Dunia Sandiwara

Teknologi adalah budak yang dapat diandalkan, tetapi majikan nan keji.” (Desi Anwar)

Algoritma digital di era post truth kian mengalihkan perhatian khalayak. Penyebaran berita, opini, tulisan, dst, seakan mengalami semacam pedangkalan makna. Cirinya, validitas kebenaran menyesuaikan dengan selera umum.

Di era digital sekarang ini, sekotah paradoks tampak nyata. Sesuatu yang jauh menjadi dekat, yang dekat jadi jauh. Digital mengubah kebersamaan jadi kesendiriaan, kesedirian jadi kebersamaan. Dunia maya menjadi nyata, yang nyata jadi maya, bahkan kebenaran menjadi palsu, dan palsu jadi kebenaran.

Kiwari, dunia digital sedang membentuk budayanya sendiri. Berbagai tren bisa kita saksikan. Setiap orang bisa melakukan apa saja, agar personanya jadi perhatian publik. Adapun yang tampak, tak lagi memandang kualitas, apalagi makna dibalik pedampakkan. Setiap orang bebas berekspresi, guna mendapat pridikat viralitas.

Baru-baru ini, seorang bocah mengais sisa makanan dari peserta upacara HUT kemerdekaan Indonesia, mendadak viral di media sosial. Berselang waktu, setelah viral, para petinggi negeri tak mau ketinggalan. Respon cepat dilakukan, menyambangi mukim si bocah, memberi simpati atas tindakan si bocah. Pejabat itu ikutan viral, atas tindakan simpatinya. Warganet menyaksikan kecerdasaan seseorang memanfaatkan algoritma media sosial.

Tren viral sedang menerungku kehidupan nyata. Fenomena ini makin kentara, seiring terus bertambanya pengguna media sosial. Pemanfaatan media sosial dianggap sangat efektif meningkatkan citra diri. Alhasil, jika ingin memilki citra diri di tengah pergaulan sosial, cara gampangnya, memanfaatkan algoritma media sosial.

Dunia maya dan nyata, seakan terhijabi oleh pencitraan. Keduanya memiliki validitas masing-masing. Meski tampak berkelindan, keduanya tak bisa dipadukan. Definitnya, bagunan citra diri di media sosial, tidak mencerminkan realitas nyata. Setiap orang bisa membangun citra dirinya di media sosial, namun, media sendiri tidak pernah setia, kecuali perihal yang dianggapnya laku.

Bisa saja, hari ini media memuja seseorang yang sedang viral. Beberapa waktu kemudian, seorang yang diidolakan itu, ramai-ramai diberitakan sebagai orang yang dinistakan. Sihir media sosial, membuat orang hidup laksana panggung sandiwara. Seolah-olah ingin menegaskan validitas masing-masing, meski tidak demikian kenyataannya.

Para petinggi negeri tak mau ketinggalan. Upaya mencitrakan diri, tak lepas dari aktivitas kerjanya. Makin banyak  berinteraksi di media sosial, peluang meraup popularitas makin besar pula. Kecakapan menggunakan media sosial, bagi seorang petinggi negeri hingga rakyat jelata, sedang tren saat ini. tak khayal, di dunia maya tak lagi mengenal strata sosial.   

Baru–baru ini viral, seorang petinggi negeri bisa terlihat baik di media sosial. Sepanjang waktu, khalayak menyaksikan aksinya di layar gawai. Berusaha menarik perhatian orang,  membantu banyak orang, utamanya, masalah yang melilit kaum buruh dengan majikannya. Keberpihakannya pada buruh, membuat dirinya di kenal banyak orang di media sosial. Hatinya bak malaikat, suka menolang tampa pamrih.

Selang waktu berlalu, dirinya kembali viral, tapi, tidak dengan aksi heroiknya. Sekarang, dirinya sedang terjerat kasus pemerasaan, setelah, tertangkap tangan oleh aparat anti rasuah. Seketika itu juga, publik tertipu dengan laku baiknya. Faktanya, dirinya selalu terlihat baik, namun, sesunggunya lakunya amat culas.    

Peritiswa itu makin menegaskan, media sosial hanyalah alat semata, manakalah sesuai dengan selera umum, maka dipuja-puji. Sebaliknya, ketika ketahuan bertentangan dengan pandangan umum, ramai-ramai akan dihinakan.

Peran media sosial bagi masyarakat umum, setidaknya memberi ruang kebebasan berekspresi. Di era digital, sudah sering kita saksikan, warga biasa mampu mencuri perhatian publik, hanya dengan bermodal kamera biasa. Lalu, disebar di media sosial. Akhirnya, rekaman yang sebar jadi viral.

Aktivitas dunia digital, khususnya  di media sosial mengambarkan kehidupan absurditas. Kebermaknaan, tidak dipandang lagi sesuatu yang esensi, melainkan, kecanggihan manusia merekayasa opini lewat media sosial. Kehilangan makna di era digital, dapat di lihat dari kecenderungan pengguna media sosial mendramatisir peristiwa. Motifnya pun macam-macam, tergantung tujuan yang ingin dicapai.

Kebutuhan akan media sosial mendorong penggunanya mencari keperluan dan informasi yang diinginkan. Tak cukup kecakapan menggunakan media sosial, kearifan jauh lebih penting, sebagai filter objektivitas kebenaran dunia digital. Kesadaran literasi digital perlu didorong sebagai bahan edukasi bagi warganet. Tayangan dan informasi di media sosial, sudah selayaknya cernah, sebelum ditelan mentah-mentah. Dengan mengunakan analisis media sosial, secara langsung, kita jadi tahu segala kepalsuan di media sosial.       
       
Digitilasasi merupakan etape peradaban yang tak bisa ditolak. Keberadaannya menembus batas wilayah, tak  ada batas kota dan desa di dunia digital, tak ada pula batasan usia bagi penggunanya. Masifnya dunia digital, banyak orang yang memanfaatkan untuk penghidupan. Apa pun dampak dari dunia digital, maka, manusia sendiri yang menentukan pengaruhnya. 

Literasi digital, dengan sendirinya, membangun kesadaran publik. Kesesuaian peristiwa dan kebenaran dapat diuji dengan kemampuan manusia menganalisis. Kemampuan analitis yang mendalam dengan sendirinya akan menemukan realitas sebenarnya. Kebermanfaan dunia digital akan lebih dirasakan, jika nilai kejujuran dan edukasi lebih dikedepankan, ketimbang  kepalsuan dan sandiwara.        

Kredit gambar: Ngopibareng.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *