Larung di sudut matanya, inginnya sebuah buku baru. Esok lonceng dan jadwal sekolah mulai aktif kembali, setelah libur panjang yang memuaskan dirinya bermain, berlari, mandi di sungai dan ke sana kemari.
Beberapa buah bukunya, lengkap pembungkusnya yang lusuh dibawa ke hadapanku. Mengurai keinginannya. Satu persatu dilucutinya, mulai dari pembungkus plastik, sampai merobek beberapa lembar catatan sepi di bukunya saat duduk di kelas tiga. Tidak harus buku baru kan? Ini masih bisa terpakai, belajarlah untuk tidak memaksakan kehendak dan keinginan seperti anak-anak lainnya.
Sederhana itu bukan berarti merasa jauh lebih rendah pada strata dan kesengsaraan. Tapi cara kita tidak gegabah dan merasa rendah menghadapi kehidupan di zamanmu yang serba-serbi terhitung materi. Dia mengamati, antara mengerti dan tidak. Tetapi tampak sumringah tanda malu, walau saya tahu ada kesedihan di matanya.
Senin besok kau harus siap dari segala konsekuensi sebagai anak tak berkasta. Semua kembali beraktivitas menghantar ke pintu gerbang, seperti terkesan menitipkan anaknya menuju sistem pendidikan yang masih seribu uji coba.
Selembar catatan Argan, saat itu masih mengeja A, B, C, D. Tidak terasa beranjak ke kelas empat. Di antar ke pintu gerbang, mencium tangan guru dan ada pula sebagian datang bersamaan siswanya.
Hari pertama sekolah, anak-anak masih riang gembira, buku baru, tas baru, sepatu baru, serta harapan baru.
Pertengahan pelajaran titik jenuh itu mulai tumbuh, keceriaan paginya luruh, karena dipaksa, menghafal, dan menjadi seperti anak-anak lain. Padahal sisi kecerdasan (life skill), masing-masing memiliki kemampuan dan kecakapannya, hanya tidak diberi ruang, lalu terpenjara oleh kurikulum.
Buku bekas Argan sudah di tas, sepatu, kaos kaki, serta alat tulisnya tercecer entah ke mana. Dengan kantuknya yang masih tersisa. Bangun sepagi ini, cukup menyita waktu untuk membuatnya segera bangkit menyaksikan, bahwa matahari tidak secerah harapannya, yang kelak mungkin akan terbuang. Cita dan mimpinya mulai sempoyongan, sebuah kekacauan yang dihadapinya seakan ingin berontak. Sebuah tatanan telah tercerabut. Dia melemparkan senyuman, mulai sedikit tahu, bagaimana dia harus bertindak, walau kadang culungnya masih lebih dominan.
Sebuah edaran memerintahkan untuk diantar ayahnya pada hari ini. Saya bergumam. Tapi berusaha meredam gejolak dan daya kritis. Ini hanya seru-seruan saja, dengan berkelakar dengan Nur Aprilia di teras rumah. Sembari kami berkisah masa sekolah dasar dulu. Tanpa diantar, tidak harus dijemput, tas dan sepatu tetap bertahan di ajaran baru, tetapi sejak kelas satu sampai di bangku kelas lima peringkat itu bisa teraih, hingga periode beranjak usai menamatkan.
Semua buyar dan samar ke mana hendak saya labuhkan dasar yang kuraih. Nur tidak mau kalah, prestasinya juga sejak SD sampai ke jenjang SMA. Sebuah prestasi. Kami sedikit berbincang, dan membuat hipotesa meski secara sederhana, bahwa ini karena pola, dan sistem kah, atau indeks prestasi yang minim kualitas?
Orang tua, lingkungan, atau semua saling berkaitan, tentang bagaimana terlepas dari kerangkeng dan stagnan di garis ketertinggalan dari negara lain? Gugatan pertanyaan tiada tergugah! Apakah prestasi serta kualitas oknum gurukah? Atau memang negeri ini belum siuman dari mimpi buruknya, polanya sama, namanya saja yang berbeda, dengan kemasan apik, menawarkan sesuatu yang sesungguhnya sudah mereka tahu, hanya saja sebagian di antaranya takluk, tunduk atas aturan.
Tetiba di tengah persiapan mengantar Argan, tampak seorang ibu-ibu, menggerutu memegang erat tangan anaknya mengantar ke sekolah. Ada kalut, bukan karena telat. Tapi ketakutan tidak dapat jatah kursi/bangku di kelas, di mana hari ini, ada pembagian kursi tempat duduk.
Betapa lengkap, dan segala penderitaan hidup di negeri yang berkeadilan dan berpandu atas nama hak segala anak. bangsa saya, terpaksa ditandu menuju pusara pendidikan, di ujung jalan aturan sekolah.
Buku tulis bekas Argan sudah masuk di tas, semoga tidak ada pemeriksaan buku baru. Takut Argan kena mental lagi oleh perundungan oknum guru yang tidak menyadari. Karena beberapa lembar semalam telah tersobek, agar terlihat masih kosong dan berusaha menipu, bahwa Argan punya buku tulis yang baru, sama dengan temannya yang lain.
Nilai, angka-angka indeks prestasi, ternyata tidak cukup menjamin sebuah kecakapan dalam menghadapi gelagat zaman, di peradaban yang Argan, bahkan Nur harus hadapi kelak. Kepunahan yang sempurna, ketika literatur, membantai kultur yang masif dan katanya inovatif, dipaksa terstruktur, semua jadi ngawur. Arah Argan entah akan samar bin kabur, atau dia melupakan, mengubur cita-citanya. Seraya berharap hari ini, Argan pulang setelah usai sekolah, tetap tersenyum, sebab jejak buku tulisnya tidak terdeteksi bekas dan cukup kusam.
Membayangkan saat membuka lembaran pertama, tanpa pembungkus warna-warni. Lalu dihukum sebagaimana biasanya. Kesalahan sederhana ganjaran hukumannya adalah membuat secara mental anak, akan tercederai. Buku tulis Argan minim catatan, tulisannya sambung, tapi masih belum terlihat rapi, polanya cukup unik, dan tidak terlatih secara rutin. Akan tetapi imajinasinya jalan, hanya saja sebagian orang dewasa belum bisa beradaptasi dengan Argan. Cenderung memaksanya, sementara setahu saya Argan penurut, juga rajin. Dan punya titik jenuh, karena usianya tidak lagi kanak dulu.
Argan mulai tahu membandingkan, bersikap, saat merajuk, ketika tuturnya mulai tak terarah. Lalu kita paksa untuk santun dan manut? Padahal ada gejolak menambat dan merambat di ubun-ubunnya. Apa boleh buat, semua telah bulat sepakat pada sistim yang berulang, mengubah tidak signifikan. Hanya pekikan saat hari Senin lantang bertengger di tenggorakan Argan, atau saat dia berusaha ingin tampil, tapi pedagogik hanya berlaku secara tidak efektif.
Bukankah pedagogik adalah ilmu yang mempelajari tentang pendidikan dan cara mendidik? Di sana ada ladang teori, prinsip, dan praktik dalam proses pembelajaran. Secara lebih luas, tidakkah pedagogik juga melibatkan pemahaman tentang perkembangan anak? Ya, metode pembelajaran yang efektif, perencanaan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar, katanya.
Argan! Lirih saya mengajak bercakap, jika sekolah adalah penjara bagimu, pulanglah! Dan sisipkan uang jajan lembaran dua ribuan untuk perjalananmu pulang ke rumah dengan segelas air. Jika sekolah sebagai seni menopang masa depanmu, maka bertahanlah demi ijazah! Mengalahlah, sebagai peserta didik untuk dan demi target mereka. Meski pedagogik luruh di tengah penerapannya, maka untukmu jadilah individu yang mandiri.
Argan memilih memicingkan matanya ke suatu arah, memilih diam, lalu melepas sepatunya, di tengah praktik pendidikan pedagogik yang mencakup kegiatan belajar-mengajar, interaksi edukatif, dan segala aktivitas yang berkaitan dengan proses pendidikan. Namun, hanya sebatas di pintu gerbang saja. Buku tulis, nyaris tak bisa ibumu beli. Jangan bersedih, sebab buku bekas juga tidak tertutup kemungkinan membuatmu cerdas.
Argan mulai tersenyum. Siang lonceng sekolah berbunyi nyaring, senyaring dan sebising ribetnya sebuah kurikulum. Saya membaca raut mukanya, sepertinya ada hamparan resah, benar juga dugaan saya, kemungkinan karena buku bekas tanpa pembungkus membuat Argan merasa risih. Sepatunya dicopot begitu saja, tasnya dia letakkan tidak seperti biasa di tempatnya.
Perlahan saya dekati, dengan sesuai SOP, dia mulai bercerita sesingkat mungkin. Bagaimana hari ini di sekolah? Rada cuek dan dengan tidak semangat dengan sendu menahan gejolaknya. Saya tidak harus pakai baju pramuka yang seperti biasa, kata guru harus sesuai dengan keseragaman. Saya terdiam, dan menyemangatinya. Besok kita cari pakaian seragam yang diinginkan sekolah. Wajah tadinya murung nan larung, menjadi ceria dan mulai seperti biasa percakapan saya dengan dia dengan segala kisah dan mimpinya, meski ini sering diulang dia ceritakan.
Buku bekas sudah lolos, tetapi seragam pramuka menjadi hambatan, membuatnya terjengkal dan terpental jauh saat temannya berseragam, dia belum bisa mematuhi peraturan tentang seragam.
