Freiburg dan Kota Ekologis: Menyatukan Manusia, Alam, dan Teknologi
Jika kita ingin belajar bagaimana sebuah kota dapat tumbuh secara ekonomi, ramah lingkungan, dan tetap menjaga harmoni sosial, maka Freiburg, sebuah kota kecil di barat daya Jerman, adalah contoh nyata dari kota masa depan yang hadir hari ini.
Dikenal sebagai Green City, Freiburg telah menjadikan ekologi sebagai inti dari perencanaan kotanya, sejak tahun 1970-an. Setelah menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di dekat kota mereka, para penduduk, akademisi, dan pemimpin lokal memutuskan untuk mengembangkan Freiburg sebagai kota berbasis energi terbarukan dan tata ruang hijau.
Apa yang membuat Freiburg menarik bukan hanya karena panel surya menghiasi hampir semua atap bangunan, tetapi karena mereka mengintegrasikan kesadaran ekologis ke dalam budaya hidup masyarakat. Transportasi publik sangat dominan; lebih dari 70% penduduk menggunakan sepeda, trem, atau berjalan kaki. Kota ini merancang tata ruangnya sedemikian rupa agar jarak antar permukiman, sekolah, pasar, dan taman tidak lebih dari 10 menit jalan kaki.
Lebih jauh lagi, Freiburg membatasi kepemilikan mobil pribadi dan menciptakan kawasan hunian seperti Vauban, yang sepenuhnya ramah lingkungan—tanpa kendaraan bermotor, penuh dengan taman komunitas, bangunan hemat energi, dan rumah-rumah berbahan daur ulang. Konsep ini disebut “sufficiency city“, yakni kota yang tidak hanya berkelanjutan (sustainable), tetapi juga mencukupi dalam kebutuhan dasarnya tanpa menimbulkan beban ekologis berlebih.
Seperti dijelaskan oleh Peter Hall, urbanis asal Inggris, “The truly successful city of the future will be the one that combines ecological integrity with social justice and economic dynamism.” Freiburg telah membuktikan bahwa ketiganya bukan sekadar idealisme, melainkan realitas yang bisa dibangun lewat keberanian politik dan partisipasi masyarakat.
Kota di Indonesia: Menuju Freiburg atau Terjebak dalam Betonisme?
Tantangan bagi kota-kota di Indonesia saat ini justru semakin kompleks. Alih-alih bergerak menuju kota ekologis, banyak kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar cenderung terjebak dalam “betonisme”, yaitu keyakinan bahwa kemajuan diukur dari seberapa banyak flyover, tol dalam kota, dan gedung pencakar langit yang berdiri.
Ironisnya, pembangunan seperti ini sering dilakukan tanpa mendengar suara warga, mengorbankan ruang terbuka hijau, dan mengabaikan keberlanjutan jangka panjang. Sementara itu, banjir, polusi udara, dan tekanan mental pada masyarakat urban terus meningkat.
Padahal Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menciptakan kota ekologis tropis, dengan memanfaatkan kearifan lokal, kekayaan hayati, dan modal sosial masyarakat. Konsep seperti “kota hutan”, urban farming, dan transportasi publik berbasis listrik sudah mulai diterapkan di beberapa wilayah, namun masih bersifat parsial dan belum terintegrasi dalam visi jangka panjang.
Menata Ulang Tata Ruang: Dari Elitis ke Partisipatif
Salah satu kunci transformasi kota adalah tata ruang partisipatif, yang melibatkan warga dalam proses perencanaan. Kota tidak boleh menjadi ruang eksklusif yang ditentukan oleh elite teknokrat dan kepentingan pemilik modal. Setiap pembangunan harus menjawab pertanyaan: untuk siapa ruang ini dibangun? Siapa yang akan menikmati dan siapa yang akan tergeser?
Praktik yang diterapkan di Freiburg menekankan pentingnya perencanaan demokratis, dengan melibatkan kelompok sipil, pelajar, dan penduduk dalam menentukan arah pembangunan kota. Proses ini lambat, tetapi hasilnya berkelanjutan dan inklusif. Kontras dengan model perencanaan top-down yang kerap dipraktikkan di negara berkembang, di mana pembangunan seringkali melahirkan “gentrifikasi”—penggusuran warga demi estetika dan keuntungan investor.
Kota yang adil dan lestari harus menyediakan akses lahan yang adil, hunian terjangkau, dan ruang publik yang hidup. Tanpa itu, kota hanya akan menjadi medan pertempuran kelas sosial yang menyakitkan.
Kota Sebagai Ruang Kebudayaan dan Spiritualitas
Aspek lain yang tak kalah penting dalam membangun kota adalah dimensi kebudayaan dan spiritualitas. Kota bukan hanya mesin ekonomi atau sistem tata kelola, tapi juga ruang batin manusia. Dalam sejarah Islam, misalnya, kota seperti Kufah, Kairo, Fez, dan Isfahan tumbuh bukan hanya karena letaknya strategis, tapi karena di dalamnya terdapat masjid, pasar, madrasah, taman, dan forum diskusi, yang menjadi pusat pembentukan ilmu, seni, dan etika sosial.
Kota seharusnya memungkinkan warganya merenung, beribadah, berkesenian, dan membangun relasi bermakna. Namun banyak kota modern yang justru mendorong alienasi, keterasingan, dan kekeringan spiritual. Arsitektur kota tidak boleh kering dari rasa dan makna. Pembangunan kota tidak hanya harus layak huni, tetapi juga layak dirasa.
Seperti dikatakan oleh arsitek besar Christopher Alexander dalam The Timeless Way of Building, “A building or a town will only be alive to the extent that it is governed by the timeless way.” Artinya, kota harus hidup—bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga dalam jiwa.
Nusantara: Ujian Konsep Kota Masa Depan Indonesia
Rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan menjadi ujian terbesar bagi bangsa Indonesia dalam menerapkan paradigma baru kota. Apakah Nusantara akan menjadi Freiburg Asia Tenggara—dengan kota cerdas, hijau, partisipatif, dan manusiawi—atau justru menjadi replika dari kegagalan kota modern yang lain?
Jika pembangunan IKN hanya berfokus pada megaproyek, investor asing, dan simbol prestise tanpa perencanaan ekologis dan keadilan sosial, maka ia akan menjadi kota kosong yang gagal menumbuhkan kehidupan. Namun jika benar-benar dibangun dengan paradigma ekologis dan spiritual, Nusantara dapat menjadi simbol peradaban baru—perpaduan antara teknologi, keberlanjutan, dan kearifan budaya lokal.
Kunci keberhasilannya ada pada tiga hal: keberanian politik, partisipasi warga, dan integritas perencana kota.
Membangun Kota, Merawat Kehidupan
Kota bukan hanya tempat tinggal manusia. Ia adalah cermin dari nilai, harapan, dan arah peradaban. Membangun kota bukan sekadar menciptakan infrastruktur, melainkan menyusun ekosistem kehidupan yang adil, lestari, dan manusiawi.
Dengan menempatkan manusia dan alam sebagai inti dari perencanaan kota—bukan sebagai korban dari ambisi pertumbuhan ekonomi semata—maka kita bisa membangun kota yang ramah bagi semua golongan, tumbuh dalam keadilan ekonomi, aman dalam perlindungan sosial, dan sejahtera dalam dimensi spiritual.
Paradigma baru ini bukan utopia. Freiburg telah membuktikannya. Kini, giliran kita menjawab: kota seperti apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita? Kota yang penuh gedung, atau kota yang penuh kehidupan?
Kredit gambar: Tripadvisor

Lahir di Sorowako, 1 Februari 1969. Menempuh studi pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar, 1996-1997. Saat ini ia berkecimpung dalam dunia usaha, sebagai Direktur Utama PT. Pontada Indonesia. Telah mengarang buku puisi berjudul, Ziarah Cinta (2015).


Leave a Reply to Adam Kurniawan Cancel reply