Gelombang keresahan rakyat kini tak lagi bisa dipendam. Amuk massa yang kian sering pecah di berbagai daerah adalah tanda bahwa kesabaran publik menipis.
Kemarahan itu bukan sekadar letupan spontan, melainkan akumulasi trauma panjang akibat dikhianatinya janji demokrasi. Di ruang kesadaran publik tersimpan luka senyap: partai politik di negeri ini tak lagi menjadi rumah rakyat, melainkan kerajaan kecil yang dikuasai oleh segelintir elit bahkan oleh lingkar keluarga tertentu.
Akibatnya, kepercayaan terhadap partai politik terjun bebas, sementara desakan untuk mempercepat pemilu menggema di tengah kecemasan bahwa pemilu justru hanya akan melahirkan ulang lingkaran oligarki yang sama.
Padahal, secara filosofis, partai politik diciptakan untuk menjadi pilar demokrasi. Ia hadir sebagai wahana artikulasi kepentingan rakyat, jembatan antara negara dan warga, serta sekolah politik bagi kader yang berintegritas. Dalam teori klasik demokrasi, partai politik adalah instrumen perwujudan kedaulatan rakyat.
Namun di Indonesia, filosofi luhur itu telah menyimpang. Partai politik lebih sering menjadi kendaraan pribadi, alat tawar-menawar elit, atau perpanjangan tangan modal raksasa. Sirkulasi kekuasaan bukan lagi cermin aspirasi rakyat, melainkan agenda tersembunyi keluarga dan kelompok yang melayani kepentingan modal besar.
Kenyataan ini mudah dilihat, meski sulit dijelaskan dengan bahasa sederhana. Publik menyaksikan langsung bagaimana keputusan-keputusan besar bangsa kerap mengikuti jejak kepentingan ekonomi-politik para pemodal. Partai yang seharusnya menjadi rumah rakyat menjelma istana feodal dengan benteng yang sulit ditembus.
Begitu seorang kandidat berhasil melangkah ke parlemen, ia segera berubah status menjadi bagian dari kasta baru: kasta elit yang berhak menikmati fasilitas, protokoler, dan berbagai kemewahan. Partai politik melempangkan jalan lahirnya liberalisme dengan rasa feodalisme.
Dampaknya, software pemikiran rakyat ikut rusak. Demokrasi yang seharusnya mengangkat martabat warga, justru memantapkan kesadaran kelas yang timpang. Publik merasa dirinya hanya “sudra” dalam pabrik demokrasi yang digerakkan partai politik.
Mereka terbiasa melihat wakil rakyat naik mobil mewah, sementara di pelosok desa guru honorer yang mengajar generasi penerus bangsa masih menerima gaji tak seberapa. Perbandingan ini memilukan: gaji pokok seorang anggota DPR RI bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan, ditambah tunjangan dan fasilitas, sementara banyak guru di pelosok hanya memperoleh honor setara beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Padahal, separuh lebih guru di Indonesia masih berada dalam kategori nonpegawai negeri yang rawan eksploitasi.
Jika dibandingkan dengan Swedia, ketimpangan itu semakin telanjang. Di sana, anggota parlemen memang menerima gaji tinggi, tetapi guru—bahkan yang mengajar di daerah terpencil—mendapat penghasilan yang terhitung layak dan sebanding dengan peran strategisnya. Sistem mereka menempatkan pendidikan di posisi terhormat, bukan sekadar formalitas. Perbandingan ini menunjukkan bagaimana demokrasi di Indonesia telah menciptakan piramida kelas yang justru bertolak belakang dengan semangat kesetaraan.
Lebih jauh, partai politik telah menormalisasi praktik politik uang. Rakyat diajak berpesta setiap lima tahun, namun pesta itu hanya menjadi ajang pembagian remahan materi dari para calon yang diusung partai. Alih-alih memuliakan kedaulatan rakyat, pemilu berubah menjadi ritual legitimasi bagi keberlangsungan oligarki. Rakyat pun makin terbiasa menganggap wajar bahwa kursi politik harus ditebus dengan ongkos besar, dan wajar pula bahwa setelah berkuasa, elit politik hidup dalam limpahan fasilitas. Inilah lingkaran setan yang membuat demokrasi kita kehilangan jiwa.
Di titik ini, wajar jika muncul pertanyaan tajam: mungkinkah demokrasi tanpa partai politik? Sejarah mencatat, ada eksperimen demokrasi non-partai di beberapa negara kota dan komunitas kecil, namun hampir selalu gagal dalam skala besar. Artinya, partai politik memang tak tergantikan, tetapi kehadirannya harus terus dievaluasi. Tanpa koreksi fundamental, partai politik hanya akan menjadi instrumen yang melanggengkan kuasa modal dan feodalisme modern.
Oleh sebab itu, evaluasi total partai politik di Indonesia adalah kebutuhan mendesak. Demokrasi tak boleh terus dibiarkan melahirkan jurang sosial yang kian lebar. Reformasi partai politik adalah kunci untuk mengembalikan makna sejati demokrasi: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tanpa itu, demokrasi hanya akan tinggal nama, sementara rakyat terus menjadi penonton setia dalam panggung megah yang dimainkan oleh segelintir elit dan oligarki.
Rakyat sudah lama sabar memberi rasa percaya, juga waktu, kepada partai politik. Kini sudah datang waktunya untuk memberikan teguran keras. Segeralah berbenah sebelum rakyat merasa tidak perlu mekanisme demokrasi yang di dalamnya ada partai politik semacam yang saat ini ada.
Kredit gambar: Kompasiana.com

Lahir di Kasambang, Sulbar, 19 April 1973. Doktor Interdisipliner Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Bekerja sebagai dosen, peneliti, dan penulis. Mengajar di Universitas Cokroaminoto Makassar, Universitas Paramadina Jakarta, Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Anggota Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) dan Indonesia Environmental Scientists Association (IESA). Koordinator Riset ICC Jakarta. Terakhir, Dosen Universitas Nasional, Direktur Eksekutif Poros Pemikiran dan Partisipasi Publik Indonesia (P4I).
Leave a Reply