakah kita akan menjadi penonton pasif, menunggu orang lain untuk bertindak, menanti keadilan jatuh dari langit, ataukah kita berani menjadi semut yang sederhana tapi teguh berpihak? Memang benar, tidak ada satu tetes air yang bisa memadamkan api sendirian, tetapi ribuan tetes bisa menjelma banjir yang menenggelamkan kezaliman. Itulah people power.
Kawan-kawan, deretan kata-kata ini bukan ajakan untuk membenci perusahaan ataupun pemerintah, bukan sama sekali, melampaui itu, panggilan ini mengajak untuk melihat buruh sebagai manusia yang layak dihargai. Solidaritas kepada buruh adalah solidaritas kepada diri kita sendiri, sebab di masa depan, siapa pun bisa berada di posisi yang sama. Hari ini mungkin buruh, besok bisa jadi kita, menjadi lemah, ditindas, dan menunggu keberpihakan orang lain.
Seorang teolog Afrika Selatan, Desmond Tutu, pernah mengingatkan, “If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor.” Jika kita netral dalam situasi ketidakadilan, sesungguhnya kita telah berpihak pada penindas. Kalau seekor gajah menginjak ekor tikus dan Anda bilang Anda netral, tikus tidak akan menghargai kenetralan Anda, kata Desmon menganalogikan.
Kutipan tadi menutup lingkaran pelajaran dari semut, bahwa dalam demo buruh netralitas adalah ilusi, keberpihakan adalah kewajiban moral.
Maka, mari kita berani, sekecil apa pun, berpihak pada yang lemah. Sebab di dunia yang penuh dengan api ketidakadilan, kita butuh lebih banyak semut dengan tetes airnya. Berhentilah bersikap netral, ini bukan pemilu, Bos.

Guru PJOK dan pegiat literasi di Bantaeng. Penulis buku kumpulan esai, Jika Kucing Bisa Bicara (2021) dan anggota redaksi di Paraminda.com.
Leave a Reply