Ada yang akbar dalam penampakan raganya, tapi kerdil jiwanya. Sebaliknya, amat kecil tampilan jasmaninya, tetapi akbar rohaninya. Small is beautiful, kecil itu indah. Dan, keindahan itulah cerminan akbarnya suatu objek.
Begitulah imajinasi saya, tatkala menyata selama 3 harmal di Desa Woitombo, Kecamatan Lambai, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Kehadiran saya, tiada lain atas undangan dari sang kepala desa, Muhammad Akbar, sebagai rangkaian Kemah Rakyat Woitombo, 15-17 Agustus 2025.
Ah, bagaimana jalan cerita safari saya ke Woitombo dan agenda perkemahan, sebaiknya kisanak-nyisanak, mengeja esai saya sebelumnya di Paraminda.com, berjudul “Dari Bantaeng ke Woitombo” dan “Woitombo: Kemah Rakyat Berparas Literasi”.
Kali ini, saya ingin mengulik keunikan Desa Woitombo dan kepala desanya, Akbar. Bagaimana Akbar mengakbarkan Woitombo lewat gerakan literasi berlapik desa. Serupa literasi desa untuk desa literasi. Sebentuk dinamika Woitombo yang bergerak menuju desa literasi.
Merujuk pada situs resmi, https://woitombo.digitaldesa.id/profil, dituliskan nama Woitombo berasal dari kata “woi” yang merujuk pada pengertian “air” dan kata “tombo” yang berarti “muncul/timbul” dalam bahasa Tolaki, sehingga secara keseluruhan diartikan sebagai “mata air”.
Terbentuknya Desa Woitombo dimulai pada tahun 1953. Semula masuk dalam wilayah Desa Lambai, Kecamatan Rante Angin. Namun, pada tahun 1963 terjadi peristiwa Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), dipimpin oleh Kahar Muzakkar di wilayah tersebut. Salah satu anggota DI/TII diangkat menjadi kepala kampung, yakni Muhammad Nurung untuk mengorganisir wilayah Desa Lambai.
Sosok Kahar Muzakkar sebagai pemimpin kelompok DI/TII di Sulawesi, memberi pengaruh yang besar terhadap sejarah masuknya orang-orang selatan ke wilayah tersebut. Awal mulanya, masyarakat Desa Woitombo dalam memenuhi kebutuhan karbohidratnya, bertumpu pada berbagai komoditas pertanian di antaranya ubi, singkong, sagu, dan pisang. Namun, pada tahun 1970, beras masuk dari selatan (Siwa-Wajo) dan ditransaksikan dengan menggunakan sistem pembayaran barter.
Hingga tahun 2006, terjadi pembentukan daerah otonom baru, dari Desa Lambai sebagai desa induk. Dengan demikian, terjadi perubahan tata kelola pemerintahan untuk pertama kalinya menjadi Desa Woitombo.
Di akhir tahun 2006, setelah Desa Woitombo resmi dimekarkan, jumlah awal penduduk terkonfirmasi sebanyak 90 orang berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Luas desanya sekitar 200 Ha persegi. Salah satu desa terkecil di Kolaka Utara. Jumlah penduduk 370 jiwa dengan rincian 113 kepala keluarga, terdiri dari 197 laki-laki dan 173 perempuan.
Sejak kedatangan saya hingga pulang ke Makassar, saya menyempatkan berbincang intim dengan sang kepala desa. Mulai dari kenangan-kenangan sejak saya sua pertama kali, sewaktu masih mahasiswa dan sering ke mukim saya, mengakrabi Paradigma Institute dan menggelandang bersama di Komunitas Papirus. Kedua komunitas ini saya dirikan sebagai bagian dari saya toko buku saya: Paradigma Ilmu dan Papirus.
Pasti lebih elok, manakala saya beberkan saja hasil percakapan intim, serta wawancara jarak jauh, terkait Akbar, bagaimana ia mengakbarkan Woitombo. Muhammad Akbar, lahir di Lambai, 16 Agustus 1986. Menghabiskan masa kecil sampai tamat SD di Lambai Kolaka Utara. Tiga tahun masa SMP-nya dilalui di Bontotiro Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.
Setamat SMP, dia kemudian hijrah ke Makassar. Menjalani kehidupan sebagai Taruna di SMK Penerbangan Hasanuddin Makassar sampai tamat. Dia memilih sekolah ini karena ia bercita-cita jadi pilot. Di masa-masa SMK ini mulai mengenal dunia literasi.
Di rumah dia mulai dikondisikan oleh sang Kakak, Jusbal, agar membaca. Setiap akhir pekan harus mempresentasikan resume bacaannya di hadapan sang kakak. Selain itu, di rumah juga wajib berbahasa Inggris. Alhasil, waktu luang sepulang sekolah dan hari libur sekolah, banyak dihabiskan di komunitas-komunutas bahasa Inggris. Benteng Panynyua English Club (BPEC) di Benteng Rotterdam, Al Markaz English Club (Makes) di Masjid raya Al Markaz, New English Webs (News) di UIN Alauddin, dan New Generation Club adalah salah empat dari komunitas tempat Akbar mengasah kemampuan bahasa Inggrisnya selama di SMK.
Waima Akbar merasa bahwa semua aktivitas itu dilakukan karena paksaan dari sang kakak, tetapi pada akhirnya di situlah ia menemukan kesanangan belajar yang sesungguhnya. Tiga tahun masa tarunanya dia lewati dengan sangat menyenangkan.
Usai lulus, sebetulnya dia ingin melanjutkan pendidikannya di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, setelah menguburkan cita-citanya untuk jadi pilot. Akbar menutup rapat-rapat cita-citanya itu, setelah sadar diri, ukuran badannya tidak memenuhi standar untuk profesi semcam itu.
Masa SPMB tahun 2004, dia memilih dua kampus. Hubungan Internasional sebagai pilihan pertama di Unhas dan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Makassar (UNM). Namun, setelah pengumuman, ternyata dia lulus pada pilihan keduanya di UNM. Akbar pun menyandang status mahasiswa Kampus Orange.
Kehidupan masa mahasiswa ini kembali dijalaninya dengan penuh riang gembira. Suka duka sebagai anak rantau dia jalani dengan hikmat. Petualangan yang bersentuhan dengan dunia literasi kembali dia lanjutkan. Begitu menyandang status sebagai mahasiswa, dia ikut perkaderan di HMI. HMI Dipo dan MPO, keduanya pernah diikuti masa perkaderannya. Meskipun setelahnya, dia lebih memilih mengahbiskan masa perkaderan dan perjuangan mahasiswanya di HMI MPO.
Menurut Akbar, di HMI MPO-lah ia banyak mengenal sosok-sosok pencinta buku. Bukan hanya sekadar kutu buku yang menghabiskan waktu di kamar atau perpustakaan-perpustakaan kampus. Tetapi, pembaca-pembaca yang juga hadir langsung bersama kelompok-kelompok marjinal atau terpinggirkan, dan tidak segan mengangkat TOA menyuarakan ketidakadilan kepada penguasa.
Ia mendakukan nama-nama mentornya: Kak Asran Salam, Kak Sabara Nuruddin, Kak Alto Makmuralto, dan terutama guru para suhu di HMI MPO Makassar, Kak Sulhan Yusuf.
Dari mereka-merekalah kemudian, Akbar banyak mengenal komunitas-komunitas epistemik yang membentuk kecintaannya pada pengetahuan dan gerakan literasi. Sebutlah Paradigma Institute, Komunitas Papirus, Rausyan Fikr, dan Lentera Makassar. Dan satu lagi lembaga, amat penting dalam membentuk cakrawala berpikir dan nilai-nilai kehidupan yang diyakininya: Yayasan Al Muntazar.
Selain di HMI dan komunitas-komunitas epistemik itu, jiwa sosialnya juga terbentuk dari pengalamannya mendampingi anak-anak jalanan dan komunitas marginal, melalui komnitas Sekolah Tanpa Batas (STB). Lewat STB, Akbar melakoni pendampingan ke anak-anak jalanan di sekitaran lampu merah Ujung Pettarani, Telkom. Anak-anak nelayan di Barombong, anak-anak pesisir di sekitaran Pantai Keppe Pinrang, bahkan sempat diajak berbagi pengalaman dengan anak-anak di jejaring STB di Bone Selatan.
Ternyata kebahagian hidup akbar dapatkan lewat kegiatan berbagi ini. Dan dari jejak-jejak gerakan itu pulalah, Akbar sampai meyakini bahwa pendidikan itu adalah jalan perubahan terbaik, dan lewat gerakan literasilah pintu masuknya.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 10 tahun di Makassar, Desember 2011 Akbar memilih pulang ke tanah kelahiran, Lambai Kolaka Utara. Februari 2012 dia menikahi pujaan hatinya, Jumriati Hasan, salah seorang kader HMI di kampus lokal Kolaka Utara.
Setelah menikah, Akbar memilih melakoni profesi sebagai guru Bahasa Inggris di lembaga kursus yang ia dirikan sendiri. Selain mengajar di kursus, Akbar melanjutkan kegiatan berbagi yang pernah dilakoninya di Makassar. Dia memilih Desa Raoda, sebuah desa pegunungan di Kec. Lambai, yang pada saat itu masih terisolir dari jaringan GSM apalagi internet, serta akses jalannya masih sangat sulit.
Di desa Raoda ini Akbar bersama 3 orang rekan lainnya menggerakkan Literasi. Lewat Pembelajaran bahasa Inggris, sebagai aktivitas belajar utamanya, dia mengaktifkan perpustakaan desa. Bahkan, kegiatan parenting dan aktivasi kelompok tani juga dilakukan.
Setiap 3 hari dalam seminggu (Jumat-Minggu) Akbar menghabiskan waktunya di sana. Mengajar, bertani, dan mengorganisir karang taruna desa. Aktivitas ini dia lakoni sampai 2015 di desa tersebut.
Sejak 2015, Akbar menjadi Pendamping sosial lewat Program Keluarga Harapan Kemensos RI. Lewat program ini, Akbar bisa berinteraksi langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat miskin dan rentan se-Kec. Lambai. Dari interaksi itu pula Akbar semakin kuat keyakinannya bahwa pendidikan formal dan literasi itu, merupakan dua hal yang tak boleh terpisahkan. Ketika terpisah, maka tidak mengherankan bakal menuai tamatan-tamatan sekolah menengah, bahkan perguruan tinggi yang tetap akan marginal secara ekonomi maupun sosial.
Akbar malakoni profesi sebagai pendamping sampai dia terpilih menjadi kepala desa pada Desember 2019. Januari 2020 dia resmi dilantik menjadi Kepala Desa Woitombo, Kec. Lambai. Berangkat dari jejak-jejak aktivitas yang membentuk keyakinan value hidupnya, dia memilih literasi sebagai fokus program di desanya. Meskipun program itu harus tertunda sampai hampir 3 tahun akibat covid-19 untuk mengeksekusinya secara maksimal.
Kiwari, paling tidak ada dua penanda akbar di Woitombo, pertama, hadirnya Perpustakaan Desa Woitombo, sebentuk perpustakaan desa terbesar di Indonesia Timur. Anggaran pembagunan perpusdesnya dari Dana Desa. 2 tahun anggaran. Tahun 2021 sekitar 270 jutaan dan tahun 2023 sekitar 390 juta. Semua dari Dana Desa (dana transfer dari pusat). Kedua, agenda tahunan serupa Kemah Rakyat Woitombo, sudah memasuki tahun kelima. Sekotah pendanaannya disandarkan pada Dana Desa Woitombo.
Mengintimi sosok Akbar mengakbarkan Woitombo, saya teringat dengan beberapa kepala desa di negeri kelahiran saya, Bantaeng. Para kepala desa yang masih tergolong muda, penuh inovasi dan pro gerakan literasi dalam membangun sumberdaya manusia desanya. Pun, mereka mengakbarkan desanya, walau tak bernama Akbar, tetapi akbar jiwanya.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.
Leave a Reply