Divyannisa Isvara Gauri: Cahaya Kecil yang Menyalakan Perlawanan

Hari ini, 27 Agustus 2025, seorang anak perempuan berulang tahun ke lima di Bantaeng. Namanya Divyannisa Isvara Gauri.

Nama yang kalau disebut, orang bisa mengira sedang membaca mantra dari kitab kuno: “perempuan suci yang bercahaya, penguasa seperti dewi Gauri.” Bukan main. Saya dan ibunya, Wahdat Mustika Wangi, memang sengaja memberi nama sebesar itu, supaya kelak dunia tak bisa seenaknya menindasmu.

Apa gunanya nama kalau hanya jadi hiasan di akta kelahiran? Maka kami berharap, Divy, kau tumbuh dengan isi yang sepadan dengan namamu. Hidup ini memang tak selalu manis seperti permen yang sering kau sembunyikan di balik bantal. Hidup kadang pahit, getir, bahkan kerap menampar sebelum sempat kau berkedip. “Terasa’na lino” kerasnya dunia sudah menunggu di depan lorong rumah.

Tapi tenanglah, Nak. Lorong-lorong itu pula yang sedang mengajarimu. Di situlah kau berlari, jatuh, bangkit, tertawa, menangis, lalu berlari lagi. Dunia memang keras, tapi anak lima tahun yang masih bisa tertawa meski lututnya berdarah, itulah bukti bahwa manusia sejak kecil sudah dibekali daya tahan. Tinggal bagaimana kita merawatnya agar tak hilang ditelan usia.

Kulitmu sao matang seperti Ambo’mu, tanda bahwa tanah ini menempel erat di tubuhmu. Matamu bulat indah seperti ibumu, bola pimpong yang bisa memantulkan dunia. Kau adalah percampuran yang ganjil sekaligus indah: separuh keras kepala dari ayahmu, separuh cahaya lembut dari ibumu.

Divy, kelak kalau kau bisa membaca tulisan ini, mungkin kau akan tersenyum geli. Apa betul hidup itu seserius yang ditulis Ambo’? Kau mungkin akan protes: bukankah hidup juga sederhana, asal bisa main kejar-kejaran, makan es lilin, lalu tidur siang? Benar, Nak. Tapi dunia orang dewasa seringkali gemar membikin susah. Orang-orang yang duduk di kursi empuk suka lupa bahwa mereka dulu juga anak-anak yang pernah jatuh dari sepeda. Maka, jadilah engkau pengingat: bahwa hidup bisa lebih sederhana, asal tidak dirusak keserakahan.

Kami hanya punya doa dan cinta. Tapi itu terlalu klise kalau berhenti di situ. Maka kami titipkan juga satu hal: perlawanan. Bukan perlawanan dengan tangan terikat amarah, tapi perlawanan dengan cahaya. Lawanlah segala bentuk ketidakadilan yang hendak memadamkan tawa anak-anak. Lawanlah kebisuan yang membuat orang kecil tidak terdengar. Lawanlah rasa takut yang membuat manusia berhenti bermimpi.

Sebab kalau cahaya padam, apa lagi yang tersisa?

Nak, jangan salah paham. Kami tidak ingin kau tumbuh jadi manusia yang tegang, muka keriput sebelum waktunya, hanya karena sibuk melawan. Kau tetap harus bermain, tertawa, jatuh, dan bangkit. Justru dari situlah kau belajar cara melawan tanpa kehilangan keriangan. Orang dewasa sering keliru: mengira bahwa melawan berarti kehilangan senyum. Padahal melawan yang sejati justru harus lahir dari cinta yang riang.

Jadi, Divy, besarlah dengan riang. Lompo ko nai, anak. Jadilah besar bukan hanya dalam tubuh, tapi juga dalam hati. Kalau dunia menamparmu, balaslah dengan tawa yang membuat dunia kebingungan. Kalau dunia meremehkanmu, buktikan bahwa cahaya kecil dari lorong perumahan bisa lebih terang dari lampu gedung pencakar langit.

Selamat ulang tahun kelima, cahaya kecil kami. Jangan takut pada terasa’na lino. Kau sudah punya modal: kulit sao matang, mata bola pimpong, nama yang bercahaya, dan cinta tak terbatas dari kami. Itu sudah cukup untuk menyalakan perlawanan, bahkan ketika dunia mencoba memadamkanmu.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *