Dingin subuh masih menggelitik telapak kaki, bebauan masakan merebak, mendobrak pintu kamar yang tengah rapat. Di luar jendela, matahari belum sepenuhnya tinggi, tapi dapur di rumah sudah lebih dulu menyala. Seperti biasa, ibu telah lebih dulu bangun, menyiapkan bukan hanya sarapan, tetapi juga energi untuk seluruh penghuni rumah.
Di rumah, ada keheningan yang khas setiap pagi. Tetapi bukan sepi yang hampa, kira-kira begitu. Angin mengantar suara-suara khas masuk ke telinga: suara gemerincing wajan, denting sendok dalam cangkir, hingga suara talenan dipukul pisau.
Di sana, iya di sana, di tempat yang lelangitnya kelam, disesaki asap tanpa rehat. Dindingnya ramai tancapan paku, tempat memajang wajan tua yang kusam tak karuan. Panci yang bentuknya tak lagi simetris, hingga sekantong asam jawa, turut menggantung berdesakan di sana. Itulah dapur.
Sempat saya pikir, sebujur ruang itu hanya punya peran tunggal: tempat memasak. Lamun lambat laun, saya mengafhumi, dapur menadah sesuatu yang tak mudah diurai. Ia bukan hanya sebagai tempat mengolah bahan mentah sebelum disajikan, tapi ia serupa ruang teduh, tempat ternyaman mengusap peluh.
Dapur kami memang tak luas (untuk tidak mengatakannya sempit), namun, ajaibnya di situlah saya merasa amat dekat dengan orang di rumah. Tempatnya terbatas, di belakang pula, tapi dari sana, banyak cerita yang mengalir.
Kadang saya duduk di sana, tanpa ujud apa-apa. Hanya ingin dekat, atau sekadar ingin tahu apa yang sedang dimasak. Entah ibu, kakak, atau siapa pun di sana. Sambil menguliti bawang merah atau mengadon nasi jagung, ibu sesekali bercerita. Tentang muridnya di sekolah yang bandel, tentang bagaimana kuliah saya, atau tentang cengkeh di kebun yang mulai berbunga.
Cerita-cerita yang tak pernah bertunas di ruang tamu, yang lebih mirip ruang dinas itu. Atau di ruang keluarga, yang saban hari masih ada, namun, kini telah beralih tempat ke telepon genggam kita. Yah, ruang keluarga dalam rupa grup WhatsApp. Hanya di sini (di dapur), di sela uap dan letupan minyak goreng, cerita-cerita itu menemukan jalannya.
Di dapur, saya sering menatap keahlian ibu, menilik caranya memasak. Ia tak pernah melihat resep, juga jarang menghitung dengan pasti, takaran gula atau garam pada masakannya. Tapi tangannya tahu, kurang dan lebihnya tiap sajian yang ia bikin.
“Ini makanan yang sering nenekmu masak untuk kita (keluarganya) dulu,” ucap ibu sembari mencicipi sayur tuttu’ yang ia masak, kala itu. Saya tak pernah bersemuka dengan nenek, tapi tahu-tahu merasa mengenali dan dekat dengannya.
Tempat ini juga, yang mampu membawa pulang pada ingatan terhadap bapak. Pada masakan yang paling sering ia hidang untuk saya: telur ayam kampung, yang digoreng dengan minyak bekas menggoreng ikan. Telurnya, tak ia beri bumbu bermacam rupa, hanya ia taburi garam sesaat setelah mendesis di atas wajan.
Lantas, saya menginsafi satu hal, dengan kesederhanaannya, tempat ini adalah penjaga paling setia dari ingatan yang jauh. Setiap masakan yang dihidangkan adalah jejak. Setiap suapan adalah pelukan hangat.
Persis, laiknya ingatan akan tradisi yang tak pernah pudar di kampung kami. Di sini, para tetua tak pernah lupa menyajikan baje’ tatkala ada hajat, atau sekadar menyambut tamu jauh. Dia diolah dengan penuh hati, diaduk perlahan agar tingkat kematangannya sama. Dibentuk, lalu dikemas sebelum disuguhkan. Tak ada perintah untuk melestarikan itu, tapi dapur secara alami, melakukan tugas itu. Diam-diam.
Dapur menjadi ruang, di mana resep tidak hanya diwariskan, tapi juga dirawat dengan rasa. Di sanalah takaran diasah oleh pengalaman. Di sanalah kita barangkali, mula-mula mengenali bahan-bahan masakan. Makanan-makanan seperti baje’, tak hanya bertahan karena enak, tapi karena dapur memberi mereka tempat untuk hidup terus.
Tak cuma merawat ingatan, dapur juga mengantongi sisi lain. Di dapur, kala ibu atau kakak memasak, acap kali saya memperhatikan bagaimana ia menambahkan sesuatu, yang tak pernah terlihat sebelumnya. Potongan serai yang cukup besar, atau taburan kelapa sangrai yang lebih banyak dari biasanya. Tak ada kata-kata, tapi rasanya tetap enak. Seolah ada ruang bermain di dapur, tempat imajinasi ikut menari bersama sendok kayu.
Kreativitas nyatanya tak hanya kepunyaan panggung-panggung besar: musik, lukisan, hingga seni peran. Sebab di dapur pun, seseorang bisa mengekspresikan dirinya, mencoba membuat masakan pedas membakar lidah untuk doi, atau membuat kue kekinian yang seliweran di TikTok. Dapur menjadi ruang yang memberi kebebasan.
Di sana, tempat di mana kegagalan diperbolehkan. Kuah keasinan, kue yang bantet, atau daging yang alot, semua diampunkan, lantaran besok bisa dicoba lagi. Tak banyak “ruang”, sudi menyerap kealpaan. Lalu, membagi kesempatan untuk membenahinya lagi. Hanya dapur. Mungkin, ya.
Kini, waktu terus menggelinding pergi. Semua hal bersalin rupa, begitu juga dapur. Ia berevolusi perlahan, dari tungku ke kompor, dari dapur sederhana di rumah panggung ke dapur modern dalam rumah konvensional. Dulu harus meniup api demi menjaga nyalanya, sekarang cukup sekali putar pemantik apinya.
Walakin, di balik semua perubahan itu, ada entitas yang kukuh: intensi untuk merawat. Dapur boleh berubah gaya, perkakasnya boleh makin canggih, tapi ia tetap menjadi ruang tempat cinta ditanak pelan-pelan. Tempat seseorang terjaga lebih awal dari yang lain, demi menahkikkan para penduduk rumah punya tenaga untuk memintasi hari.
Dan boleh jadi, itulah kepiawaian dapur yang tak banyak disadari: ruang yang diam tapi bekerja. Tak bicara lantang, tapi menjaga kita tetap terhubung. Perlahan saya mengerti, bahwa dapur tidak hanya tempat memasak. Ia adalah tempat merawat waktu, menjahit generasi, dan menyimpan kehangatan.
Di sana, cinta tak diucapkan, tapi dijaga lewat api.
Kredit gambar: Pngtree

Sedang belajar membaca dan menulis. Pernah ikut kelas menulis esai di Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
Leave a Reply