17 Agustus: Merdeka dari Apa, untuk Apa?

Kata Anhar Gonggong, 17 Agustus 1945 itu bangsa Indonesia merdeka. Sehari setelahnya, 18 Agustus, barulah negara ini ditegakkan lewat rapat PPKI. Kalau mau diibaratkan, 17 Agustus itu seperti keluar dari rahim, masih merah, masih bau ari-ari. 18 Agustus itu saat bayi diberi nama, akta, dan harapan hidup panjang.

Tapi sekarang, delapan puluh tahun kemudian, kemerdekaan sering kita rayakan seperti pesta ulang tahun orang yang belum tahu mau ngapain dengan hidupnya. Kita sibuk panggil MC, pasang panggung, bikin lomba, tapi lupa: setelah tiang bendera dibongkar dan cat merah putih di jalan mulai pudar, apa yang berubah?

Di mana-mana, 17 Agustus diisi lomba gerak jalan. Dari SD, SMP, SMA, sampai pegawai kantor lurah dan pegawai kantor camat. Panjang rutenya kadang lebih panjang dari rencana pembangunan daerah. Panjat pinang, makan kerupuk, tarik tambang, semuanya heboh. Tapi jujur saja, lomba ini sering lebih mirip “kompetisi siapa paling pandai memoles masalah jadi hiburan” daripada momentum membangun kesadaran.

Kita melatih anak-anak untuk memenangkan piala plastik, tapi tidak melatih mereka memperbaiki jalan yang berlubang di depan sekolah. Kita ajarkan mereka untuk menghafal lima sila, tapi tidak mengajari cara membedakan mana proyek yang bermanfaat dan mana yang cuma akal-akalan kontraktor. Kita marah jika bendera dipasang terbalik, tapi diam saja ketika APBD dibelanjakan terbalik prioritasnya.
“Bendera terbalik cepat dibetulkan, APBD terbalik cepat dilupakan.”

Padahal, nasionalisme yang sehat lahir dari keberanian menghadapi masalah nyata. Anak-anak bisa diajak diskusi soal korupsi bukan cuma definisi di buku, diskusi bahwa kejahatan itu yang membuat pupuk hilang dari petani dan jatuh ke pengepul. Soal jalan rusak bukan cuma gangguan lalu lintas, tapi penghambat ekonomi. Soal banjir bukan cuma “bencana alam”, tapi akibat kita malas mengurus saluran air.

Sayangnya, pejabat lebih suka lomba gerak jalan daripada gerak cepat. Lomba panjat pinang lebih menarik daripada memanjat data kemiskinan. Pidato kemerdekaan lebih panjang daripada daftar solusi. Dan rakyat sering kali terhibur saja, karena setidaknya tahun ini hadiahnya lumayan.
“Hadiah lomba habis sehari, masalah desa awet setahun.”

Filosofi kemerdekaan kita kadang terjebak di kulitnya. Kita pandai menghafal “merdeka adalah hak segala bangsa”, tapi lupa bahwa hak itu juga berarti tanggung jawab. Kalau cuma teriak “merdeka!” tanpa mau repot menyelesaikan masalah, itu namanya bukan nasionalisme itu karaoke sejarah.

Yang lebih menggelikan adalah bagaimana 17 Agustus jadi panggung pencitraan. Pejabat duduk di tenda VIP, kipas angin berdiri di kiri-kanan, sambil sesekali melambaikan tangan. Kamera wartawan sibuk mengambil gambar. Esoknya, foto itu diunggah ke media sosial dengan caption penuh semangat kebangsaan, seolah bangsa ini akan maju hanya dengan senyum di depan lensa.
“Senyum di foto memang gratis, tapi solusi masalah harganya mahal sekali.”

Kita lupa, kemerdekaan bukanlah kosmetik untuk wajah negara. Ia adalah otot, urat, dan tulang yang harus dilatih dengan kerja keras, bukan dirias dengan kegiatan seremonial.

Sekarang, coba kita tanya ke diri sendiri: setelah 80 tahun merdeka, kita ini melahirkan generasi yang peka masalah, atau generasi yang pintar bikin proposal lomba? Kita punya pemimpin yang membongkar akar masalah, atau pemimpin yang hanya membongkar kardus hadiah lomba?

Merdeka itu bukan bebas dari penjajah saja. Merdeka itu bebas dari mental “yang penting ramai”, bebas dari birokrasi yang gemar rapat tapi alergi eksekusi, bebas dari APBD yang terserap 100% tapi masalah tetap 100%. “Serapan anggaran tinggi bukan berarti otak pejabat ikut naik.”

Kalau mau jujur, bangsa ini tidak kekurangan lomba. Yang kita kekurangan adalah lomba siapa yang paling cepat memperbaiki jalan sebelum musim hujan. Lomba siapa yang paling transparan mengelola anggaran. Lomba siapa yang paling berani menolak suap. Itulah lomba yang benar-benar membangun nasionalisme.

Jadi, ketika kita mengibarkan bendera tahun ini, mari kita pastikan itu bukan cuma backdrop foto pejabat. Mari kita tanya: kita ini merdeka dari apa, dan untuk apa? Sebab kalau kita tidak tahu jawabannya, jangan-jangan kita cuma merdeka di kalender, tapi masih terjajah di kepala.

Karena, seperti kata pepatah entah dari mana, “Negara yang lupa evaluasi hanya akan merayakan kemerdekaan sampai lupa kenapa dulu ia berjuang.”


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *