Kelaparan dan Kemerdekaan: Menguji Arti Merdeka Saat Perut Kosong

Ada paradoks yang getir, sebuah bangsa dapat merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita, namun di sudut-sudut sunyi masih ada perut yang keroncongan. Apakah kemerdekaan cukup diukur dari kedaulatan politik, bendera, lagu kebangsaan, dan pemerintahan sendiri, jika warganya tak bebas dari rasa lapar? Pertanyaan ini bukan sekadar retorik: ia menantang definisi kita tentang “merdeka”.

Sebagian dari kita mungkin mengira kemerdekaan itu terutama “bebas dari” penjajahan. Tapi ada dimensi lain yang tak kalah penting, “bebas untuk” hidup bermartabat, belajar, bekerja, mencipta, beribadah, dan tentu saja makan dengan cukup. Di titik ini, kelaparan bukan sekadar masalah gizi; ia adalah pembusukan sunyi atas kebebasan.

Isaiah Berlin membedakan wajah kebebasan. Kebebasan negatif, bebas dari paksaan, dari intervensi eksternal. Kebebasan positif, kapasitas riil untuk mewujudkan hidup yang diinginkan. Kelaparan merusak keduanya sekaligus. Orang yang lapar mungkin secara formal “bebas” memilih, namun pilihan itu hampa. Di sinilah Amartya Sen, Filsuf India menjadi relevan, kesejahteraan bukan hanya soal pendapatan, melainkan kapabilitas; kemampuan nyata seseorang untuk  melakukan dan menjadi sesuatu.

Hak suara menjadi kosong bila seseorang tak memiliki energi untuk berdiri di bilik TPS. Hak pendidikan menjadi slogan bila anak-anak pingsan di kelas karena sarapan tak ada. Sen juga menunjukkan bahwa bencana kelaparan sering bukan akibat kekurangan produksi pangan nasional semata, melainkan gagalnya hak kepemilikan dan akses. Orang tak memiliki jalan untuk mengklaim makanan, karena kehilangan pekerjaan, runtuhnya harga hasil panen, atau pasar yang kaku. Maka, kemerdekaan yang hanya menambah produksi tanpa memperbaiki akses bisa saja gagal menghilangkan lapar.

Filsuf Amerika, Martha Nussbaum menguatkan ini dengan daftar kapabilitas sentral: kehidupan, kesehatan, integritas tubuh, imajinasi, afiliasi, kontrol atas lingkungan material dan politik. Lapar meredam semuanya, dari kemampuan berkonsentrasi hingga keberanian mengemukakan pendapat. Singkatnya, bebas lapar adalah syarat dasar dari bebas berpendapat.

Mari bedah beberapa simpul kelaparan: produksi, cuaca ekstrem, degradasi tanah, benih mahal, ketergantungan input impor, dan lemahnya permodalan petani kecil membuat produksi rapuh. Namun, produksi yang naik pun bisa tak menyentuh mulut yang lapar bila simpul-simpul lain macet, seperti distribusi, jalan rusak, logistik mahal, rantai dingin terbatas untuk protein segar, dan tataniaga bertingkat membuat harga di konsumen melambung, sementara harga di petani nelayan rendah.

Asimetri pasar menyakiti hulu dan hilir sekaligus. Akses, pengangguran, upah rendah, pekerjaan informal, serta guncangan (harga beras naik, ikan berkurang karena musim, kesehatan mendadak menelan tabungan) menutup akses. Di sini kerja jaminan sosial dan skema bantuan menjadi penyangga penting. Lapar menggerus harga diri. Frantz Fanon, Psikiater Prancis berbicara tentang luka kolonial pada jiwa. Di konteks kontemporer, rasa malu karena tak mampu memberi makan keluarga menciptakan “kolonialisme batin” yang membungkam.

Sedang bagi Paulo Freire, pembebasan dimulai dari menyadari bahwa kemiskinan dan kelaparan bukan takdir, melainkan konstruksi sosial yang bisa diubah.

Kemerdekaan Substantif: Ketika Hak Formal Menjadi Nyata

Konstitusi, undang-undang, dan perjanjian internasional menegaskan hak atas pangan, bukan sekadar belas kasihan. Namun, hak formal perlu diubah menjadi kemerdekaan substantif lewat kebijakan yang membuat orang benar-benar mampu memperoleh makanan bergizi, tanah yang bisa diakses, pekerjaan yang layak, harga yang wajar, layanan kesehatan dan sanitasi, pendidikan gizi, serta lingkungan yang menopang produksi.

Dengan kacamata kapabilitas, agenda anti-lapar bukan “membagi beras” semata. Ia ekosistem dari reforma agraria fungsional sampai infrastruktur pascapanen, dari perlindungan nelayan hingga asuransi gagal panen, dari diversifikasi pangan lokal sampai perbaikan data yang presisi.

Demokrasi yang sehat memerlukan informasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Kelaparan kerap bertahan di ruang-ruang yang sunyi dari data dan kritik. Ketika statistik gizi buruk tak transparan, ketika keluhan petani ditepis sebagai “noise”, ketika diskursus pangan disederhanakan menjadi perang tagar, demokrasi kehilangan sensor rasa atas perut rakyat.

Sebaliknya, partisipasi warga, musyawarah desa, koperasi produsen-konsumen, komunitas dapur umum saat krisis menghidupkan demokrasi dari bawah. Hannah Arendt menyebut politik sebagai ruang tindakan bersama. Mengakhiri lapar adalah tindakan politik paling elementer; mengusahakan kondisi agar hidup bisa dijalani bersama.

Kelaparan tak netral gender. Ketika pangan terbatas, perempuan sering makan paling akhir dan paling sedikit. Beban ganda; mengurus rumah, mencari nafkah, dan merawat anak, membuat perempuan menanggung dampak gizi dan kesehatan yang lebih berat. Pada saat yang sama, intervensi yang menempatkan perempuan sebagai pengelola pangan rumah tangga, akses kredit mikro, dan pelatihan pascapanen, sering menghasilkan multiplier effect bagi seluruh keluarga.

Kelaparan juga menanamkan biaya antar generasi. Anak yang kekurangan gizi mengalami hambatan kognitif dan kesehatan jangka panjang. Ini bukan hanya tragedi personal, tetapi kerugian produktivitas nasional yang mengontradiksi tujuan kemerdekaan: memerdekakan potensi setiap anak bangsa.
Siapa yang bertanggung jawab? Negara menjamin hak atas pangan, merawat cadangan, menstabilkan harga, membangun irigasi, pelabuhan perikanan, gudang, dan data.

Pasar memobilisasi inovasi, efisiensi, dan investasi, namun butuh aturan main agar kompetisi tak berubah menjadi ekstraksi. Komunitas menjaga kearifan lokal; pangan alternatif, pola tanam, lumbung desa, koperasi, yang sering lebih resilien saat krisis.

Perdebatan ketahanan pangan vs kedaulatan pangan jangan dibenturkan secara dogmatis. Ketahanan menekankan ketersediaan, akses, stabilitas, dan kualitas. Sedang kedaulatan menegaskan hak menentukan sistem pangan sendiri, melindungi produsen kecil, dan keberlanjutan ekologi. Keduanya bisa bertemu, ketahanan yang berdaulat: cukup, terjangkau, adil, dan sesuai ekologi-lokal.

Teknologi bukan mantra, tapi alat digitalisasi rantai pasok, marketplace hasil panen, sensor kelembaban tanah, peramalan cuaca, sampai blockchain untuk ketertelusuran, semua berguna, asalkan memecahkan masalah nyata: biaya logistik, asimetri informasi, dan kebocoran. Agroekologi: rotasi tanaman, pupuk organik, diversifikasi; membuat sistem lebih tangguh menghadapi iklim. Namun, teknologi tanpa kelembagaan (koperasi, regulasi harga, perencanaan wilayah) ibarat mesin tanpa kendaraan.

Menolong yang lapar adalah kebajikan. Tetapi menghapus kelaparan adalah keadilan. Belas kasih bisa terputus, keadilan menuntut struktur; pajak yang progresif dan efektif, belanja publik yang tepat sasaran, tata niaga yang adil, dan penegakan hukum terhadap penimbunan serta manipulasi pasar. Dalam etika publik, pertanyaan kuncinya, apakah kebijakan ini memperluas kapabilitas mereka yang paling rentan? Jika ya, ia selaras dengan tujuan kemerdekaan. Jika tidak, ia hanya retorika.

Bayangkan sebuah desa pesisir. Nelayan bangun sebelum fajar, kembali siang hari, tetapi harga ikan jatuh saat puncak tangkapan, es mahal, jaringan dingin terbatas. Di hulu, petani menjemur gabah di bahu jalan karena pengering minim, saat panen raya, harga anjlok, saat paceklik harga melejit. Di kota, buruh harian, ketika sakit, kehilangan upah dan daya beli. Semua ini bukan anekdot acak, ini peta kecil dari ekosistem pangan yang rapuh.

Solusinya bukan satu peluru perak, melainkan orkestra kebijakan dan aksi warga; koperasi nelayan dengan kapal berpendingin; pengering surya terjangkau di sentra padi; kontrak pembelian dengan harga dasar; dapur komunitas ketika bencana; dan data terbuka agar publik mengawasi stok, harga, dan realisasi program.

Jaring pengaman sosial yang adaptif; bantuan pangan/nontunai yang responsif harga dan musim; integrasi dengan data kependudukan dan kesehatan. Reforma agraria fungsional, memberi kepastian lahan bagi petani kecil dan akses permodalan, prioritas untuk produksi pangan lokal yang beragam. Infrastruktur pascapanen dan logistik: pengering, gudang, cold chain, jalan tani, pelabuhan perikanan; memangkas susut dan biaya transport.

Diversifikasi pangan lokal; sorghum, sagu, umbi-umbian, jagung, hasil laut; kurikulum gizi dan kampanye resep lokal bergizi. Tata niaga yang adil;  batas marjin wajar, transparansi harga, fasilitasi kontrak petani-pedagang, dan pemberantasan kartel/penimbunan. Proteksi nelayan dan petani; asuransi gagal panen/laut, subsidi premi, informasi cuaca real-time, tempat pelelangan yang fair. Pendidikan gizi dan kesehatan masyarakat; air bersih, sanitasi, layanan kesehatan ibu-anak; memperbaiki gizi tanpa menyalahkan budaya. Tata kelola data; dashboard publik stok-harga-produksi; audit independen; partisipasi kampus/komunitas dalam pemantauan. Agenda ini harus diikat oleh anggaran yang berpihak dan akuntabilitas. Tanpa itu, ia tinggal poster.

Koperasi pangan, menghubungkan produsen lokal dengan konsumen urban dalam skema langganan. Lumbung pangan dan dapur komunitas; aktif sepanjang tahun, siaga saat bencana/kenaikan harga. Kebun pangan rumah/komunitas; sayur, tanaman protein nabati sederhana bukan solusi total, tapi bantalan psikologis dan ekonomi. Gerakan anti-pemborosan pangan; redistribusi surplus restoran/toko; edukasi penyimpanan bahan segar. Kelas gizi praktis, menu hemat-bergizi, teknik memasak yang menjaga nutrisi, fokus pada kenyang dan sehat.

Kita kerap puas dengan input berapa ton beras, berapa miliar disalurkan. Padahal yang penting hasil, apakah angka kekurangan gizi turun konsisten antar wilayah? Apakah ketimpangan harga (gap hulu-hilir) menyempit? Apakah pendapatan petani/nelayan naik dan stabil? Apakah ketergantungan pada satu komoditas berkurang melalui diversifikasi? Apakah partisipasi warga dalam musyawarah pangan meningkat? Transparansi indikator membuat publik bisa menilai, kemerdekaan kita bertambah atau stagnan.

Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari rantai, ia adalah kemampuan mencipta hari esok. Orang lapar hidup dalam ke-“kini-an” yang memaksa, fokusnya bertahan hari ini. Ketika perut kenyang dengan layak, imajinasi terbangun, orang mulai merancang usaha, belajar keterampilan, merencanakan masa depan anak. Pangan adalah bahan bakar imajinasi sosial.

Karena itu, memerangi kelaparan adalah bentuk tertinggi patriotisme sehari-hari. Bukan heroisme sesaat, melainkan kerja panjang memperbaiki sistem agar setiap orang, tanpa kecuali, punya ruang untuk tumbuh. Di sini, kemerdekaan berhenti menjadi kata benda dan berubah menjadi kata kerja: memerdekakan.

Akhirnya, kemerdekaan yang kita cita-citakan adalah kemerdekaan yang menyentuh meja makan. Ia terasa pada harga yang wajar, sayur yang segar, ikan yang mudah diakses, piring anak yang berisi, dan senyum petani/nelayan yang tak lagi cemas menutup musim.

Kita telah merdeka di atas kertas. Tugas generasi ini, memastikan kemerdekaan itu mengenyangkan, dalam arti harfiah maupun batiniah. Saat itulah barangkali kita bisa mengatakan dengan jujur, kita bukan hanya bangsa yang merdeka, tetapi juga bangsa yang memerdekakan dari lapar.

Kredit gambar: Liputan6


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *