Pesan Leluhur Bantaeng; Teako Ngondangi Butta

Suatu siang yang hangat di Kota Bantaeng, sambil menyeruput kopi di sebuah warung sederhana, saya terlibat obrolan mendalam bersama Muhammad Yunus; seorang pemuda energik yang dalam beberapa tahun terakhir banyak menghabiskan waktunya berinteraksi dengan masyarakat pedesaan.

Pria kelahiran Lamalaka, Bantaeng ini termasuk kategori pemuda yang gelisah terhadap nilai-nilai leluhur yang perlahan mulai tergerus zaman. Karena itu, ia bertekad menjadi penyambung lidah bagi warisan kearifan yang nyaris terlupakan itu.

Dari obrolan itu pula, saya pertama kali mendengar sebuah pesan filosofis yang menggugah: “Teako ngondangi butta, punna eroko salama.” Jangan mengejar tanah warisan, kalau ingin selamat.

Pesan ini berasal dari bahasa Makassar Bantaeng dan mengandung kedalaman makna yang jauh melampaui urusan materi. Ia bukan sekadar nasihat, melainkan refleksi hidup yang berakar kuat dalam budaya dan spiritualitas masyarakat setempat.

Bagi leluhur masyarakat Bantaeng, tanah bukan sekadar objek warisan, melainkan simbol asal-usul dan akhir kehidupan. Manusia memang tidak lahir bersama tanah, tetapi berasal darinya, dan kelak raganya akan kembali menyatu dengan tanah.

Tanah tidak hanya menjadi saksi bisu bagi kehidupan sebuah bangsa dan negara, tetapi juga keluarga, bahkan tidak jarang dimaknai sebagai tempat bersemainya kenangan dan jejak para leluhur. Karenanya, mengejar tanah warisan dengan cara yang serakah bukan hanya merusak hubungan antar saudara, tetapi juga mencederai nilai-nilai sakral yang melekat padanya.

Kata “salama” dalam pesan tersebut tidak hanya bermakna keselamatan fisik, tetapi juga kedamaian batin, keharmonisan sosial, dan kelestarian hubungan kekeluargaan. Dalam konteks ini, pesan tersebut mengajak kita untuk menimbang ulang: apakah harta yang diperoleh sepadan dengan luka yang ditinggalkan?

Konflik warisan; terutama soal tanah, sering kali menjadi titik awal keretakan keluarga. Persaudaraan yang dibangun puluhan tahun bisa runtuh hanya karena sepetak tanah.

Pesan ini menjadi peringatan bijak: jika menuntut hak justru merusak ikatan, lebih baik melepaskannya demi keselamatan jiwa dan hubungan. Olehnya itu, “siri‘ (harga diri), pesse/pacce (empati), dan lempu (kejujuran) bukan sekadar perisai moral dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, tetapi juga cerminan kesadaran akan batasan diri.

Ketiga nilai luhur ini menjadi penuntun dalam bertindak, termasuk dalam hal mengejar warisan. Bila dilakukan dengan cara yang tidak etis, maka berarti telah mengingkari nilai-nilai tersebut.

Mungkin karena itu, siri’ bukan hanya soal martabat pribadi, tetapi juga tentang menjaga kehormatan keluarga. Jika pesse/pacce mengajarkan kita untuk merasakan penderitaan orang lain, maka lempu menuntun kita untuk berlaku jujur dan adil.

Pesan ini juga mengingatkan kita akan bahaya keserakahan. Dalam masyarakat tradisional, tamak bukan hanya cacat moral, tetapi juga ancaman sosial. Ia bisa memicu konflik, dendam, bahkan kekerasan. 

Karena itu, pesan di atas tidak lebih sebagai ajakan untuk menahan diri, bersikap bijak, dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, terlebih di era modern, ketika hukum dan dokumen menjadi penentu hak.

Pesan seperti ini mengingatkan bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan secara legal-formal. Ada ruang etika dan spiritual yang tak kalah penting.

Menuntut hak warisan memang sah secara hukum. Namun, jika niat dan cara yang dilakukan melanggar nilai-nilai luhur, maka keselamatan sejati bisa terancam.

Pesan ini bukan berarti kita harus pasrah atau mengabaikan hak, tetapi mengajak kita untuk menimbang dengan hati: apakah perjuangan itu membawa kedamaian atau justru luka?

Dari secangkir kopi siang bersama Muh. Yunus, saya belajar bahwa kearifan tidak selalu datang dari buku-buku tebal atau ruang seminar. Ia bisa muncul dari obrolan santai, dari suara kampung, dari pesan-pesan leluhur yang sederhana namun dalam.

Teako ngondangi butta, punna eroko salama” bukan hanya nasihat tentang warisan, tetapi tentang bagaimana kita menjaga warisan yang paling berharga: kedamaian dan hubungan antarmanusia.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *