Di tengah gegap gempita pembangunan dan modernisasi pendidikan, ada satu hal yang sering terlupakan: jiwa anak-anak kita. Sekolah seharusnya bukan hanya tempat menjejalkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi ruang tumbuhnya karakter, kebijaksanaan, dan cinta belajar. Namun, kenyataannya, masih banyak sekolah yang menjadikan hukuman sebagai alat utama untuk menegakkan disiplin, sementara literasi belum menjadi budaya yang hidup. Pertanyaannya: apakah hukuman itu benar-benar efektif? Ataukah kita justru sedang kehilangan arah dalam membimbing generasi?
Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah kesadaran, pemahaman, dan keberdayaan untuk memaknai kehidupan melalui bahasa. Seorang anak yang memiliki literasi tidak hanya pandai membaca buku, tapi juga bisa membaca dirinya, orang lain, dan dunianya. Literasi adalah jendela empati dan alat navigasi bagi anak-anak untuk memahami makna tindakan, akibat, serta nilai kebaikan.
Pendidikan sejatinya berangkat dari kesadaran ini. Literasi membekali anak-anak dengan kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara bijaksana, mengenali kesalahan tanpa perlu dipermalukan, dan mengambil pelajaran tanpa trauma. Namun sayangnya, di banyak sekolah, pendekatan literatif ini belum menjadi prioritas utama. Yang dijunjung masih budaya hukuman: dari yang verbal hingga yang fisik, dari yang terang-terangan hingga yang tersembunyi dalam bentuk stigmatisasi dan tekanan mental.
Dalam banyak kasus di sekolah, anak-anak yang dianggap “bermasalah” kerap diberi hukuman fisik, tugas tambahan, dimarahi di depan umum, bahkan dipermalukan. Sering kali ini dilakukan dengan dalih mendisiplinkan, namun benarkah ini mendidik? Bukankah mendidik berarti membimbing, bukan menghukum?
Menurut penelitian dalam bidang psikologi pendidikan, hukuman yang bersifat represif justru berpotensi memperburuk perilaku anak. Anak yang sering dihukum bisa berkembang menjadi pribadi tertutup, rendah diri, atau bahkan memberontak secara diam-diam. Bukannya sadar, mereka justru menyimpan luka yang bisa tumbuh menjadi dendam atau trauma berkepanjangan. Hukuman tidak menyentuh akar masalah. Ia hanya menekan gejala, tanpa memahami sebab-sebabnya.
Di sinilah literasi menjadi alternatif yang lebih manusiawi dan transformatif. Seorang anak yang malas belajar, misalnya, tidak perlu dihukum berdiri di lapangan atau menyapu sekolah. Mungkin yang ia butuhkan adalah seseorang yang membacakan kisah inspiratif, atau mengajaknya berdialog tentang tokoh-tokoh besar yang dulu juga pernah merasa bodoh tapi tetap belajar. Literasi bukan hanya soal buku, tapi juga soal membangun imajinasi, harapan, dan keterhubungan batin.
Ada cara lain yang lebih bermartabat untuk membimbing anak-anak yang melakukan kesalahan: hukum mereka dengan literasi. Maksudnya bukan menghukum dalam arti keras, tapi mengarahkan mereka melalui kegiatan literatif yang menyentuh hati. Misalnya, ketika seorang siswa berbohong, daripada memarahinya, guru bisa mengajaknya membaca kisah Nabi Muhammad tentang kejujuran. Lalu berdialog: mengapa kejujuran itu penting? Apa akibat dari kebohongan? Bagaimana jika kita hidup dalam masyarakat tanpa kepercayaan?
Atau ketika seorang siswa mengganggu temannya di kelas, guru bisa meminta dia menulis refleksi: “Bagaimana rasanya diganggu?” atau “Apa yang bisa saya lakukan agar jadi teman yang lebih baik?” Tugas seperti ini tidak sekadar menghukum, tapi mendidik hati dan pikiran. Ia menanamkan nilai, bukan hanya menghindarkan dari pelanggaran.
Konsep ini dikenal dalam pendekatan pendidikan restoratif, yaitu pendidikan yang berorientasi pada perbaikan relasi dan pertumbuhan karakter, bukan balas dendam atau penghukuman. Literasi digunakan sebagai alat refleksi, ekspresi, dan transformasi. Anak tidak hanya diminta mengaku salah, tapi juga diajak memahami makna kesalahannya.
Salah satu dampak buruk dari budaya hukuman di sekolah adalah munculnya rasa takut yang membunuh rasa ingin tahu. Anak-anak belajar bukan karena cinta belajar, tapi karena takut dimarahi atau tidak lulus. Mereka belajar bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin selamat dari hukuman.
Padahal, esensi pendidikan adalah menumbuhkan rasa ingin tahu. Literasi memegang peran penting dalam menyalakan api ini. Ketika seorang anak diberikan buku yang tepat—yang mengena pada minat dan keingintahuannya—ia bisa tenggelam dalam dunia yang penuh makna. Ia akan belajar dengan sukarela, bahkan tanpa disuruh. Guru yang bijak akan memanfaatkan literasi untuk menginspirasi, bukan menekan.
Mari kita bayangkan: bagaimana jika setiap pelanggaran di sekolah direspons dengan kegiatan literatif? Seorang siswa yang bolos diminta menulis esai tentang cita-citanya dan apa dampak dari ketidakhadirannya terhadap pencapaian itu. Seorang siswa yang berkata kasar kepada temannya diminta membaca puisi-puisi persahabatan, lalu menulis surat maaf yang tulus. Bukankah ini jauh lebih menyentuh dan menyembuhkan daripada sekadar dihukum membersihkan kamar mandi?
Namun tentu saja, mengubah pendekatan dari hukuman ke literasi bukan perkara mudah. Butuh perubahan paradigma dalam seluruh ekosistem sekolah—guru, kepala sekolah, bahkan orang tua. Guru harus diberikan pelatihan tentang bagaimana merancang pembelajaran yang berbasis refleksi dan literasi karakter. Sekolah harus punya ruang baca yang hidup, bukan sekadar perpustakaan sunyi yang ditutup saat jam istirahat.
Yang lebih penting lagi, sekolah harus punya budaya dialog. Anak-anak harus diajak berbicara, bukan hanya disuruh diam. Mereka harus dilibatkan dalam penyusunan aturan, agar merasa menjadi bagian dari komunitas, bukan hanya objek dari kekuasaan guru.
Tentu, ada kasus-kasus yang memang butuh ketegasan. Tapi ketegasan bukan berarti kekerasan. Ketegasan yang berlandaskan kasih sayang akan jauh lebih efektif daripada ancaman. Ketika anak merasa dimengerti, ia lebih terbuka untuk berubah. Ketika ia merasa dihargai, ia lebih terdorong untuk menjadi lebih baik.
Jika kita ingin menjadikan literasi sebagai “hukuman terbaik”, maka kita harus terlebih dulu menjadikannya sebagai bagian dari budaya sekolah. Literasi tidak boleh hanya jadi program tahunan atau lomba sesaat. Literasi harus hidup dalam setiap sudut sekolah: dari ruang kelas, dinding koridor, hingga ruang guru.
Sekolah bisa memulai dengan membentuk klub membaca, pojok refleksi, lomba menulis surat untuk diri sendiri, atau majalah dinding yang berisi cerita-cerita anak tentang pengalaman mereka. Setiap pelanggaran kecil bisa jadi momen untuk merenung dan menulis. Setiap konflik bisa jadi bahan diskusi dan puisi.
Lebih dari itu, literasi juga harus menjadi alat guru untuk mengenali anak-anak lebih dalam. Tulisan mereka bisa jadi cermin batin. Dari sanalah guru bisa melihat luka tersembunyi, keinginan yang terpendam, atau bahkan potensi besar yang belum tergali.
Dalam dunia yang semakin kompleks, kita tidak bisa lagi mengandalkan metode pendidikan lama yang berbasis pada hukuman dan ketakutan. Anak-anak bukan robot yang bisa diatur dengan ancaman, mereka adalah jiwa-jiwa yang butuh didengar, dibimbing, dan dicintai. Literasi menawarkan jalan baru yang lebih lembut, lebih dalam, dan lebih manusiawi.
Menggunakan literasi sebagai bentuk “hukuman” bukan berarti melemahkan disiplin, tapi justru memperkuatnya. Disiplin sejati bukan lahir dari takut, tetapi dari pemahaman. Literasi menumbuhkan kesadaran, dan dari kesadaran itulah tumbuh tanggung jawab sejati.
Mari kita tinggalkan hukuman yang menyakitkan, dan beralih ke hukuman yang menumbuhkan. Mari kita hukum anak-anak kita dengan cinta, dengan cerita, dengan puisi, dan dengan kesadaran. Sebab pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya menjadikan mereka patuh, tetapi menjadikan mereka bijak dan berdaya.
Kredit gambar: Forum Anak Butta Toa Bantaeng (FABT)

Lahir di Sorowako, 1 Februari 1969. Menempuh studi pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar, 1996-1997. Saat ini ia berkecimpung dalam dunia usaha, sebagai Direktur Utama PT. Pontada Indonesia. Telah mengarang buku puisi berjudul, Ziarah Cinta (2015).


Leave a Reply