Kedok Agama?

Tameng, dan cukup ekstrim memanen pundi amaliah.  Sambil berdendang menceritakan surga dengan neraka. Seketika kuncup subuh menebar ke pagi buta. Saya belum siuman dipaksa untuk menjemput rezeki. ‎‎

Saya mencoba sebuah ilustrasi dengan realitas terjadi, konon  telat bangun pagi maka rezekinya dipatok ayam. Wets. Saya tercekat di sudut kantukku yang tertambat.

‎‎Suatu pagi. Seketika  berentetan dengan chat di WhatsApp. Ada yang ngajak ngopi, ada juga tetiba membangunku dengan menggemgamkan  beberapa lembar uang merah di tangan,  membuat lelap tidurku terusik. ‎‎

Setengah sadar  bangun bertanya kepada mereka,  dua orang telah berlalu di pintu halaman, “Itu uangta, kitarimai” (itu uang untuk saya, terimalah).  Saya termangu dungu, dengan lugu, lalu hendak  melanjutkan mimpi semalam yang tertunda. Sembari rebahan diliputi “kalabangngang” (bingung bercampur seribu tanya,  percaya dan tidak). 

‎‎Yah. Satu dogma terbantahkan, dari dongeng masa kanakku hingga saat usia Jelita (jelang lima puluh tahun ini),   bahwa bangun  telat pagi, maka semua akan menghambatmu. Tersisa “tai cica mami“. Rezeki yang tertukar katanya!

‎‎Begitu juga bernama atribut pakaian, busana, semua adalah kedok agama, lupa bahwa atribut jubah, songkok, surban, syar’ih, tudung besar dan minimalis, pakai cadar dan tidakn. Adalah sebuah gaya hidup (life style) bernama budaya. Bukan pakaian agama.

‎‎Selain itu fungsi kebiasaan dari dogma budaya dan  agama mulai mengubah tatanan, secara politik, sosial budaya dan kesenjangan. Menukilkan dalil dan slogan yang menghibur sesaat.  Saat si Petong misalnya tertuduh dan dicap pendosa. Ketika di mimbar mengutip ayat-ayat. Neraka dan surga jadi iming-iming. Petong tersungut lalu ngacir keluar lewat pintu berpura hendak kencing. ‎‎

Saya kemudian bercakap dengan teman, dalam menginterpretasi sebuah hal, yaitu “konteks”. Banyak yang teledor, mencap lalu menganggapku mengakali agama, mempecundangi budaya.  Sementara semata menguatkan, meng-update nalar dalam budaya berpikir yang mulai stagnan. 

‎‎Tidak harus juga merasa lebih tahu apa yang saya tidak tahu, dengan tidak gegabah pula sok tahu, akan tetapi  sebuah  metode analisis yang sekiranya menjadi panduan untuk saya jadikan pijakan, agar tidak mudah dibajak, dan dijebak dalam hidangan atas nama agama yang kemudian membuat manusia merasa paling masuk surga. Menjadikan sebuah  ancaman saja, seperti dosa dan beberapa hal tabu yang kadang tidak sesuai kerja nalar otak saya.  ‎‎

Saya bertamasya saat menyusuri halaman sebuah media. Tetiba saya entah kebetulan, menemukan sosok perempuan berpikir cerdas dan cukup cadas. Tapi tidak seculas seperti yang lain menenteng atas nama kitab-kitab suci. ‎‎

Matanya yang indah, rambut hitam tebal yang terurai rapi sampai ke bawah bahunya. Yah. Kumaila Hakimah memiliki perspektif agama yang kritis dan progresif, terutama dalam konteks Islam. ‎

Ia dikenal karena sering mempertanyakan dan merefleksikan ajaran-ajaran agama, sejarah, budaya. Tidak sedikit pula menghujamnya secara brutal.  Kumaila berpendapat bahwa agama tidak boleh kaku dan harus sesuai dengan konteks zaman, serta menekankan pentingnya memahami esensi agama daripada hanya terpaku pada label atau simbol. Saya sepakat seratus persen. ‎‎

Terkait perspektif agama Kumaila Hakimah, kritis terhadap doktrin agama. Kumaila tidak takut untuk, mempertanyakan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya tidak relevan atau tidak sesuai dengan akal sehat.

Dibanding ‎‎penekanan pada esensi agama, i lebih fokus pada pemahaman substansi agama daripada sekadar simbol atau label.

‎‎Sementara adanya agama dalam konteks sosial, terlihat sebagai sesuatu yang dinamis dan berkaitan dengan konteks sosial budaya. ‎‎

Toleransi dan pluralisme slogan saja. Masih menjadi abjad dan menebar pesona, sementara sesama Islam saja “baku bombe-bombe“, bahkan saling membenci, ada Islam ini dan itu, dengan sebuah dalil misalnya.  Saling mengharamkan dan membi’dahkan, haram  halal baku hantam.  Katanya rahmatan lil alamin? Gumam saya, sambil mencari cara mengevaluasi sejauh mana saya berakal dan beragama, bahkan berbudaya!

‎‎Saya mulai dituduh mangkir dengan cara berpikir.  Seolah baru belajar berpikir katanya! Karena mencoba menakar, bukan menukar apa yang telah mengakar, selama proses tempaan agama sejak masa kecil hingga sekarang.  ‎‎

Teror agama semakin menjadi sindrom. Pahala diatur dengan angka serta imbalan. Atau dosa setimpal dalam bayangan neraka. Atau keindahan surga bagi ketaatan. Terlalu beriming-iming serta fantasi akhirat dihadirkan dengan horor dan kenyamanan. ‎‎

Tetiba saya khawatir Tuhan “murka”. Membuka tabir dari tersublimnya Dia dari cara-Nya yang begitu metafora, menjadi sebuah hal yang manusia merasa tersiksa atas kerahasiaan, kemisterian. ‎‎

Ama hadir untuk mengenali peradaban manusia, berkelompok dan. Lebih teratur dan beradab. Begitu juga budaya kiranya hadir untuk menyeimbangkan dan memajukan manusia dalam beradaptasi, berinteraksi, berpikir dan bertindak.

‎‎Benarkah surga dan neraka adalah pencitraan agar manusia itu patuh, takut dan berbuat lebih baik. Kemudian seorang mengernyit di antara alis yang tipis.  Saya cegat reaksi untuk melanjutkan percakapan itu. Karena mulai subjektif, menggugat saya, dan menjadi hakim melebihi Tuhan.

‎‎Sementara di tebing pengetahuan dan kegagapan saya. Mulai menerima dan berpikir untuk tidak terpuruk ke lembah kenistaan, meski tuduhan itu mulai berangsur antrian, saat bincang terkait agama dengan penganutnya, masih membabat sesama yang beda mahzab, ada menghalalkan darah sesama penganut agama yang sama. ‎‎

Saya mulai merasa kembali seperti orang tolol bin konyol. Menguarkan teori keimanan dan ketuhanan saya. Mengasuh dan mengasah cara pandang, persepsi dan persepektif, agar tidak keluar jalur dan arah.

Benarkah agama hanya kedok? Atau sekadar hadir membuat kelompok agar manusia teratur, meski pada habitat agama sendiri masih susah dan saling menggugat dalil, sejarah, riwayat sampai yang sanad dan nasab palsu? ‎‎

Teror secara psikis, sejak masa kanakku dulu. Dosa itu hingga sekarang masih merundungku.  Menjadi tabiat yang penurut, mangut. Saat salah ucap dituduh tidak etis, pamali, tabu dan neraka tempat saya bermukim kelak.

‎‎Kadang saya terdiam di pojok serambi menimbang dan seterusnya, memperhatikan dan seterusnya. Tapi tidak harus gegabah juga memutuskan. Masih sedikit pengecut, bahkan lebih dalam menaruh ide, dan keliaran imajinasi saya.

‎‎Cekung dan lirihnya cakupan ketataan yang dipaksa taat. Hingga sampai kita menjadi murtad di mata mereka. Itu juga bagian dari ambiguitas.  Saya terpaksa patuh dan beradab atas nama agama dan ditekan dalam surat teken yang sampai kini terasa jiwa, hasrat, serta seribu pengandaian. Terpaksa harus merayap sendiri di tengah pergumulan manusia, bukan guyub dalam percakapan yang mumpuni untuk melatih kembali cara berpikir lebih logis dan kritis.  

‎‎Selera perburuanku, menuai banyak protes, seraya melengkapi penangkal bagi mereka yang tergolong dangkal. Merasa kian kemuning pusaran paginya pengetahuanku makin tercekat, karena ada agama dan budaya memberiku sekat. Betapa amat feodal.  ‎‎

Akhirnya saya tunduk mendampuk diri, di tengah jelajah pikiran tertumbuk dan membeku. Jiwa, hati bagai sengaja dikoyak-koyak. Belum pantas dan tidak memang pantas saya bercapak tentang agama, kata seseorang di saat saya terusik, dan membantah beberapa hal yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi tolak ukur dan pemahaman saya.  

‎‎Pulanglah dan belajar agama lagi! Lirih tatapan dan ucapannya menggugat saya. Kembalilah ke jalan yang benar! Katanya! Jalan benar yang mana? Tapi saya urungkan untuk berdebat. Agar tidak menjadi sengketa berujung fitnah.  ‎‎Secara masih menjunjung etika, saya berusaha mengalah di sudut pandang yang sangat tidak relevan, pada konteks berbagi percakapan pengetahuan dan berpikir. Sambil pula saya berzikir, agar tidak mangkir dari cara mengalah lebih baik dari pada bertaruh baru mudah dituduh. Hem. ‎‎

Agama menjadi bagai buah ketakutan berlebihan. Yang seharusnya menyeka dan merawat kekhidmatan, menjadi tuntunan. Tetapi seingatku selama ini, hanya menjadi perdebatan antara paling merasa pintar dan pintar merasa. Antara yang pakai jubah dan manik-manik tasbih dengan penganut agama seperti saya, yang jarang berjamaah ke masjid, hanya suka nongkrong menyeruput kopi. ‎‎

Akhirnya pada  narasi yang mungkin saja  membuat pembaca yang merasa paling beriman dan beragama, jangan mudah tersulut, nikmati alur dan cara menginterpretasi, dengan ukup menggumam saja. ‎‎

Saya meyakini Tuhan jauh lebih tahu maksud dan tujuan saya, dalam mengajukan proposal untuk bahan skripsi dan interpretasi bahkan interupsi di setiap narasi, cara saya menggugah pikiran, kebatinan bahkan keimanan saya. ‎‎

Agama dan peradaban manusia yang hanya melahirkan sengketa. Memercayai-Nya menuntun saya ke ujian meja yang meski pada strata satu, tidak mesti harus melompat pagar tanpa dasar dan buta agama, sejarah peradaban. ‎‎

Selebihnya saya mendendangkan doa yang diajarkan, atas ejaan yang disempurnakan sejak dulu menjadi pakem “rabbana atina fiddunia hasanatan” sampai akhir hayat, eh, akhir ayat maksudnya.

‎‎Saya kemudian bertaubat. Tuhan maafkan hambamu yang pecundang ini. Semesta tetiba menurunkan ujian pemikiran dan sikap, bertindak, tidak harus bertanduk, di tengah kegersangan pemikiran. ‎‎Agama jadi tameng. Saling mengambing hitamkan manusia pendosa, asa yang penuh syahwat ingin panen amal, kemuliaan, tetapi menghardik, mencabik-cabik perasaan sesama manusia dengan menukilkan ayat-ayat, menakutinya, menghajar dengan tidak mengajak.

Sementara agama hadir menguatkan atas nama sabar dan menguatkan iman dan takwa serta tawakkal. Tetapi semua hanya kedok semata.

‎‎Saya punya cara menafsir dan menakar, dengan dititipkan akal, agar segera menemukan solusi di setiap persoalan dan dinamika yang hadir di kehidupan peradaban manusia, budaya dan agama itu sendiri. Tapi bukan mengakal-akali agama. ‎‎

Tuhan, maafkan hambamu yang semakin konyol dan mulai mabuk sempoyong ini. Bukan mabuk karena gegara sebotol pengetahuan. Tapi bukankah Engkau memberiku akal dengan penabal agar tidak dangkal memahami-Mu?  ‎‎

Lalu bagaimana dengan agamamu adalah agamamu. Agamaku adalah agamaku (sebuah dalil dalam kitab), tetapi mengapa masih saling  membabat dari babad dan bab ayat-ayat? 

Perihal pada sejarah yang dianulir dan direkayasa ceritanya dongeng, fiksi yang apik. ‎‎Lalu bagaimana agama itu muncul?

Lalu kita menemukan sebuah pemahaman, dimana awal mula agama dapat ditelusuri kembali ke masa prasejarah, ketika manusia mulai mengembangkan kepercayaan pada kekuatan alam dan roh nenek moyang. ‎‎

Seiring waktu, berbagai sistem kepercayaan berkembang, termasuk animisme, dinamisme, dan totemisme, yang kemudian melahirkan berbagai agama dunia dengan konsep Tuhan dan praktik keagamaan yang beragam. ‎‎

Sepantik masa Prasejarah, di mana kepercayaan pada kekuatan alam dan roh nenek moyang menjadi dasar bagi banyak sistem kepercayaan awal diantaranya animisme, dinamisme, totemisme, sebuah konsep kepercayaan yang muncul pada masa prasejarah, yang melibatkan kepercayaan pada roh yang mendiami benda-benda atau makhluk tertentu, serta kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda atau makhluk tertentu. Sampai pada bermekaran kuncup pemahaman kepercayaan yang dianggap menyimpang. ‎‎Terimalah tanpa menghakimi secara pribadi.

Memahami konteks jauh lebih bijak, bukan pada subjektif lalu membajak kekuatan pikiran dengan dogma agama!? ‎‎Mengolah dasar, lalu menguatkan sumber data, informasi dalam pikiran adalah cara bijak sebagai manusia berakal, berbudaya bahkan beragama. ‎‎Terimalah sebagai risalah, bukan pada tataran masalah. Bidiklah dengan pengetahuan bukan dengan  menghardik. Bukankah Itu juga  bagian tuntunan katanya agama saling menghargai, menyayangi, menerima perbedaan, bukan merasa ingin merasa paling beragama. ‎‎Sepertinya masih menemui jalan buntu, berujung petaka dan sengketa sampai akhir zaman.

Lantas ke mana ajaran sebuah landasan dan alasan kita beragama? ‎‎

Kenyataannya, masih menemukan dan menyaksikan perbedaan, bahkan dalam seagama itu sendiri, yang katanya ada tujuh puluh tiga, bahkan banyak lagi Firqa (paham/mashab). Etahlah.

Mereka bertaruh merasa paling benar. Atau hendak sekadar nampang tenar. ‎‎Tetiba toleransi beragama diembuskan. Sementara seagama saja cekcok tak karuan. Saling menghujat, padahal sama ejaan lafal rakaat dan bernaung satu atap bernama satu agama sebagai rahmatan lil alamin. ‎‎

Bagaimana bisa menjadi pembasuh cahaya ke-Ilahian? Sementara sengketa dari sejarah sejak dulu, peradaban manusia, agama dan budaya. Kesemuanya itu hanya semata tameng. ‎‎Bukankah agama hadir pelengkap dari sengketa yang masih berkelanjutan sampai saat ini? Atau kepentingan sisi lain manusia yang mendombrak dan mengobrak-abrik, lalu memantik persoalan yang berkepanjangan atas nama agama. ‎‎

Saya menukil percakapan, bahwa kepercayaan bagian dari sengketa, bagai tanpa peta menuju sebuah arah lebih cerah, cara bereaksi, berpikir lebih kritis, menjadi pemuja yang sia-sia tentang kecintaan terhadap Tuhan yang mereka, kita yakini.

Sumber gambar: Kemenag RI BDK Jakarta


Comments

2 responses to “Kedok Agama?”

  1. Andira Avatar

    “Saya meyakini Tuhan jauh lebih tahu maksud dan tujuan saya, dalam mengajukan proposal untuk bahan skripsi dan interpretasi bahkan interupsi di setiap narasi, cara saya menggugah pikiran, kebatinan bahkan keimanan saya”
    Intinya kita hidup di dunia ini hanya sementara maka berakhirlah hidup dengan jalan produktivitas dan saling menghormati, menyayangi..

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Wets. Makasih apresiasi dan cara menginterupsi dan menginterpretasi narasi ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *