Tentang Kita

Sebuah hamparan menyerta dalam episode perjalanan kita, “Tiga puluh tahun cerita kita tetap ada. Kita disuguhi peristiwa dan tidak mengingat hari. Tetapi kita mengingat setiap momen.” ‎‎

Bilakah suatu saat nanti, bersama memetik melati, maka berbagilah bunga, atau wanginya saja. Saat sesama karib, teman sebangku di kelas, teman seangkatan dalam duka, sedih dan terundung tempaan hidup. Maka berbagilah dengan sipakrikongang, sikamaseang satu dengan lainnya.

‎Dulu, sepertinya ada klaster, ada jarak di antara kita, sektoral pertemanan dihiasi,  berdampak  pada sisi saling gengsi. Menjadi identitas, bukan sebagai  edukasi  untuk berkompetisi. Ada sengaja dibuat mengikuti aturan,  atas nama kurikulum dan nomenkelatur, dengan  pembagian kelas, kelas bio dan sos istilah masa itu. ‎‎

Perlahan semua kini  melebur, menjaga dan membangun sebuah  kultur “sipakainga‘, sipatangarri, sipakrikongang surang massing appakatau“.  Tidak terbentur dan tersekat dinding strata, pangkat, dan golongan. Semakin erat bernama  “assiama“. 

‎Jauh saya termenung, menapaki jalan dan segala fenomena kehidupan. Sejurus waktu melengkung sejenak hendak mengulang masa  gelora jiwa muda kita. ‎‎

Ini bukan hanya tentang angka-angka, atau enggan rasanya mengatakan  usia. Sepertinya  tidak membiarkan momen ini berlalu. Akan tetapi tentang kita dan semua hal terindah, rasa tidak percaya diri, kita  lewati atau menampik semua pikiran dan ego kita. Lebur dalam suasana. Larung di tengah guyub.

Beranjaklah kita bernama dewasa, kemudian kita belajar  tentang bagaimana kita merespon takdir. Membangun mimpi di antara mega-mega harapan. Damai bersamamu mengalun menembus rimba hutan alam Campaga tepatnya di obyek  wisata bernama Erbol.  Suara alam, gemercik air, seakan menyambut kita.

Dingin  tiada mampu mengusik kita, untuk memaksa  beranjak pada persemaian tiga puluh tahun,  melengkapi malam seakan tak menginginkan bertepi.

‎‎Seandainya jarum waktu bisa diputar kembali,  seakan ingin titian  ke masa ceria dulu, masa saat peradaban dan cara pandang kita masih polos, suka bolos dan merasakan sebuah kurikulum yang penuh dengan kedisiplinan. Meski sependek ingatan saya jarang lewat pintu gerbang, membuat pintu gerbang sendiri, lewat samping jalan rahasia tempat biasanya menjadi jalur dikenal untuk bolos. Hem. 

‎Rentang 1995-2025, tepat di awal bulan, tanggal 2-3 Agustus 2025 di Erbol. Momentum  jejak tiga dekade, bagai hamparan sabana jiwa, tidak sekadar arreja-reja (pesta). Namun ada suasana kebatinan, tidak sekadar mengenang  kisah  nan klasik di masa SMA saja.

‎‎Kemudian kita membangun mimpi,  dalam satu agenda yang lebih penuh kemanfaatan sesama alumni/angkatan. Bukan perayaan berkumpul, cerita klasik, tertawa dan menghabiskan malam begitu saja. Namun, di balik perjamuan kita, ada agenda penting, lebih inovatif, kreatif, dan menjemput peluang dari setiap potensi alumni yang mumpuni, dari beragam profesi, tetapi memiliki esensi dan lisensi, saling menopang profesi dan menuang ide, selanjutnya menyatukan persepsi lalu berbuah aplikasi yang lebih bermanfaat.

Tidak hanya merawat silaturrahmi sekadar membaca tema atau mengejanya saja. Saling memapah di setiap risalah kehidupan, untuk bergerak maju pada laju kehidupan yang penuh konsekuensi kita akan temui. ‎‎

Detak waktu, detik berangsur berupaya mengintimidasi, lalu saya berusaha menampik dan seribu tanya, sekarang atau entah hari berikutnya, masihkah kita dipertemukan dalam suasana kehangatan, keakraban, persahabatan yang kuat sampai angin senja meniup pelan menyapa kita?

Saya bagai pungguk merindukan bulan, menantikan momen selanjutnya. Apakah masih relevan seperti saat sekarang ini?  Saya merasa  kehilangan situasi  hal  puitis untuk  saya tulis kali ini.  ‎‎

Yah, sesuatu yang awal apakah ada akhir dalam lingkar waktu? Pada akhirnya semua mengalir menyatu pada malam ini. ‎‎

Semua orang memiliki waktu yang sama. Dengan kata lain, semua spesial, meski ada yang memang  yang terspesial.

‎‎Tentang kita, banyak peristiwa, untuk kita ceritakan.

‎‎Saya belum beranjak di tepi suasana, saat pamit dan berlalu di tengah suasana lebatnya rindu yang amat tebal. Ada haru menghentak. Pulanglah dengan penuh cerita, balik ke rumah masing-masing, ada ke kampung rantau tempat mereka kembali dengan profesi dan aktivitasnya. 

‎‎Saya hanya bergumam! Benar kalimat ini,  “Waktu adalah kanvas kosong, lukislah dengan karya terbaikmu.” Lalu di sebuah coretan kujinakkan imajinasiki agar tidak bertengkar dengan nalar saya yang liar seperti biasa di mana ‎”Waktu adalah harta yang paling berharga untuk kita berhak menikmati seperti malam ini. Semoga ini bukan sekadar hadir, dan  jangan sia-siakan.

“‎‎Dion!” Seseorang menepukku, datar tapi dalam  tiga dekade hanya pengingat bahwa hidup ini berharga. Hargailah setiap momen, karena setiap detik adalah anugerah. Tentang kita, waktu adalah sumber daya yang paling berharga, karena sekali hilang, takkan pernah kembali.

“‎‎Usia hanya permainan  angka-angka yang  sudah “samarakmi” (umum diketahui sebuah istilah) didengar. Sementara jiwa, batin tidak harus goyah menyerah di antara belukar peristiwa kehidupan. ‎‎

Ikatan itu atan tetap ada. Ada rindu setiap saat menghentak, sesama kelas dan sama duduk di bangku kelas kemudian menjadi besty,  sahabat sejati, saling menerima kekurangan, bukan semata kelebihan, agar setiap episode dan etalase menjadi sebuah oase (kesejukan, ketenangan) dalam dunia pertemanan, persahabatan hingga akhir usia mencukupkan kita.

‎‎Tiga dekade, tidak sekadar hadir dengan pesta, atau berkumpul saja. Ada hamparan jiwa, keharuan dalam etalase yang kemudian menambatkan kembali silaturahmi yang lebih erat nan khidmat.

‎‎Sekilas kita menapak tilas. Sejauh mana gaun remaja melintasi sekian purnama. Pucuk cinta dan mimpi diraihnya, ketika masa sekolah masih belum percaya diri, masih lugu. Sembari menepis badai, membelah tantangan dan telah banyak menuai prestasi.

‎‎Sukses dengan segala perspektif, karir dan takdir dua sejoli menempel ketat selama perjalanan hidup. Secara materi, atau sukses menentukan jalan hidup,  dengan sebagai pilihan kata seorang karib seangkatan di celah bincang lepas malam itu terbingkai dan tertuang dalam narasi seperti apa refleksi perjalanan?  ‎‎

Selain bernostalgia, reuni ini juga menjadi momen untuk merefleksikan perjalanan hidup masing-masing alumni. Mereka merenungkan karier yang telah dirintis, keluarga yang telah dibangun, serta kontribusi yang telah diberikan kepada masyarakat. ‎‎

Tanpa basa-basi merancang selanjutnya bagaimana pemberdayaan alumni agar ‎Perayaan tiga dekade juga seringkali menjadi ajang untuk memperkuat peran alumni dalam berbagai kegiatan sosial. Alumni dapat saling berbagi pengalaman, memberikan dukungan, dan bersama-sama berkontribusi dalam membangun almamater dan masyarakat.‎‎

Tiga puluh tahun, masihkah kita dipertautkan dalam ikatan yang terjalin cukup lama, kemudian menyuguhkan hal-hal indah, memaknai hidup dengan tuntas terhadap segala hal terlebih pada tuntas dengan diri sendiri di usia yang kini tidak muda lagi. ‎‎

Masihkah ada waktu kita tenun kembali, sebagai hiasan walau tanpa kenangan anyelir dan melati, hanya buah cinta, kebersamaan yang tiada lekang tumbuh di halaman jiwa, batin kita.

‎‎Tentang kita, tidak cukup saya tuang dalam narasi ini.  Begitu rindang sebuah kenangan dan angan, menempati setiap dinding-dinding histori kita. Seraya memajang foto-foto jadul, wajah culun dan begitu polosnya. Mengukirkan sejarah di tengah gumpalan harapan untuk mengikat janji, berhias permata persahabatan tanpa memilah dan memilih strata, itu jauh lebih berarti.

‎‎Tentang kita, mengajari bagaimana semesta jiwa bersemi sepanjang waktu. Melintasi masa, tidak dengan sia-sia. Sebagaimana logo dan filosofi kebersamaan kita yang tangguh, seperti ungkapan seorang penyair dan filosof Islam, Muhammad Iqbal.

Filosofi rajawali dalam pemikiran Muhammad Iqbal berkaitan dengan konsep ‘Khudi’ atau kesadaran diri, yang merupakan inti dari filsafatnya. Rajawali, dalam hal ini, menjadi simbol kekuatan, kemandirian, dan semangat juang untuk mencapai potensi penuh diri. Iqbal mendorong manusia untuk memiliki keberanian, kebebasan, dan ambisi seperti rajawali yang terbang tinggi dan mandiri.‎‎

Dalam filsafat Iqbal, “Khudi” bukan hanya sekadar ego, melainkan kesadaran diri yang mendalam, potensi kreatif, dan kehendak bebas yang dimiliki setiap individu. Nah. Di alumni kita ini angkatan 95 SMA 4 Bantaeng punya beragam potensi dan kualitas diri.

Berharap dengan potensi dari kita, sebagaimana rajawali yang kemampuannya terbang tinggi, mandiri, dan berani, menjadi simbol dari individu yang berhasil mengembangkan “Khudi” mereka. ‎‎

Tentang kita, esok, lusa nanti menjadi momentum dan nutrisi ruhani, sebagai penguat untuk kita saling membasuhkan cahaya dalam setiap risalah teretas dalam sebuah ikatan, bukan semata pesta semalam bernama reuni. ‎‎‎‎‎


Comments

3 responses to “Tentang Kita”

  1. Tentang kita, esok, lusa nanti menjadi momentum dan nutrisi ruhani, sebagai penguat untuk kita saling membasuhkan cahaya dalam setiap risalah teretas dalam sebuah ikatan, bukan semata pesta

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Siap om. Makasih berkenan dan apresiasinya. Semoga semua berbuah indah dan mekar berseri setiap saat kelopaknya menambat mewangi kerinduan bersua.

  2. Ini Asli reunian yang produktif kakakku, tidak hanya menghubungkan history masa lalu. saya justru penasaran sama buah inovasi yang lahir dari alam campaga 😁✨

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *