Narasi ini hanya bongkahan kecil, jerit dan harapan para buruh. Dan detailnya telah tertuang sebelum narasi ini liris. Namun, apa salahnya jika hendak menuang walau sekadar dianggap turut miris atas kejanggalan dari sistem, serta upaya tipu daya dari sekian undang-undang yang dikulum lalu di cicipi dari bibir ke bibir atas nama kebijakan.
Jagat jiwanya teruji, di antara intimidasi dan reaksi yang hendak menguasai mental. Para buruh di tengah gaung tuntutan haknya yang dikebiri, dari sekian tetesan peluh, tiada luruh menuntut keadilan. Meski tak sedikit cemooh didapatinya.
Awan pekat mengintai di atas kepala mereka, pada terik dia memekik meminta keadilan, bertahan atas haknya.
16 malam, menanti kabar dan angin segar saat jiwanya yang tegar hampir goyah, dari sekian banyak intimidasi, provokasi, dan setiap reaksi. Mereka bukan sekadar aksi ingin sensasi. Mereka bertaruh atas hak.
Tanah merah, bongkahan mata uang “yen”, menelisik jauh di cerobong pengharapan para buruh yang sebentar lagi akan usai. Upah Lembur yang kabur, sampai pada berujung putus hubungan kerja. Perusahan berdalih saat ditagih. Sementara tidak sedikit yang risih. Mereka tidak tahu apa yang kami rasakan, dan mengalami sebuah ketidakadilan.
Detak jantung seorang ibu, getar suaranya basah dan parau, saat mendekap anaknya menangis di tengah gemuruh dan pekik, bekas peluh yang sia-sia sebagai buruh pabrik sebuah perusahaan.
Saat membakar tanah dan biji-biji cuan, ketika asap mulai mengepul menuju pundi-pundi keuntungan. Tetiba dalih rugi sebagai alibi, sebuah keputusan untuk mengurangi pekerja, bahkan beberapa anak perusahaan atau yang numpang nama mulai tutup hengkang satu persatu.
Seorang ibu mengusap kening anaknya yang tak lelap tidurnya semalam, memikirkan nasibnya. Besok, lusa hingga semua tersisa bekas cerobong, perapian. Cukup ceroboh mengambil keputusan, tanpa pesangon secara proporsional dan profesional. Bagai hantu Blau, dari bayang-bayang kesejahteraan, semua jadi semu.
Dari kejauhan di balik kacau dan kicauanya kehidupan dia rasakan, tampak tungku pabrik semakin berburu, lupa ada buruh yang bertaruh, meringis dan memamah hidup dengan risiko yang harus mereka tanggung. Dirumahkan tanpa kejelasan.
Tetiba keputusan hadir merenggut mimpi mereka. Tubuhnya penuh peluh dan bekas tanah merah yang baunya juga sangat menyengat. Nehru si buyung yang sekian tahun menaruh harapan, tercekat di tengah ketidakadilan.
Jadi jongos itu memang pedih, melawan nasib tertangguhkan sejuta ulasan yang atas nama aturan, yang juga tidak berpihak, setelah beberapa proses yang kunjung tidak usai. Semua klise, hak dan kewajiban dicabut seakan dicabik-cabik.
Ini realitas, sejauh perkara yang dikira mungkin sepele. Mentalitas di tengah gemuruh dan gelombang yang sepertinya akan membentur-benturkan dan berujung chaos. Tetapi para buruh meski berijazah yang tidak seperti sebagian numpang nampang saja dengan titel berjubel. Tetapi mereka mampu mengurai, melerai provokasi yang sudah di depan mata.
Peta konflik, tidak lagi kabur, dia jelas secara gerak gemulai, yang tertebak lalu terjebak oleh sebuah keputusan dari bongkahan nikel, tidak harus mingkel dan menangkal tanpa transparansi. Jujur itu susah, keburu pagi, kau akan tergeletak sepi. Idealisme dicabik-cabik. Sesuatu yang ganjil saya saksikan ada yang ngacir di tengah pengharapan buruh, tetiba belok kiri tanpa spion dan weser. Hem.
Air mata ibu tertuang dalam doa malam, seorang isteri, anak menunggu kabar baik dari sekian hari dan malam. Hak dan kewajiban, bukan karena tendensi lain. Ini real perjuangan.
Mereka telah melewati sebuah titik perjuangan, lengah sedikit akan menuai konsekeunsi. Namun ada pusat komando melawan bukan menghajar, tetapi mengalah cara untuk menang lebih merasakan ketenangan, kata seorang tokoh aksi untuk memantik semangat para buruh yang sedikit lagi hampir luruh.
Setetes peluh, di tengah gemuruh rasa dan jiwa menyelimuti. Menanti angin segera penyelesaian yang lebih konkrit dan jelas. Tidak dengan mengubah aturan dengan dipaksakan berhadap-hadapan. Ingin rusuh, agar kami tertuduh dan memadamkan suluh perjuangan mencari hak, keadilan dan kepastian upah yang sewajarnya.
Konsekuensi. Yah. Kau harus melewati dan memekik sekalian untuk hal kebenaran, di tengah undang-undang ketenagakerjaan itu diusik dan diusik, oleh sekian badut dan cukong hendak kalasi.
Kepada Nehru pesan itu saya mencoba memantik. Meski sebagian dari buruh menoleh saja tak karuan, sebab mereka takut kehilangan jatah persekian bulan dan bersedia menerima konsekeunsi pula seketika telah membubuhi tanda tangan sebagai perjanjian.
“Sallomi naturukiang lanri mallakna surang liwak tommi kasakbarangna laupung laupung pajama terasaka, manna tania jama-jamanna narkasika ngaseng, kammantongi nipajama tedong, lanri nakasiakna sessayya attaung-taung. Na apajia nasamaturu parangna pajama.”
Sekian lama menjaga ritme dari kesabaran, dengan merasakan kerja-kerja yang kadang tidak sesuai dan melewati secara profesional. Kerja rodi bagai penjajahan, hingga dalam berserikat dia menemukan sebuah oase dan hamparan jalan keluar untuk mengakomodasi tuntutan, harapan, kebijaksanaan dari pihak perusahaan.
Matahari setengah menyengat, mereka berusaha bertahan dari intaian provokasi, berusaha tenang, mengedapankan tujuan, misi agar kelak menjadi perbaikan dan melaksanakan aturan secara baik, bukan tumpang tindihnya sebuah keputusan yang sangat ganjil bin ganjal.
Tiba kembali malam, mereka bertaruh di tengah percakapan yang seakan aksi kali ini sebuah kehampaan. Para buruh kekeuh, tidak bergeming dan mundur setapak pun juga. Punya nyali dan “tokdo pulina“. Bertahan atas dasar yang kuat, kokoh agar tidak segera bubar dari setiap ancaman, tekanan dari delapan penjuru mata informasi yang konyol.
Sampailah pada sebuah titik terang, agar segera diselesaikan beberapa tuntutan para buruh yang berjuang, bertahan atas nama hak dan bersatu menjadi kekuatan, meski banyak di antara mereka ciut menyeberang karena mentalitas perjuangan yang mudah terintimidasi.
Mendorong dipenuhinya hak-hak para pekerja di kawasan industri nikel di Bantaeng. Serikat buruh begitu gigih bertaruh, melangkah bersama, menuju satu harapan dan tuntutan yang real secara manusiawi, dengan atas setetes peluh buruh yang dirampas.
Berharap tidak ada lagi diskriminasi, hak-haknya dipenuhi, diperlakukan secara manusiawi. Jadi hal yang mendasar itu yang kita dorong karena semua telah diatur dalam sebuah nomenkelatur. Hanya proses aktualisasinya yang ngawur.
Hari berganti, bulan kesekian telah terasa titik jenuh, di tempat yang tak asing bagi mereka, dengan tanah merah bekas jejak cuan yang mereka dikelabui. Transparansi yang sensi dan sangat riskan untuk ditanyakan. Para buruh bertahan bukan untuk sekadar berjuang atas diri sendiri. Tapi mewakili hak buruh lainnya, dan untuk lebih menitipkan kepada pihak perusahaan agar tidak lagi kesewenang-wenangan itu ada di luar SOP.
Angin malam seketika menyambut sejuta angan. Detak nadi-nadi mereka mulai berdenyut, hentakan suara dari arah berlawanan hendak menghajar, namun para buruh menggunakan nalar. Berpikir lebih jernih, tetap bertahan tidak harus kendor dan mundur selangkah, meski sejuta pelor dan teror mengancam.
”Memanusiakan manusia, merawat dan menjaga setiap langkah perjuangan kita.” Kata seorang teman senasib Nehru di celah bincang malam itu di teras peradaban. Tidak lantas juga melawan lupa, bahwa kita pernah ada menjadi bagian dari sebuah perusahaan dan bertahan hidup, menaruh harapan dari setiap segenggam tanah ada sejarah yang telah kita buat dari sekian proses yang membuat kita semakin sadar tertempa, berharap kelak tidak ada lagi yang merasakan apa yang kita rasakan.
Semoga jejak kita dikenang kelak, bahwa pernah ada sebuah perjuangan bersama atas nama senasib sekawan, buruh menjadi suluh.
Sumber gambar: sulawesi.bisnis.com

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply