Tafsir Kiri Pemikiran Cak Nur atas Demo Buruh

Ah, saya lupa (lagi). Akhir bulan lalu, 29 Agustus 2025 adalah tepat 20 tahun Nurcholish Madjid—akrab disapa Cak Nur—berpulang. Sebulan sebelumnya, saya beberapa kali mengecek tanggal pasti wafatnya, guna menyiapkan tulisan, demi mengenang salah satu masinis pemikir pembaharuan Islam di Indonesia ini.

Saya baru ingat lagi, setelah menatap lemari buku, mata saya tetiba tertuju pada buku biru muda terbitan Kompas, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, karya Muhamad Wahyuni Nafis.

Kabar baiknya, andai tepat waktu, saya mungkin hanya akan merepetisi pemikiran Cak Nur, tak jauh-jauh dari yang pernah saya baca. Sekarang, setelah mengamati kondisi akhir-akhir ini, saya ingin melihatnya dari perspektif yang berbeda.

Di sini, di Bantaeng, sudah lama sekali cerita buruh tercetak di media. Mereka turun ke jalan, berbaris di bawah terik matahari, dengan poster dan toa, dengan harapan dan doa. Tuntutan mereka sederhana, bayarkan hak kami sesuai ketentuan! Tidak kurang, tidak lebih.

Sayang, suara itu kerap berakhir di depan pagar kantor bupati atau gedung dewan, tidak ada kepastian, kecuali bahwa hari ini mereka pulang dengan hampa (lagi).

Buruh kembali ke rumah dengan wajah letih, menemui anak istrinya yang ringkih, memeluk ibunya yang tekun menyuruhnya bersabar. Di balik semua itu terselip satu tanya getir, “Negaraku, engkau di mana? Pembayar pajakmu mencari.”

Menurut seorang kawan, salah seorang buruh yang di-PHK bercerita bahwa perawatan anaknya yang stunting terhambat akibat BPJS-nya tidak lagi tertanggung. Di kampungnya, banyak kasus serupa. Mungkin benar, di tanah ini, kebangkitan tak lebih dari slogan kampanye.

Fenomena ini membuat saya ingin menafsir pemikiran Cak Nur. Sebagaimana diuraikan Nafis pada bagian ketiga bukunya “Empat Strategi Pemikiran Cak Nur”, yaitu islam dan kemanusiaan, islam dan kemodernan, islam dan politik, dan islam dan keindonesiaan.

Bagi Cak Nur, Islam bukan hanya ritual, melainkan sumber nilai kemanusiaan, keadilan, dan peradaban. Islam selalu bersinggungan dengan problem kehidupan nyata, termasuk soal relasi sosial, politik, ekonomi, dan kebangsaan.

Lalu, bagaimana gagasan Cak Nur bisa kita tarik untuk membaca realitas pengisapan buruh di Tanah Tua ini?

Islam dan Kemanusiaan: Membela Buruh adalah Membela Kemanusiaan

Cak Nur berulang kali menekankan bahwa inti ajaran Islam adalah penghormatan terhadap martabat manusia. Ayat Al-Qur’an tentang laqad karramna bani adam (sungguh telah Kami muliakan anak Adam) menjadi landasan universal. Siapa pun, tanpa memandang kelas atau status, berhak diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Termasuk buruh!

Dalam konteks demo buruh, pengingkaran terhadap perjanjian kerja, penundaan atau pemotongan upah, hingga PHK sepihak, jelas bertentangan dengan prinsip keadilan ini. Empat belas abad lalu, Rasulullah saw. bahkan pernah mengingatkan, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Artinya, Islam sejak awal sangat perhatian terhadap nasib pekerja.

Sialnya, di sini, jangankan keringat, air mata buruh pun sudah kering, upahnya belum diberikan jua. Giliran diberi, hanya separuh pula.

Begitulah, bagi perusahaan buruh kerap dianggap sekadar roda produksi, bukan manusia dengan keluarga, mimpi, dan hak dasar untuk hidup layak. Integrasi Islam dan kemanusiaan yang ditawarkan Cak Nur memberi pesan jelas, bahwa membela buruh adalah melawan penindasan, membela buruh berarti menjaga nilai kemanusiaan yang menjadi ruh Islam itu sendiri.

“Islam adalah agama kemanusiaan… jalan baik itu disebut ‘menempuh jalan mendaki’ (al-‘aqabah), yaitu membebaskan ketertindasan orang-orang tertindas (mustadh’afin) serta memberi makan anak-anak yatim dan fakir miskin,” jelas Cak Nur sebagaimana dikutip Nafis dalam bukunya.

Islam dan Kemodernan: Modernitas yang Tuna Moral

Sebagaimana kaum Muslim klasik, kata Cak Nur, telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kamu Muslim saat sekarang juga dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (westernisasi).

Sudah lama Cak Nur mengajak umat Islam berdamai dengan modernitas. Baginya, Islam kompatibel dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tata kelola yang rasional. Modernitas bukan sekadar simbol gedung tinggi atau mesin canggih, tetapi juga spirit keadilan, keteraturan, dan penghargaan terhadap perjanjian.

Masalahnya, perusahaan modern di tempat kita berdiri, tempat buruh diperas keringatnya, yang tampak hanyalah kemodernan fisik, sementara perilaku tetap feodal. Perusahaan mengadopsi yang profan, mengabaikan yang sakral. Pabriknya megah, prinsipnya payah. Manajemen yang mestinya transparan justru penuh manipulasi. Kontrak kerja diabaikan, dan buruh diperlakukan seperti alat sekali pakai. Habis manis, sepah dibuang. Ini adalah modernitas yang tuna moral, teknisnya maju, etika mundur.

Melalui kaca mata Cak Nur, kita bisa melihat betapa pentingnya menyatukan Islam dan kemodernan, bukan hanya mengambil kemajuan teknologinya, tetapi juga menghidupi nilai-nilai moral yang membuat modernitas itu beradab. Dalam kasus buruh, modernitas yang sesuai dengan semangat Islam adalah sistem kerja yang jelas, perjanjian yang dihormati, dan kesejahteraan yang dijaga.

Islam dan Politik: Perjuangan Sosial sebagai Amal Saleh

Cak Nur pernah dikenal dengan ungkapannya yang terkenal: “Islam Yes, Partai Islam No.” Bukan berarti beliau menolak politik, tetapi ingin menegaskan bahwa nilai-nilai Islam jauh lebih penting daripada sekadar simbol partai.

Tahun 1971, ketika Cak Nur mendukung PPP dalam Pemilu, ia menggunakan istilah “memompa ban kempes” untuk melawan dominasi dan hegemoni partai Golkar. Menjaga keseimbangan kekuatan politik.

Politik bagi Cak Nur adalah ruang perjuangan etis untuk keadilan, bukan perebutan kekuasaan semata. Jika buruh berdemo menuntut haknya, itu bukan sekadar aksi ekonomi, melainkan tindakan politik yang sah. Mereka sedang memperjuangkan nilai-nilai keadilan yang sejalan dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam perspektif Islam, melawan kezaliman termasuk amal saleh.

Sayangnya, politik lokal sering abai. Alih-alih berpihak pada buruh, banyak kebijakan justru tunduk pada kepentingan pemilik modal.

Padahal, jika politik dijalankan sesuai dengan spirit Cak Nur, maka ia seharusnya menjadi arena untuk memperjuangkan keadilan sosial, termasuk bagi buruh. Dengan begitu, demonstrasi buruh tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat bahwa demokrasi masih hidup. Bahwa kebenaran masih hidup di kolong langit.

Mendukung buruh, berarti “memompa ban kempes”, melawan kesewenangan penguasa modal dan ketidakberdayaan pemerintah. Dan itu, saya ulangi, adalah amal saleh!

Islam dan Keindonesiaan: Buruh sebagai Wajah Pancasila

Salah satu gagasan terpenting Cak Nur adalah integrasi Islam dan keindonesiaan. Ia menolak pandangan bahwa Islam dan nasionalisme harus dipertentangkan. Baginya, menjadi Muslim yang baik sekaligus menjadi warga negara Indonesia yang baik adalah hal yang tak terpisahkan.

Bicara perihal buruh, sesungguhnya kita sedang bicara tentang Pancasila. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keduanya menegaskan bahwa perlakuan tidak adil terhadap buruh adalah pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa.

Dengan perspektif ini, Islam justru memperkuat keindonesiaan kita. Membela buruh bukan hanya kewajiban moral keagamaan, tetapi juga tanggung jawab kebangsaan, bahkan juga kerja budaya, sikapaccei.

Buruh yang sejahtera adalah wajah Indonesia yang beradab, sebaliknya, buruh yang ditindas menunjukkan wajah bangsa yang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Jadi, menjadi paradoks kemudian, jika di tanah ini kita terus bicara “kebangkitan”, tapi yang tampak justru wajah buruh yang bangkrut karena hak-haknya dirampas.

Walakhir, jeritan buruh seharusnya tidak berhenti di jalan-jalan, tidak berhenti di depan gedung dewan. Jeritan itu perlu masuk ke ruang kesadaran kita bersama. Di sinilah relevansi pemikiran Cak Nur, memberi kita kacamata untuk melihat bahwa perjuangan buruh bukan sekadar isu ekonomi, melainkan soal kemanusiaan, soal etika modernitas, soal politik keadilan, dan soal keindonesiaan yang kita cita-citakan.

Membaca ulang Cak Nur di tengah hiruk-pikuk demo buruh adalah ikhtiar agar Islam tidak berhenti pada simbol, tetapi hidup sebagai api pembebasan dan perlawanan. Nyala yang membuat kita sadar, bahwa buruh bukan sekadar tenaga kerja, melainkan manusia yang bermartabat. Bahwa pengisapan terhadap buruh adalah pengkhianatan terhadap Islam, terhadap Pancasila, dan terhadap kemanusiaan.


Comments

2 responses to “Tafsir Kiri Pemikiran Cak Nur atas Demo Buruh”

  1. Rusdi Kyoto ᬭᬸᬲ᭄ᬥᬶᬳᬦ᭄ᬲᬶᬬ᭄᭟ Avatar
    Rusdi Kyoto ᬭᬸᬲ᭄ᬥᬶᬳᬦ᭄ᬲᬶᬬ᭄᭟

    Sejauh apa tuntutan buruh ini dianggap telah atau akan mencapai idealnya kanda? Karena kita tau apa yg diperjuangkan buruh adalah narasi yang sejak lama digaungkan bukan narasi temporer yang mengikuti moment. Saat ini pemimpin negara sudah silih berganti, tp tuntutan buruh akan rasa “dianggap manusia” ini seakan belum mereka dapatkan bentuknya.

    1. Ikbal Haming Avatar
      Ikbal Haming

      Dalam konteks demo buruh di Bantaeng, yang “ideal” itu sederhana saja, penuhi tuntutannya, karena itu adalah hak mereka yang sejalan dengan regulasi.

      Sedang dalam spektrum yang lebih luas, sebenarnya beberapa kebijakan pemerintah sudah pro buruh, eksekusi di lapangan saja yang sering bermasalah. Hukum belum tegak betul.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *