Kampung saya dulu tidak punya konser musik. Hiburan malam hanyalah suara jangkrik dan, kalau beruntung, suara sapi tetangga yang melenguh panjang.
Lenguh sapi itu, kalau direnungkan, memang sudah seperti puisi eksistensial. Nadanya serupa ratapan orang yang digiring nasib. Nah, siapa sangka, ada sebuah lagu tua berjudul, “Donna Donna”, yang menjadikan sapi malang itu sebagai tokoh utama: anak sapi yang diikat, diangkut ke gerobak, dan digiring menuju rumah jagal.
Di atas sana, burung-burung terbang bebas. Sapi hanya bisa menunduk. Burung bisa memilih arah angin. Sapi? Satu-satunya arah hanyalah ke pisau jagal.
Kalau kita bercermin, bukankah hidup kita sering persis sapi itu? Kita diikat dengan kontrak kerja, digiring oleh aturan perusahaan, dan digantungkan pada janji-janji yang lebih halus daripada tali tambang. Kita manut, sebab katanya demi kebaikan bersama. Padahal, kalau digali, kebaikan bersama itu sering berarti kebaikan bos dan kerugian kita yang tetap disembunyikan di balik kata “perjanjian.”
Mari tengok ke Bantaeng. Buruh PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia sedang menapaki jalan sapi “Donna Donna”. Mereka harus rela “dirumahkan” tiga bulan dari Juli sampai September, dengan catatan: kalau perusahaan membaik, mereka dipanggil lagi. Kalau tidak, ya lanjut saja jadi sapi yang sabar menunggu giliran. Semua ini sah, sebab ada perjanjian bersama, sebuah tali resmi yang menjerat leher buruh.
Ada pula buruh yang memilih jadi burung. Mereka bilang: “Sudahlah, PHK saja. Lebih baik bebas, mencari rejeki di langit lain.” Tapi ternyata burung pun dipermainkan. Perusahaan hanya mau memberi pesangon 0,5% dari ketentuan. Itu ibarat burung yang dilepas, tapi sayapnya dipotong separuh. Ironisnya, perusahaan masih beroperasi, masih mengolah nikel, masih mengantongi keuntungan. Tapi burung dianggap tamak hanya karena minta pakan yang seharusnya memang haknya.
Sialnya, sapi dan burung di sini sama-sama celaka. Sapi tetap di kandang, burung tetap dipermainkan. Seolah-olah pilihan hidup hanyalah: ditusuk pelan-pelan di rumah jagal atau kelaparan di langit.
Tapi bukankah ini potret kita semua? Orang kota yang kerja kantoran juga sapi: bangun pagi, terjebak macet, kerja sampai sore, pulang dengan wajah mirip kambing kurban. Anak muda yang mencoba jadi burung, buka usaha sendiri, jualan kopi, bikin konten, sering jatuh ke tanah lebih cepat dari waktu cicilan motor. Semua sistem dirancang agar kita lupa bahwa kita bisa memilih.
Tentu, perusahaan akan bilang semua ini demi “stabilitas.” Seperti kalau orang kampung bilang: sapi jangan dibiarkan bebas, nanti masuk kebun orang. Padahal sapi cuma ingin makan rumput. Begitu juga buruh. Mereka tidak minta istana, tidak minta saham. Mereka hanya ingin mengisi piring, membayar listrik, menyekolahkan anak. Itu saja. Bukan mau merampok gudang perusahaan.
Tapi entah kenapa, setiap kali buruh minta haknya, jawabannya selalu sama: “Perusahaan rugi, kasihan dong kalau dituntut.” Ini mirip alasan bapak-bapak yang tidak mau bayar utang di warung: “Bukan saya tidak mau bayar, Bu, tapi keadaan sedang sulit.” Bedanya, warung kecil bisa bangkrut kalau semua orang ngutang. Sementara perusahaan nikel masih nyala tungkunya, asap masih keluar, keuntungan tetap ada, yang sulit hanya untuk buruhnya.
Di titik ini, lagu “Donna Donna” jadi makin relevan. Ia bukan lagi tentang sapi dan burung dalam imajinasi Yiddish. Ia tentang buruh yang diikat perjanjian, digiring kebijakan, dan dipermainkan aturan.
Kepada kawan-kawan buruh, pilihan itu memang pahit. Mau jadi sapi yang diam di gerobak? Atau jadi burung yang terbang meski sayapnya dipotong? Tapi sejarah selalu digerakkan oleh burung-burung yang berani melawan. Sapi hanya jadi sate di perayaan panen.
Lalu bagaimana nasib kita? Mungkin tidak ada jawaban mudah. Tapi satu hal pasti: rumah jagal selalu menunggu.
Dan burung, setidaknya, mati di langit.
Kredit gambar: Boddo.id

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.
Leave a Reply