Bagainana bisa Argan bertahan, mental dan psikisnya pasti tergugat. Seragam dan buku bekas, belum yang lainnya, saat beberapa perjalanan di bangku kelas 4, pasti beberapa hal akan membuatnya kembali terpenjara oleh sistem yang sudah lazim. Bukan bagaimana pola, strategi dan penerapan pendidikan ini menjadi skala prioritas. Bukan identitas minim kualitas.
Pintu gerbang sekolah menjadi sindrom ketakutan seorang Argan, belum masuk kelas misalnya. Saya membayangkan menjadi Argan. Saat buku saja menggunakan buku bekas, bagaimana dengan seragam yang harganya bisa mencukupi sebulan bertahan hidup. Dunia sekolah, pendidikan, bagai musim perburuan nomenkelatur. Kultur yang konyol. Sementara penerapannya tidak merdeka, yang biasa diagung-agungkan. Toh kemerdekaan yang direkayasa itu terjadi. Keadilan menjalani dan mendapatkan pendidikan adalah tugas negara. Lalu apalah arti sebuah negara jika masih banyak yang terlantar dalam sistem yang konyol pula?
Saya mendekap erat tubuh Argan, seakan gigil yang menyentil, yang berusaha ingin bangkit meraih mimpinya, namun tercungkil dan terjerat, di sebuah kebijakan yang dicekat dan sesungguhnya tidak bijak. Buku bekas sekilas tampak baru kembali. Cerobong pagi menjadi kutil baru yang tumbuh sepi di pucuk mimpinya. Ditambah pensil yang juga sisa bekas rencong tak lagi runcing. Ini konsekuensi, jangan gengsi.
Lirih mengetuk pintu harapan yang sepertinya perlahan punah. Dunia pendidikan, dan sebuah gedung bernama sekolah, dengan dinding pemisah dan pintu gerbang pagar besi, seolah membatasi langkah Argan dan anak-anak yang lain, tanpa pembungkus buku dengan warna wajib.
Adakah yang menguatkan hari esokmu! Jika sistem dan metode pendidikan, aturan seketat aturan yang mereka langgar sendiri? Dunia pendidikan bagai petaka setiap langkah menuju cita anak negeri. Terbentur dinding norma, yang kerap mengganggu pagimu yang harus terpaksa disiplin dan patuh pada pukul sekian, upacara, berbaris, didikte dan dikibuli sejuta nomenklatur.
Lonceng bekas berikutnya berbunyi, nyaris tak terdengar, hanya termangu menatap coretan di antara lembaran buku bekasmu, kecaman itu membuatmu semakin menjadi pengecut, saat para guru mulai menghardik, memisahkanmu dari anak-anak yang jauh lebih pandai. Pendidikan di negerimu hanya bayang-bayang masa lalu menakutkan. Pendidikan bagai belantara yang masih mencari kompas untuk menemukan jalan keluar, dibtengah hutan rimba kurikulum.
Minggu kedua Argan absen dua hari. Senin kali ini sepertinya akan telat berdiri tegap, menghadap tiang bendera mengikuti ritual upacara agar nasionalisme tumbuh katanya. Padahal. semuanya palsu bin semu. Berderet program, seabrek uji coba penerapan pada sistem yang hanya sekadar dijalankan. Sebuah program yang katanya bertujuan memberikan fleksibilitas dalam belajar, menekankan pengembangan karakter, serta mendorong kreativitas siswa.
Berbakul slogan harapan: sebuah seruan, untuk cari seru dan sensasinya saja sepertinya. Di mana Pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas bagi seluruh masyarakat? Proses kemerdekaan dalam belajar. Sebuah hamparan oase, namun realitasnya juga terimplikasi bagai halusinasi. Ada kesenjangan, ketidak sesuaian yang terjadi, walau bertujuan memberikan fleksibilitas dalam belajar, menekankan pengembangan karakter, serta mendorong kreativitas siswa. Tapi sebuah ilusi dengan konklusi yang tidak sesuai. Memerdekaan dari apa?
Argan sepagi buta membuka halaman game dan TikTok saat mengetahui kunci pembuka HP saya yang masih terlelap. Lupa membungkus lagi buku bekasnya, atau bersiap tegap di lapangan hari ini. Sepertinya upacara tak lagi sakral baginya dan semangat jiwa nasionalismenya pudar dalam kurung waktu beberapa tahun.
Pensil warna tanpa buku gambar Argan bawa taruh di tasnya, sarapan ala kadar tanpa roti dan susu kental, meneguhkan mental itu jauh terpental, kaos kaki bolong kakinya dia alas, sebongkah ingatan terbenak di kepalanya. Bagaimana jika pemeriksaan buku? Dia tepis dalam miris. Tanpa harus peduli menjadi perundungan akibatnya.
Saat pulang, lupa asupan pelajaran hari ini? Yang dia ingat bahwa seragam pramuka dan pakai, yang selama ini ternyata harus diganti, tidak sesuai dan seragam siswa lain! Sembari meletakkan tas yang berisi buku bekas yang tanpa pembungkus, meringsut ke tengah mimpinya yang kesiangan.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply